Rabu, 16 Agustus 2017

16 2 0
                                    

Tamu bulananku telah berakhir, aku sudah bisa shalat di Langgar lagi. Senangnya hati ini. Aku bersyukur kepada Allah. Selepas shalat, aku membuka mushaf al-Qur’an dan membacanya pelan. Jama’ah shalat shubuh mulai keluar dari Langgar satu persatu. Di balik tabir pemisah shalat, aku mendengar Sarif melantunkan ayat suci al-Qur’an dengan merdunya. Sungguh aku terkesima, membayangkan diriku dan suamiku kelak membaca al-Qur’an bersama. Namun, aku belum sanggup berimajinasi sejauh itu.
Di Langgar ini, hanya ada aku dan Sarif di Langgar ini. Aku mulai khawatir dengan keadaan seperti ini. Walau pun kutahu Sarif adalah lelaki yang baik, namun tidak dengan Syaithan. Aku memutuskan untuk menyudahi tilawahku dan pulang ke posko.
Oh ya, aku hampir lupa kalau hari ini harus menjemur pakaian yang masih basah. Kalau lupa dijemur bisa-bisa kehabisan pakaian kering. Huft, basah-basahan dong. Takut dikira ngompol doang, sebel aku diledekin si Arif terus.
Setelah menjemur pakaian, aku dan Asiyah ke rumah Rusmi untuk meminjam sepeda. Kita jalan-jalan sekitaran jalan Dusun Sampih, sepulangnya kita beli tempe. Enak, lho! Harganya juga pas buat kantong mahasiswa. Mungkin kalau aku udah punya penghasilan sendiri, aku borong semua sama toko-tokonya dan penjualnya. Hal ini membuktikan bahwa saking enaknya gorengan buatan sang Ibu penjual gorengan di depan MIN 2 Kota Banjar tersebut. Tapi ngga dibeli sama toko dan penjualnya atuh, kan ngga bisa dimakan. Hehe...
Setelah itu, aku dan Asiyah pulang ke posko. Hari ini jadwalku piket, aku menyapu lantai. Wedeh! Rajin. Tumben katanya. Hehe. Pas nyapu, aku melihat ada kucing guling-gulingan. Aku ketawa jadinya. Yaa Allah, cobaan macam apa ini?
Waktu telah menunjukkan pukul 09 lewat, aku berkunjung ke rumah Mbah Zaenab. Seperti biasa, kami mengobrol banyak hal. Namun, lebih sering berbicara tentang tarekat dalam Islam. Beliau pengikut tarekat Naqsabandiyah, sedangkan nenekku tarekat Qadariyah. Aku belum paham tentang hal itu, namun setidaknya ada ilmu-ilmu baru yang kuketahui. Alhamdulillah, aku sudah bahagia, karena ilmu yang bermanfaat adalah cahaya bagi kehidupan. Aku mempelajari ilmu tarekat bukan berarti aku akan ikut-ikutan juga. Menurutku bagus, hanya sebagai ilmu yang bermanfaat saja dan sekedar pengetahuan. Bukan fanatisme yang senangnya bertaqlid saja.
Baiklah, jujur saja aku mulai mengantuk. Aku diizinkan Mbah Zaenab untuk tidur di rumahnya. Di kamar ke dua setelah kamar depan. Nyaman sekali tempatnya, serasa tidur gratis di hotel. Sayangnya, Mbah Zaenab tinggal sendiri dan ada sekitar 4 kamar tidak terpakai. Beliau malah memilih tidur di amben bambu di dapur dekat gudang penyimpanan beras.
Sekitar pukul 11:50 WIB, Mbah Zaenab membangunkanku dari tidur. Adzan dzuhur berkumandang. Kami segera berwudhu dan berangkat ke Langgar untuk menunaikan shalat dzuhur berjama’ah. Setelah shalat, aku ke posko.
Sesampainya di posko, aku mencari handphoneku yang dicharge. Tidak ada! Aku panik. Aku bertanya ke Feri, dia malah bercandain aku. Huh! Menyebalkan. Aku sebel dibercandain terus. Akhirnya dia bilang handphoneku ada di kamar belakang. Lalu aku bertanya ke Fikri, Alhamdulillah ada. Huft! Selamat... selamat...
Aku ke kamar tengah, menyetor tugas hafalan hadits. Kemudian aku chat Rafi dan Wahyu. Aku chat sama Rafi bahas lomba 17 Agustus besok, terus chat Wahyu bahas soal pintu WC langgar rusak gara-gara aku menutupnya terlalu kencang. Haha asli ngakak parah kalau ingat itu. Andaikan mereka berdua ada di Banjar, teman-teman KKNku pasti ngga akan menganggapku gila karena tertawa sendirian. Dasar Wahyu... Awas ya kalau ketemu aku cubit pipi kamu.
Sebentar lagi sore, aku mematikan data. Kemudian mencuci pakaian yang telah kukenakan sekalian mandi. Sambil menunggu adzan ashar berkumandang, aku ke Langgar dan sudah wudhu. Di Langgar ada Sarif.
Tak seperti biasanya, Langgar ini begitu sepi padahal seharusnya sudah memasuki waktu shalat ashar. Karena belum ada yang adzan di Langgar ini, Sariflah yang mengumandangkan adzan. Tetap saja belum ada yang datang, Mbah Zaenab pun tak datang. ada sesuatu yang aneh. Ah! Tapi tak perlu berburuk sangka. Mungkin ada halangan tertentu.
Hampir setengah jam dan waktu terus berjalan hingga menunjukkan pukul 16:01 WIB, jama’ah tak kunjung datang juga. Akhirnya, aku dan Sarif shalat berdua. Entahlah, ada rasa sedih di dalam hatiku. Aku tak mengerti, di saat-saat shalat masih saja terbayang dirinya. Membayangkan kelak shalat berdua dengannya seperti ini. Yaa Allah, jagalah dia di sana. Lindungi juga kedua orang tuaku yang terus mengalirkan doa-doanya untukku. Aku ingin menangis, aku rindu mamah dan bapak. Aku juga rindu Ali.
Selepas shalat, kami membaca doa setelah shalat. Kemudian Sarif keluar Langgar duluan. Aku masih duduk dengan posisi tahiyat akhir. Setelah selesai berdoa, aku keluar Langgar. Saat berada di pintu Langgar, aku langsung menengok ke arah rumah Mbah Zaenab. Ada dua orang santri ikhwan melihat ke arah Langgar. Kami sama-sama tersentak, tak sengaja kami saling bertatapan mata. Aku segera memandang ke arah lain sambil beristighfar, aku tersenyum malu sambil berjalan ke posko. Entahlah apa yang mereka rasakan saat itu. Aku tak peduli. Pertemuan yang tak disengaja, tak direncanakan.
Sesampainya di posko, aku ke kamar tengah. Asiyah sedang tilawah. Sore ini, teman-teman KKNku ada yang menonton bola dan ada yang mengajar Diniyyah sehingga di posko hanya ada aku dan Fitri. Aku tiduran di kamar belakang sambil membuka media sosial.
Aku ke dapur dan baru ingat kalau pakaian yang tadi siang kucuci belum dijemur. Aku angkat ember tersebut dan menuju ke tempat jemuran di belakang rumah Pak Nanang. Saat menjemur pakaian, Dila menghampiriku dan meminta tolong untuk dibuatkan Microsoft Powerpoint untuk tugasnya. Aku menyetujuinya, tapi nanti malam, saat aku sedang luang.
Setelah menjemur pakaian, aku mandi. Kemudian memakai pakaian, langsung ke kamar tengah untuk mengerjakan tugas Bahasa Arab. Aku mendengar seperti banyak orang di luar. Aku keluar kamar, ternyata teman Sarif datang. aku duduk di teras luar posko sama Asiyah dan Dian sambil mengerjakan tugas Bahasa Arab.
Asiyah mengajakku membeli mie instan di warung dekat posko. Kemudian, aku menitip buku tugas Bahasa Arabku ke Dian. Kurang lebih 15 menit, kami kembali lagi ke posko. Kami langsung ke dapur untuk memasak mie.
Setelah mie sudah matang, aku duduk di bangku dekat meja makan untuk menikmati hidangan sederhana sore itu. Dian menghampiriku ke dapur. Tugasku ternyata sudah dikerjakan Dian, walaupun baru sebagian. Unch! Makasih Dian.
Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang, aku bersiap-siap ke Langgar. Sebelumnya berwudhu terlebih dahulu di posko. Saat di depan posko, Pak Nanang memanggilku, “Dha, Dha,”
Aku menoleh ke arahnya.
“Itu hapenya siapa? Nyimpennya jangan sembarangan.”
Aku melihat handphone smartfren warna putih di dekat tiang teras tergeletak begitu saja. Ini kan handphonenya Dian. Aku langsung mengambilnya dan kubawa ke Langgar karena pemiliknya sedang pergi ke suatu tempat, tidak di posko.
Malam ini, selepas shalat maghrib ada acara khataman al-Qur’an. Para jama’ah yang hadir diberi bingkisan. Kata orang Bekasi mah besek. Haha. Acaranya berlangsung sampai waktu shalat Isya. Kemudian shalat Isya berjama’ah.
Setelah shalat Isya selesai, aku main ke rumah mamah Syifa. Di rumahnya, mengobrol panjang lebar, apa saja dibicarakan. kami mengobrol sambil sesekali melahap bingkisan yang diberikan saat acara khataman tadi. Kenyang aku di sini, banyak makanan. Nolak laper, ngga nolak malu. Ngga nolak aja deh. Serbu!
Waktu telah menunjukkan pukul 21 lewat, aku minta antar ke posko. Aku malu saat melewati jalan depan MIN 2 Kota Banjar karena banyak laki-laki dari jenis bapak-bapak sampai anak-anak. Padahal ngga akan menggodaku apalagi mencolekku, tapi tetap saja aku merasa malu. Kata mamah Syifa, perempuan tuh wajar kalau punya malu ke laki-laki.
That’s Great! Akhirnya ada juga yang mendukungku.
Sesampainya di depan posko, aku salaman sama mamah Syifa. Aku langsung ke kamar tengah untuk tidur. Sejenak, aku membuka facebook karena belum dibuka sejak tadi sore. Bapak menandaiku bahwa beliau bangga memiliki anak yang nantinya menjadi Sarjana Hukum. Agak malu juga sih dengan status bapak, pasalnya kontribusi apa yang bisa kuberikan untuk bangsa ini dengan gelar sarjanaku nanti? Aku masih bertanya-tanya.
Aku mencharger handphone, chargerku tertukar dengan miliknya Dian. Tak masalah, nanti juga dikembalikan. Aku bergegas ke kamar tengah, kemudian berdoa dan mencoba untuk tidur. Alhamdulillah.

KKN di Desa RejasariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang