Jum'at, 1 September 2017

126 3 0
                                    

Gema takbir masih menggema ketika kubangun dari tidur. Aku segera berwudhu kemudian menuju Langgar untuk menunaikan sholat shubuh berjama’ah.

Selepas sholat, aku membuka mushaf Al-Qur’an kemudian kututup lagi. “Tilawah di posko aja, ah.” pikirku.

Sesampainya di posko, aku tilawah di depan pintu kamar tengah. Tak lama kemudian, Fitri bangun dari tidur, kemudian menyalakan lampu, “kenapa ngga dinyalain lampunya?”

Oh iya ya, pikiranku kok jadi buntu begini ya kayak gang. Hehe…

Selesai tilawah, aku mandi, karena banyak yanh sudah mengantri, kupercepat mandiku. Setelah mengenakan pakaian, kemudian aku mengepel lantai. Waduh! Kemana ini alat pel?

Aha! Pinjam dulu ke Langgar. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk mengepel enam ruangan posko. Lumayan melelahkan, mana ngga ada yang bantuin pisan. Euh!

Setelah selesai mengepel, aku menuju Langgar untuk mengembalikan alat pel sekaligus berwudhu, kemudian bersiap-siap ke masjid Al-Falah untuk menunaikan shalat Idul Adha berjamaah.

Waktu telah menunjukkan pukul 6:30 WIB, teman-teman KKN masih banyak yang belum siap. Akhirnya saat kami berangkat ke masjid, sudah tidak ada tempat untuk shalat. Kalaupun ada, kami harus menyela di tempat ujung dekat gerbang masuk.

Lagi ribet mencari tempat, Dian malah masih sempet ngajak ngomong, “cowoknya cakep-cakep ih,”

“Ngga pernah kelihatan ya?” Fitri menimpali.

“Pada merantau kayaknya yang remaja,” jawab Uni.

Banyak mata memandang ke arah kami. Serasa artis dadakan, tapi ada rasa sebal juga, bukannya membantu mencarikan tempat atau memberikan tempat, malah memperhatikan terus seakan-akan kami sedang beratraksi badut sulap.

Shalat akan segera dimulai, aku mengelar sajadahku langsung ke atas tanah. Sudah tak ada waktu lagi untuk mencari tempat, karena imam sudah memimpin shalat.

Dua rakaat selesai, kami saling bersalaman dengan para ibu dan nenek warga Dusun Sampih. Aku rasa di beberapa kilometer sana nenekku sedang menunaikan shalat Idul Adha di masjid Jami’ Baiturrahman, dan puluhan kilometer di sana, orang tuaku juga sedang melaksanakan shalat Idul Adha di Masjid Jami’ Al-Muhajirin. Aku sangat merindukan mereka.

Selesai shalat, kami menuju posko untuk berfoto bersama. Tiga foto sudah terambil. Saat akan masuk posko, kudengar Reka menahan tangis.

“Udah boleh pulang belum sih?” ujar Reka, sepertinya ia sudah mulai merasa bosan. Aku juga sama.

“Ah masa cowok cengeng. Aku mah udah biasa jauh dari rumah. Kalah sama cewek. Wooooo!” ledek Dian. Memang dia seperti itu orangnya, sabar.

Aku menaruh perlengkapan shalatku, kemudian merapikan semua barang bawaan. Sebenarnya aku sudah bisa langsung pamit, tapi aku lupa belum ke rumah Mbah Zaenab. Khawatir ngga akan pernah berkunjung lagi ke rumahnya.

Sesampainya di rumah Mbah Zaenab, aku pamit pulang. Kuajak ia berfoto, kemudian kami makan bersama. Aku pasti akan merindukan momen ini, sedih sekali rasanya.

Hari ini aku numpang tidur di kamar depan untuk terakhir kalinya. Kamar terenak yang pernah kutiduri selain di kamarku. Air mataku menetes, kenapa perasaan ini campur aduk. Antara ingin segera pulang dan tidak ingin meninggalkan tempat penuh kenangan ini. Akhirnya aku pun terlelap.

Adzan dzuhur berkumandang, aku terbangun dari tidurku. Kepalaku sakit, sedih melanda seketika. Aku bergegas mengambil air wudhu, kemudian sholat dzuhur di kamar depan.

Sebelum aku ke posko lagi, Mbah menawariku makan. Em, mau ngga ya? mau ngga ya? Udahlah sikat!

Selesai makan dan minum, aku pamit dan memeluk si mbah. Sedih banget perpisahan ini, yaa Allah.

KKN di Desa RejasariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang