Selasa, 15 Agustus 2017

20 1 0
                                    

Bangun tidur, aku bergegas ke kamar mandi. Aku mandi dan bersiap-siap menunaikan shalat shubuh. Karena waktu telah menunjukkan pukul 05:16 WIB, maka hari itu aku tidak shalat berjama’ah. Hari ini aku piket menyapu, maka selepas shalat, kuambil sapu untuk memukul kucing. Haha untuk menyapu maksudnya. Maaf ada kesalahan teknis.
Saat sudah selesai menyapu, aku mengerjakan tugas wajibaat lagi sambil menunggu Ulfah bangun. Pukul 08:00 WIB kita harus mengajar di PAUD Al-Barokah 2. Hari ini kami dijadwalkan untuk mengajar secara keseluruhan. Jelas kaget! Asli! Tanpa pengawet buatan, kaku banget aku pas mengajar adik-adikku. Ngga biasanya aku seperti ini, rasa tegang menjalar sampai ke bagian yang tak diinginkan. Aku merasa tidak enak dengan Bu Lala, pendiri PAUD tersebut.
Hingga akhirnya saat evaluasi, kami meminta maaf kepada Bu Lala karena belum bisa mengajar dengan baik. Alasan kami sama, karena bukan dari jurusan pendidikan. Bukan alasan sih, memang kenyataan. Aku jurusan Hukum Keluarga, Ulfah jurusan Administrasi Publik. Bukan halangan sih, tetapi karena memang belum berpengalaman dalam bidang mengajar sehingga masih belum maksimal dalam kegiatan belajar mengajar. Semoga ini pelajaran awal yang dapat dijadikan pengalaman untuk ke depannya.
Hari ini, aku ada jadwal bertemu Kartika di Alun-Alun Kota Banjar. Sebelum berangkat, aku menyetor tugas haditsku terlebih dahulu. Kurang lebih 10-15 menit, aku pamit kepada Ulfah yang kebetulan ada di teras posko untuk pergi. Aku bilangnya mau ketemu sama temenku tanpa menyebutkan lokasi yang kutuju.
Dari posko sampai jalan raya aku berjalan kaki. Lumayan jauh. Tak ada kendaraan dan tidak ada juga yang mau meminjamkan atau sekedar mengantar. Namun, itu tak masalah bagiku. Aku sudah terbiasa berjalan kaki. Sepanjang perjalanan yang kulalui, banyak warga yang menyapaku dan saling balas senyum. Kami memang tak saling kenal, namun inilah kebiasaan baik yang perlu dicontoh oleh ummat Islam di dunia.
Aku mulai lelah, kutundukan kepala untuk menyembunyikan lelah yang kurasakan. Saat lima meter akan sampai ke jalan raya, ada seseorang memanggilku, “Bu guruuuuuuu.....”
Aku sebenarnya kebingungan mencari sumber suara, ternyata yang memanggil mukanya ketutupan gerobak. Lah pantesan! Itu adalah adik-adik yang kuajar di PAUD Al-Barokah 1. Aku menghampiri mereka sekedar bersalaman dan menyapa. Kemudian aku melanjutkan perjalanan. Jalanan di Sampih tak seramai di Bandung, apalagi Jakarta yang setiap detik angkutan sudah menanti di hadapan kita. Justru sebaliknya, di sini untuk mendapatkan angkutan mesti menunggu paling sebentar 30 menit, itu pun kalau kosong. Lha kalau penuh?
Alhamdulillah, Alloh mah baik pisan ke aku. Di tengah perjalanan, sebelum pom bensin Sampih, aku bertemu ibunya Syifa yang akan ke Pasar Langkap untuk berdagang. Beliau menawariku tumpangan. Aku sangat bersyukur hari itu. Biasanya angkutan desa ngetem di perempatan Pasar Langkap, sehingga aku meminta diantar sampai sana saja.
“Makasih ya, Bu?” Ucapku kepada ibu Syifa sambil bersalaman.
“Iya, hati-hati di jalan,” Balasnya.
Aku menuju angkutan tersebut dan duduk di sebelah pintu angkutan. Tak perlu menunggu satu jam apalagi satu abad, angkutan melaju menuju Terminal Banjar. Sepanjang perjalanan, aku chat Tika, khawatir ia tak sabar menunggu hingga tega meninggalkanku atau dia ketiduran sehingga tak sempat membalas pesanku. Di chat, Tika bilang sudah sampai di Alun-Alun Banjar, terus bilang katanya ada orang gila di sana. Yaa Allah tega sekali aku membiarkan dia berteman dengan orang gila. Hiks hiks...
Saat sedang asyik chat dengan Tika di WhatsApp, abang angkot berhenti. Aku tak menghiraukan, mungkin ada penumpang yang mau naik. Tapi memang ada sih. Abang angkot itu meledek tukang bakso di pinggir jalan. Ya iyalah, kalau di tengah jalan mah ketabrak mereun. Kan ngga lucu, kalau ada berita “Tukang Bakso Tertabrak Akibat Berjualan di Tengah Jalan,” dan viral seketika sampai Benua Eropa.
Sambil menunggu penumpang menyeberang, abang angkot meledek tukang bakso tersebut. Entah sudah kenal atau belum, mereka terlihat santai saja.
“Mang, pesen bakso dibungkus koran,”Ledek sopir angkot kepada pedagang bakso.
“Mang, pesen bakso dibungkus koran,”Ulangnya, karena mang bakso tidak merespon.
“Hiji,” Ujar sopir angkot, saat mang bakso menengok.
Sopir angkutan meledek lagi dengan perkataan yang sama, “Mang pesen bakso hiji, bungkus koran,”
“Yooooo!” Abang tukang bakso menjawab, akhirnya sopir angkutan bisa tidur dengan nyenyak malam ini.Mang bakso hanya nyengir, bukan cuekin sopir angkot,  tetapi sedang melayani pembeli. Khawatir si mang mau naruh mie malah rumput yang diambil. Harus teliti jadinya. Hehe... Aku senyum-senyum sendiri di bangku belakang, daripada aku senyum sendiri, lebih baik aku bagi-bagi mengenai peristiwa bersejarah ini. Posisi dudukku waktu itu di samping pintu masuk angkot. Aku chat Tika, Rafi, dan Wahyu tentang kejadian ini. Entahlah mereka tertawa atau tidak di sana, yang pasti aku hanya ingin menceritakannya saja pada mereka. Bukannya meredakan tawaku, malah menambah tawaku. Apalagi Rafi, dia bilang, “Kirain sopir angkotnya dilempar mangkok sama tukang bakso,”
Setelah penumpang berhasil menyeberang jalan, ia langsung menaiki angkot. Angkutan pun melaju. Aku diturunkan di perempatan jalan sebelum terminal Banjar. Sopir angkutan menyuruhku untuk menyeberang dan menaiki angkutan menuju alun-alun Kota Banjar yang diberhentikan olehnya. Tak lupa kubayar angkutan dan menyeberang ke arah angkutan yang berada di seberangku.
Tidak ada 10 menit, angkutan kedua yang kutumpangi telah sampai di depan samping masjid alun-alun, “Tau gini mah, mending jalan kaki,” Sesalku dalam hati sembari membayar angkutan Rp. 2000,-
Aku mencari Kartika, tak membutuhkan waktu setahun, akhirnya mataku tertuju pada sesosok wanita berkerudung biru muda sedang duduk di bangku yang ada di alun-alun. Aku menghampirinya. Ia tertunduk sambil memandangi layar handphone. Saat aku sudah ada di depannya, kuucapkan salam, “Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumsallaam,” Wajahnya yang tadi bermuram durja kini cerah bagaikan mentari di pagi hari. Kami berpelukan. Rindu.
Aku duduk di samping kanannya, ia mengeluhkan tentang teman-teman KKN kelompoknya yang membuat ia tidak nyaman, begitu pun denganku. Kami sama-sama tidak betah dan ingin segera mengakhiri Kegiatan KKN ini. Sebenarnya aku tak ingin membicarakan hal ini, tetapi berhubung topik yang sedang dibahas seperti ini ya aku ikuti saja alurnya. Aku baru sadar kalau di bangku seberang kananku ada seorang bapak sedang tidur. Penampilannya kumuh, tidak terawat, dan seperti orang tidak mandi bertahun-tahun. Aku tak bisa menyebut bapak itu orang gila, walaupun benar adanya. Aku hanya menjaga diri, agar jangan bermudah menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.
Setelah puas bercerita ria. Aku dan Tika sholat dzhuhur di masjid alun-alun kemudian ke pasar Pataruman. Tika ingin mencari kain untuk membuat dress. Sebelumnya aku mengajak Tika makan bakso dulu. Tau dong, kita harus makan dulu, karena mencari yang terbaik itu membutuhkan banyak tenaga.
Selepas makan bakso dan membayarnya, kami pun langsung berkeliling mencari tukang kain dan kerudung. Di pasar, Tika bertemu temannya. Setelah mereka selesai mengobrol, kami lanjutkan pencarian ke TKP. Sudah berapa toko kain yang kami kunjungi, belum ada yang cocok dengan selera Tika. Aku menuruti saja kemauannya, sampai dia nekat naik becak untuk mencari kain yang sesuai dengan motif yang ada dalam gambar di handphonenya.
Setelah kainnya dapat, kini saatnya Tika mencari tukang jahit untuk menjahit kain yang telah dibelinya tersebut. di pasar, aku membeli celana short 3 buah. Tasku kecil sehingga tidak bisa memasukkan barang ke dalamnya, sehingga harus menitipkan ke Tika.
Adzan ashar berkumandang, kami menghentikan pencarian. Lelah sekali rasanya berkeliling mencari kain. Kami menuju masjid alun-alun untuk menunaikan shalat ashar. Selepas shalat, Tika memakai make up dulu. Aku tiduran sejenak melepas lelah sambil menceritakan tentang Wahyu, mantanku sewaktu SMK. Sekarang dia tambah ganteng, aku kasih tau Tika fotonya Wahyu waktu video call sama aku. Dia malah bilang, “Iya ganteng, kenapa ngga balikan lagi?”
Aku hanya tersenyum, aku ngga ingin memberitahukan padanya bahwa aku sudah memiliki satu lelaki yang kucintai. Biarlah ini menjadi rahasiaku sampai nanti calon suamiku benar-benar datang bersama kedua orang tuanya. Walaupun sebenarnya aku masih belum bisa move on dari Wahyu.
Tika sudah selesai make up. Aku hampir tertidur menunggunya. Setelah keluar dari masjid, Tika mengajakku untuk mencari tukang jahit lagi. Aku salut dengan perjuangannya. Tapi ya ingat waktu atuh, Neng. Akhirnya kami kembali ke alun-alun dan berfoto di sana. Aku meletakkan plastik hitam berisi celana short yang kubeli tadi di depan gerbang masjid. Kami asyik berfoto dan akhirnya lapar. Aku mengajak Tika mencari makan di sekitar alun-alun yang mulai ramai dengan pedagang pasar malam.
Aha! Ada ketoprak. Kami makan ketoprak. Saat aku minum, aku merasa ada sesuatu yang urang. “Astaghfirullah, Celanaku!”
Aku meninggalkan Tika yang masih melahap ketopraknya. Aku menuju ke depan gerbang masjid dan bertanya pada orang-orang di sana apakah ada yang melihat plastik hitam berisi celana. Namun, satupun tak ada yang tahu. Memang tak seberapa. Tetapi, aku butuh. Aku tersadar, mungkin ini gara-gara aku menengok kotak amal masjid, niatku ingin berinfaq namun aku menundanya. Sehingga Allah mengambil barang lain yang bukan menjadi rezekiku. Astaghfitullah, maafkan hamba yang dhaif ini, Yaa Allah.
Aku kembali ke tempat Tika duduk. Ada gurat kesedihan di wajahku. Namun, aku mencoba berbesar hati. Barang itu adalah titipan Allah, mungkin saja bukan rezekiku. Tika berusaha menenangkanku. Kami membayar ketoprak yang tadi kami makan.
Waktu menunjukkan pukul 17 lewat, angkutan menuju Desa Binangun telah habis. Tika kebingungan. Hanya ada angkot menuju Langensari. Akhirnya, Tika ikut bersamaku ke posko 327. Tadinya aku meminta agar ia menginap saja di sini, tetapi ia tidak mau. Karena aku tidak tega, aku usahakan untuk meminjam motor kepada Fikri dan Yana. Motor Fikri mau dipakai, sedangkan motor Yana dipinjam Sarif.
Aku menunggu Sarif pulang, saat ia pulang aku langsung mengegas untuk mengantar Tika ke Desa Binangun. Sepanjang perjalanan, aku mengebut karena masalah waktu. Lagipula di sini jarang ada kendaraan, jadi menurutku tak ada yang salah jika mengebut. Walaupun sebenarnya tidak baik dalam Undang-Undang lalu lintas.
Aku kelilipan hewan-hewan kecil yang beterbangan di jalan raya. Sehingga aku harus menyipikan mataku agar hewan tersebut jangan sampai masuk ke mataku, walaupun sempat masuk ke mulutku saat Tika mengajakku berbicara.
Aku berhenti di perempatan untuk bertanya jalan. Ada Aice di sebuah warung. Aku dibelikan oleh Tika yang rasa strawberry. Setelah es krim habis, kami melanjutkan perjalanan. Tidak selancar yang kukira karena kami harus banyak bertanya ketika menemui banyak jalan. Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Di perjalanan, ada anjing. Aku ketakutan, walau sebenarnya dia ngga akan mengejar kami.
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Desa Binangun, walaupun sempat bablas sampai jembatan timbang. Aku tak main dulu, langsung kulanjutkan perjalanan pulang ke posko lagi. Khawatir motornya akan dipakai oleh yang lain. Aku sempat tersesat di perempatan kota Banjar yang kulupa entah dimana. Sudah berapa kali putaran aku tersesat, hingga akhirnya aku harus bertanya.
Setelah bertanya kepada seorang ibu di perempatan Kota Banjar, aku pun ingat jalan yang kulewati saat berangkat dan melihat anjing yang tadi kulihat bersama Tika. Kok mainnya jauh-jauh ya, anjing siapa sih? Sebenarnya ingin tertawa, tetapi aku harus ingat tempat juga.
Di pasar Langkap, aku melihat seperti Fikri dan Gina sedang mendorong motor. Karena malam hari, aku ragu jika salah orang. Memang kejam sedikit tidak apa-apa daripada malu salah orang. Aku shalat maghrib dan Isya di Masjid Baiturrahim. Kulihat handphone, katanya motor Fikri bannya bocor. Berarti benar tadi yang mendorong motor adalah Fikri dan Gina. Aku merasa bersalah, tetapi sudah terjadi. Mau diapakan lagi? Aku harus segera mengembalikan motor kepada pemiliknya karena sudah ada yang menanyakannya di WhatsApp grup KKN.
Sesampinya di posko, aku langsung ditagih hutang patungan KKN yang masih kurang 300.000 lagi. Duh! Mereka ini, harusnya tunggu aku duduk dulu sebentar. Ini mah, aku baru sampai di depan pintu sudah ditagih hutang. Apa ngga menyebalkan coba? Tapi aku tak lantas sakit hati dengan hal sepele itu, hanya sedikit protes dengan perlakuan mereka yang kurang pengertian.
Aku masuk posko dan istirahat di ruang tengah sambil mencharge handphone dan membalas pesan WhatsApp yang masuk. Tika sangat khawatir dengan keadaanku sehingga meneleponku berkali-kali. Ada telepon juga dari Nilam, pacarnya Kiki. Uh! Mengganggu sekali.
Aku mandi, kemudian mencuci baju dan akan dijemur esok hari. Setelah itu, aku mengambil handphone dan ke kamar tengah dan segera tidur karena sudah mengantuk. Sebelumnya, kulihat foto-foto bersama Tika saat di alun-alun Kota Banjar tadi siang. Aku bahagia memiliki sahabat sepertimu, Tik. Aku pun tertidur dan tak lupa membaca do’a sebelum tidur.

KKN di Desa RejasariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang