16. Puzzle

37.8K 5.4K 911
                                        

Aku bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setelah Jaehwan beres memfoto diriku dan Pak Doyoung, kini kami malah diberi makanan gratis dari cafe. Katanya sebagai hadiah karena kami telah membuat pengunjung terhibur dengan keserasian kami. Mereka tidak tahu saja kalau hubunganku dengan Pak Doyoung hanyalah sebatas Guru dan Murid saja.

Wajar saja jika mereka semua menganggapku dan Pak Doyoung sepasang kekasih. Baju yang dipakai oleh kami sama coraknya. Seperti baju pasangan.

Dan poin terkuatnya adalah wajah Pak Doyoung yang baby face. Perbedaan umurku dengannya tidak terlalu jauh.

Pak Doyoung berumur 23 tahun, sementara aku 18 tahun.

Seperti kakak adik lebih tepatnya, aku dan Kak Jaehyun saja berbeda empat tahun.

Padahal di usia 23 tahun itu banyak orang-orang yang masih menata karier dan skripsi mereka. Tapi Pak Doyoung sudah mendapatkan perkerjaan tetap.

Dan menurut penjelasan Kak Jaehyun waktu itu, Pak Doyoung lulus menjadi sarjana dengan predikat cumlaude dikampusnya.

Dalam keheningan ini, tiba-tiba Pak Doyoung merapikan anak rambutku yang sekarang tengah mengahalangi penglihatan. Wajahnya sangat dekat dengan wajahku, hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya.

Jantungku berdegup kencang lagi. Kenapa dia selalu bersikap seperti ini, padahal saat aku mendekatinya waktu dulu, ia sangat dingin dan tidak pernah menunjukan sikap manis seperti ini.

Aku menatap mata indahnya dalam beberapa detik. Ia balas menatapku.

Kali ini tangannya beralih untuk membersihkan sisa cream pancake yang ada di sudut bibirku. "Makan yang benar."

Deg!

Aku kembali memejamkan mata berulang kali seraya merutuki ritme jantungku yang tak kunjung berdetak secara normal.

Aku menghela napas lalu menjauhkan tubuh dari Pak Doyoung yang kini berada disampingku. "Pak kenapa ganti baju? Kenapa bajunya sama seperti saya?"

Pak Doyoung menaikan satu alisnya seraya berucap. "Itu hak saya, memangnya ada undang-undang yang melarang hal itu?"

Yeah pada akhirnya aku selalu kalah telak.

Tapi aku tak mau kalah, dan tiba-tiba nalar ini bekerja dengan cepat untuk membalas perkatannya. "Ada sebentar lagi, karena DPR sedang berunding untuk merancang undang-undangnya."

Pak Doyoung hanya memutar bola matanya, kemudian beralih pada makanannya. Ia kembali makan dengan tenang.

Tapi, tak lama kemudian ponselnya berbunyi dan menampilkan panggilan video call yang masuk. Ia mulai beranjak,  sekilas aku bisa melihat siapa orang yang sedang melakukan video call dengan Pak Doyoung.

Senyuman dan wajah cantiknya langsung memenuhi layar ponsel Pak Doyoung.

Bu Taeyeon.

"Kapan kamu pulang?" ucap Bu Taeyeon di seberang sana.

"Sebentar, ini lagi di cafe."

"Saya keluar dulu." Kata Pak Doyoung seraya menatapku. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju ruangan yang ada di dekat pintu keluar untuk menghindari bisingnya sahutan orang-orang yang bernyanyi dan mengobrol.

Aku bergumam seraya menatap  punggungnya dari belakang yang kini mulai menjauh. "Kenapa harus ijin sama Ara pak? Padahal teleponan aja di depan Ara. Bu Taeyeon kan istri bapak. Sementara Ara hanya murid bapak."

Hatiku mendung kembali, tapi logika ini bekerja secara cepat untuk menepis suasana kesedihan yang akan menyebabkan luruhnya air mata.

Dan pada akhirnya aku memaksakan bibir ini untuk tersenyum. Walaupun yang tercipta hanyalah sebuah senyuman tipis.

MTMH | DOYOUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang