Duapuluh Tujuh

3.4K 412 3
                                    

Jennie menatap kosong ke arah pemakaman. Para pelayat sudah menjauhi makam, menyisakan Jennie dan Dongmin.

   Dongmin terus menepuk punggung Jennie, berusaha menyalurkan ketenangan agar tubuh Jennie berhenti bergetar.

   Begitu tangisan reda, Dongmin berusaha menuntun Jennie menjauh dari makam Mark. Menyisakan Taeyong yang berdiri di belakang pohon.

   Tangannya meremat ujung jas yang ia kenakan. Sekarang ia merasa bahwa Dongmin adalah pria yang sangat tepat untuk Jennie.

   Pria itu bisa melakukan hal yang tidak pernah ia berikan pada Jennie dulu. Taeyong bersender pada pohon besar itu, menghela nafasnya kasar.

   Tangannya menengadah ketika rintik-rintik hujan jatuh mengenai telapak tangannya. Kepalanya mendongak menatap tiap tetes hujan yang berlomba-lomba turun menyentuh tanah.

   Di hirupnya dalam-dalam aroma petrikor, sementara hampir di ujung jalan nampak Dongmin yang berusaha melindungi kepala Jennie dari terpaan hujan menggunakan jasnya.

   Taeyong segera bangkit dan berlari menerobos hujan. Ia berlari keluar area pemakaman dan memasuki mobilnya.

   Tanpa menunggu lama, Taeyong menginjak pedal gas dan melaju standar melewati kota yang mulai sepi akibat hujan.

   Sebuah cafe biasa berhasil menarik perhatiannya. Cafe dengan nuansa klasik dan aroma kopi yang menyeruak begitu membuka pintu itu Taeyong jadikan tempat berteduh sementara.

   Ia memilih kursi di dekat jendela kaca besar dan duduk di pojok. Rambutnya masih basah akibat nekat menerobos hujan tadi.

   Ditatapnya kaca yang nampak beruap akibat hujan itu, muncul tetesan air hujan yang membentuk garis vertikal menetes ke bawah. Membatasi pandangannya ke luar sana.

   "Yeobo, tidak dingin kan?"

   Taeyong memfokuskan pandangannya pada satu titik di samping kanan nya. Sepasang suami dan istri yang tengah hamil tua itu memilih duduk di sampingnya.

   Sang suami yang nampak setia memeluk tubuh sang istri itu membuatnya teringat sekelebat memori.

   Udara terasa dingin, hujan lebat membuat keduanya terjebak di restoran siap saji. Sang wanita terus mengelus perutnya yang besar, sementara si pria nampak memberikan pelukan guna menghangatkan tubuh istrinya.

   "Sudah merasa hangat?" Taeyong menengok ke arah Jennie.

   Jennie mengangguk pelan, bibirnya sudah memutih akibat keduanya terjebak hujan. Kondisi Jennie memaksa keduanya untuk tidak berlari, padahal hujan semakin deras.

   "Nanti aku akan meminta Lucas untuk menjemput kita." Taeyong mengecup pucuk kepala Jennie yang basah. Sementara Jennie sibuk menyembunyikan tubuhnya di pelukan Taeyong, hangat.

   "Tuan, ada lagi yang bisa di bantu?" pelayan dengan pakaian khas toko itu bertanya ramah, membuat Taeyong tersadar dari lamunannya.

   Taeyong menggeleng pelan dan membiarkan pelayan itu kembali ke tempatnya. Ia lalu menghela nafas kasar. Seperti deja vu.

   Ia lalu menyeruput moccachino hangat yang baru saja di antar pelayan tadi. Tatapannya tetap lurus ke arah pasangan suami istri yang saling memeluk itu.

   Taeyong tersenyum pahit, kenapa harus terulang lagi ingatan seperti itu ketika keadaannya sedang begini? Meminta kembali pun sudah tidak mungkin.

   Dibukanya layar ponsel miliknya, terpampang dengan jelas wallpaper yang sengaja di pasang olehnya. Foto pernikahannya dengan Jennie.

   Bolehkah ia merindukan wanita itu sekarang?

One Night Stand ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang