Pasokan udara di sekitarku semakin menipis. Kala merasakan kedua lengan Pak Doyoung yang kini semakin erat memeluk pinggangku, kedua matanya terpejam dan bibirnya masih mencium bibirku. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena kedua kakiku lemas dan yang paling menyulitkan adalah tubuh Pak Doyoung yang sangat dekat denganku.
Saat merasakan kedua lengannya yang mulai menyingkap ujung bajuku, sontak Aku pun menjauh dari Pak Doyoung.
Kedua mataku terbelalak tak menyangka dengan perbuatannya barusan. Sementara Pak Doyoung, kini ia masih terdiam sembari memegangi pelipisnya berkali-kali. Tatapannya kosong, bahkan ia tak mampu menatapku.
"Ara... Maafkan Saya-" Ia mengacak rambutnya berkali-kali tatapannya masih terkunci pada sembarang arah.
Aku hanya bisa diam, bukan terkejut karena ciuman pertamaku diambil. Karena hal yang barusan adalah kedua kalinya bagiku-ciuman pertamaku dengan Kak Haru. Maka dari itu aku bergeming bukanlah gara-gara alasan yang pertama dipaparkan.
Namun, aku tidak menyangka jika Pak Doyoung yang notabenenya pria dingin akan berbuat seperti itu kepadaku.
Aku diam sambil membuang pandangan supaya tidak bertatapan dengannya yang kini tengah memijat pelipis.
"Ara, tolong pergi dari sini sekarang juga, saya mohon." Ia berkata seperti itu sambil memegangi pelipisnya.
Aku yang masih terpaku pun kini semakin tak mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan olehnya. Maksud Pak Doyoung apa mengusirku secara tiba-tiba, padahal barusan itu ia telah menciumku.
Aku memutuskan untuk menghampiri Pak Doyoung yang kini masih memijat pelipisnya, bahkan ia sudah menyandar pada kursi dengan kedua kaki yang ditekuk sedemikian rupa.
"Pak, bapak lagi sakit??"
Aku berniat untuk memegang pelipisnya namun dengan gerakan yang cepat ia segera menepis pergerakan tanganku.
"Saya bilang tolong pergi, Jung Ara."
Nada bicaranya dingin dan sorot matanya pun sangat kelabu. Hal itu membuat hening yang terjadi diantara kami semakin menjadi. Aku berkenan untuk pulang namun seperti ada yang menahanku untuk pulang saat ini.
"JUNG ARA!" Matanya berkilat-kilat ke sembarang arah. Aku menatapnya tapi ia tidak menatapku. "Ara gak mau pulang."
Kali ini ia menatapku. "SAYA BILANG PULANG!"
Aku tersentak akan bentakannya barusan. Baru kali ini Aku merasa sakit hati dengan bentakan Pak Doyoung. Rasanya, hal itu sangat menyakitkan. Padahal kalau melihat kilasan balik yang tadi, bukan aku yang salah. Dia yang memulai, kenapa jadi ia yang marah-marah tidak jelas. Aku sungguh tidak mengerti dengan jalan pemikiran Pak Doyoung.
Karena terlanjur kesal dengan bentakannya, Aku pun memutuskan untuk
beranjak lalu mengambil kunci motor dan helmku.Melangkahkan kaki dengan tergesa adalah hal yang tengah kulakoni saat ini. Rasa kesal, bingung, dan khawatir berpadu menjadi satu kemudian bekerja sama untuk memenuhi pikiranku.
Jarak pintu rumah dan gerbang sangatlah jauh hingga aku harus berjalan tak kenal luruh. Di tengah perjalanan aku berpapasan dengan Pak Yuta yang kini tengah memandangku keheranan.
"Kenapa pulang sendiri, Ara? Ga diantar sama Doyoung?"
Ingin sekali aku mengabaikan pertanyaannya, tapi sang batin berteriak dan menyerukan pernyataan kontra atas keinginanku yang tadi. Berakhirlah aku dengan melukis senyuman tipis kepada Pak Yuta.
"Ngga Pak, kayanya Pak Doyoungnya juga lagi ada masalah." Memang benar mengenai yang telah kunyatakan barusan. Tadi itu kentara sekali bahwa Pak Doyoung tengah kacau. Mengingat kejadian yang tadi membuat kedua pipiku bersemu merah karena sekarang aroma parfum Pak Doyoung sangat menempel pada tubuhku.
![](https://img.wattpad.com/cover/196663259-288-k138037.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MTMH | DOYOUNG
FanfictionSUDAH DITERBITKAN "Berhenti menggombal ya, calon istri." Doyoung, guru fisika yang sedang menghindari perempuan, alasannya takut diterkam. Padahal, ia sangat galak. Lantas, apa yang perlu ditakutkan? (banyak roman, sedikit komedi) Jaemicchan 2019 ©...