26. Speechless

33.2K 4.8K 1.3K
                                    

"Pssstt..." Mendengar suara tersebut, hidungku langsung sensitif untuk menutup perlahan dibantu oleh indra pergerakan, yaitu tangan. Awalnya kupikir hanyalah suara ban yang kempis.

"Pssstt.." Terdengar lagi, untuk kali ini aku tertawa terbahak-bahak. Lalu mengguncangkan tubuh Pak Doyoung.

"Wow! Bapak abis flatulensi?" Dengan sengaja aku menyamarkan kata buang gas dengan menggunakan bahasa medis. Supaya Pak Doyoung tidak terlalu malu.

Dapat kulihat sekarang Pak Doyoung tengah membelalakan matanya tak karuan kepadaku. "Flatulensi apanya hah?! Saya tidak mengeluarkan hidrogen sulfida! Mungkin itu kamu!"

Aku segera mencubit pinggangnya, "Eh eh eh, jangan malu lah Pak, ngaku aja, lagian buang gas bapak aromanya wangi kok!"

Antonimnya. Intinya mau cowok ganteng sekalipun, kalau sedang flatulensi, baunya akan semerbak khalayak umum.

Wajah Pak Doyoung memerah, bahkan matanya melirik ke sembarang arah. "Tidak! Saya bilang tidak!"

Aku semakin tersenyum dan mulut ini tak kuasa untuk menahan tawa. "Ey bapak malu-malu ah, di depan calon istri ga usah malu gitu, jelas-jelas barusan Ara tuh denger bunyi plepes dari sini nih!"

"Mau ke wc umum dulu ga, pak?" Aku melirik ke arah Pak Doyoung. Takutnya ia tak kuasa untuk menahan sebuah rasa rindu bertemu kamar mandi.

Pak Doyoung masih bergeming, bibirnya mengemam tak karuan. Aku pun memilih untuk menepuk bahu Pak Doyoung. "Jangan gengsi Pak, Ara gak jijian kok orangnya, jadi santai aja oke?" Aku sedikit menjeda kalimat barusan. "Atau mau ikut ke kamar mandi di rumah Ara? Tapi takutnya bapak sakit perut, nanti keborosotan. Kan jadi berabe tuh."

Wajah Pak Doyoung semakin memerah, aku tidak bisa menafsirkannya, entah memerah karena malu atau rasa tak kuat ingin bertemu dengan kamar mandi.

Yang terpenting adalah, sekarang kami berdua sudah memasuki Jalan Aster, sekitar lima menit lagi akan sampai di rumahku. Perumahan Bumi Parahyangan.

"Semangat Pak! Bentar lagi ketemu WC!"

"Bapak harus kuat! Ayo ditahan jangan keborosotan ya Pak, semangat! Go!" Wajah Pak Doyoung semakin merah bahkan pegangan pada setang motornya sudah agak mengendur. Aku jadi kasihan melihatnya. "Pak, mau digantiin nyetir gak?"

"Berhenti—BICARA JUNG ARA! Kamu membuat saya malu!"

Sontak aku mengelus dada karena bentakan Pak Doyoung barusan. "Maaf-maaf kata Pak, habisnya diri ini tak kuasa dan terasa pilu saat melihat wajah Pak Doyoung yang tengah berusah payah menahan—"

"ARA!"

"Iya Ya ampun pak, Ara berhenti bicara."

"Rumah—kamu yang —?"

Aku membelalakan mata karena terkejut dengan ucapan Pak Doyoung. "Yang? Aduh Pak udah gaspol aja nih, oke jadi mulai hari ini kita ayang-ayangan nih ceritanya?"

Pak Doyoung mengernyit heran, kemudian satu lengan yang tidak dipakai untuk menyetir beralih menjadi memegangi perut. "Maksud saya, rumah—kamu yang mana?"

Aku mengembuskan napas secara perlahan, hingga menyisakan keheningan.
"Kirain Ara, barusan itu bapak manggil Yang. Ternyata hanya sebuah frasa yang belum terselesaikan, malangnya nasib Jung Ara."

"Cepat! Rumah kamu yang mana, astaga!!"

"Ciee yang kebelet ee cieee."

"Araaaaaaaa!"

"Iya Bapak ganteeeng!"

Hanya dengusan pelan yang terdengar olehku. Bahkan untuk detik ini Pak Doyoung sudah melayangkan tatapan tajamnya kepadaku.

MTMH | DOYOUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang