Masih ditemani dengan hangatnya jaket milik Pak Doyoung, aku tengah bergeming karena merasa kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini. Pak Doyoung masih menatapku dengan tatapan yang sendu.
Cerahnya langit malam ini tidak selaras dengan sorot matanya. Ia seperti tengah menahan beban yang sulit untuk diutarakan lewat perkataan. Jadi, ia lebih memilih untuk bungkam menyimpannya sendirian.
Semua itu hanyalah asumsiku.
Sebuah asumsi yang dapat kusimpulkan dari sorot matanya yang malam ini begitu jujur. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
"Ra, bagaimana, kamu mau pulang dengan Saya atau Mark?" Suara lembutnya menyadarkanku dari keheningan yang tengah menyelimuti.
Aku tidak langsung menjawabnya, kini mataku terpaku pada Mark dan Pak Doyoung bergantian, melihat wajah mereka berdua dari jarak sedekat ini.
Mereka berdua adalah orang yang berjasa dalam hidupku. Yang satu sahabatku, dan yang satunya lagi guruku.
"Mark...?" Aku bertanya kepada laki-laki yang tengah menatap helmnya. Mark mendongak seraya menatapku. "Pulang sama Pak Doyoung aja Ra, biar lo gak masuk angin lebih baik pulang pake mobil, daripada pake motor gue, entar lo kedinginan." Ia mengakhirinya dengan senyuman tipis.
Aku menggeleng merasa tak enak dengan perkataan Mark barusan. Aku tidak seegois itu, dan aku pun masih punya hati nurani untuk tidak membiarkan Mark pulang sendirian. "Mark, gue pulang sama lo."
Bukannya menyalakan mesin motornya, kini Mark malah berjalan untuk mendekatiku, tangannya terulur untuk merapikan jaket Pak Doyoung yang tersampir di bahuku. "Gue pulang sendiri, jangan bawel Ra, gue gak masalah kok. Mending sekarang lo masuk ke mobilnya Pak Doyoung biar lo gak masuk angin, hm?" Mark membungkukan tubuhnya sejenak kemudian mengacak rambutku.
Setelah itu, Mark menyalimi tangan Pak Doyoung kemudian tersenyum kepada kami. "Makasih udah mau nganterin Ara pulang ya Pak, saya pulang duluan."
Pak Doyoung hanya mengangguk samar untuk menanggapi perkataan Mark barusan.
Aku masih bergeming seraya menatap punggung Mark yang mulai menjauh ditelan oleh gelapnya malam dan jarak.
Dia adalah sahabat terbaikku. Mark Lee.
Aku sangat bingung saat Pak Doyoung menatapku dari atas sampai bawah setelah itu ia berdecak kemudian membukakan pintu mobilnya untukku. "Cepat masuk, anginnya kencang."
Tapi aku tidak menuruti perkataannya, memangnya dia siapa bebas menyuruh-nyuruhku. Memang, ia itu wali kelasku, tapi apakah wajar jika seorang pria yang sudah beristri memberikan perhatian seperti ini kepada siswinya? Tidak, bukan?
Sangat tidak wajar.
Aku tidak mau terperangkap lagi kedalam semua fatamorgananya, dan aku juga tidak mau jatuh untuk kedua kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MTMH | DOYOUNG
FanfictionSUDAH DITERBITKAN "Berhenti menggombal ya, calon istri." Doyoung, guru fisika yang sedang menghindari perempuan, alasannya takut diterkam. Padahal, ia sangat galak. Lantas, apa yang perlu ditakutkan? (banyak roman, sedikit komedi) Jaemicchan 2019 ©...