Bangun tidur, aku langsung bergegas mandi kemudian sholat shubuh dilanjutkan tilawah. Selepas tilawah, aku ikut menonton film di laptop Dian. Sekitar pukul 7 pagi, Asiyah mengajakku membeli gorengan di dekat MIN 2 Kota Banjar. Aku ikut karena ingin membeli juga.
Aku membeli gorengan Rp. 3000. Satu gorengan harganya Rp. 1000. Menurutku harga yang sesuai dengan rasanya yang enak. Aku mengambil banyak cabe di toples yang disediakan ibu penjual gorengan. Belum apa-apa udah netes. Yah kalian pasti ngertilah apa yang netes. Hehe.
Sesampainya di posko, aku makan gorengan di ruang depan. Aku makan satu buah cabe rawit dengan satu gigitan gorengan, otomatis cabenya lebih terasa daripada gorengannya. Aku jadi sakit perut. Akhirnya, aku berhenti memakan cabe saat itu juga. Astaghfirullah! Mules aing...
Setelah makan, tak lupa membuang plastik bekas gorengan. Aku menuju kamar mandi untuk mencuci pakaian karena hari ini aku akan mengajar murid MI. Cie Bu Guru. Mau berangkat ngajar, Bu? Haha kalau Ali main ke posko 327, pasti dia yang paling gencar meledekku.
Tugasku hari ini adalah mengajar para siswa kelas 1 dan 6. Saat berangkat ke madrasah untuk mengajar kelas 1 sih keadaanku masih baik-baik dan normal. Ketika kelas 1 sudah diarahkan untuk pulang, badanku lemas seketika. Seharusnya aku, mengarahkan beberapa siswa untuk mengerjakan tugas sebelum pulang, namun aku tak mampu. Badanku lemas, kepalaku pusing, perutku juga sakit. Akhirnya aku hanya duduk di bangku paling belakang sambil melihat-lihat peta yang terpajang di dinding kelas. Aku ingin pulang, aku rindu.
“Jangan rindu, berat. Kamu ngga akan kuat. Biar...kan aku jatuuuuuh cintaaaa,”
Hadeh malah nyanyi...
Setelah para siswa kelas 1 selesai mengerjakan tugas dan berdoa, aku segera naik ke lantai 2 untuk mengajar siswa kelas 6. Di sana ada Uni dan Fikri. Mereka menugaskan para siswa untuk menghafalkan Undang-Undang Dasar. Tugasku hanya mendokumentasikan kegiatan mengajar dan menenangkan beberapa siswa yang keluar masuk kelas. Lumayan sulit, aku jadi teringat masa laluku di Sekolah Dasar. Masyaa Alloh.
Aku izin pulang ke posko karena lapar. Di posko, ada Asiyah sedang tiduran dan Fey akan pergi, sepertinya berangkat mengajar ke MI. Aku menuju dapur, ada oreg tempe. Seadanya ajalah, yang penting masih ada makanan udah bersyukur banget.
Selesai makan, aku minum. Biar ngga seret, apalagi keselek. Haha apalah itu namanya yang penting minumnya air putih. Karena adanya hanya itu. Huhu. Aku menaruh piring di tumpukan perlengkapan dapur yang kotor. Kemudian mengerjakan tugas blog dan diary KKN sampai menjelang adzan dzuhur.
Saat adzan berkumandang, aku menyudahkan tugasku. Aku bergegas wudhu dan berangkat sholat. Aku sangat mengantuk, ingin rasanya tidur di rumah Mbah Zaenab. Kulihat di depan rumahnya ada motor. Aku khawatir mengganggu tamunya.
Akhirnya aku nekat ke rumah mbah. Awalnya hanya sekedar ingin mengobrol, ia mengajakku ke dapur dan mengajakku berbicara banyak hal tentang agama. Kulihat sekeliling rumahnya, hanya mbah sendiri di rumah, tak ada tamu.
“Mbah, tamune neng endi?” Tanyaku.
“Lagi hajatan nang umah ngarep,”
“O, tak kiro neng kene, bali jam piro?”
“Sore kayane.”
Aku yang sudah mengantuk karena udara siang, jadi tambah mengantuk karena obrolan si mbah. Akhirnya, mbah mengizinkanku tidur di kamar tengah deket pintu yang menghubungkan ke ruang tamu. Aku menginjak ee cicak di depan pintu. Huft! Menyebalkan. Aku harus mencuci kaki dulu di sumur. Setelah itu aku membersihkan kotoran tersebut dan tidur dengan tenang. Ngga ingat apa-apa lagi karena rasa kantuk yang berat.
Bangun tidur, kulihat jam di handphoneku menunjukkan pukul 16:05 WIB. Aku membuka WhatsApp sebentar, ada chat dari Sarif mengajakku sensus penduduk RT 002, aku tak membalasnya karena harus segera sholat. Lagi pula ia mengirim pesan saat aku tidur. Kalau sudah pukul 4 sore, waktunya ngga cukup karena warga RT 002 itu banyak ngga hanya satu atau dua rumah.
Setelah sholat ashar di rumah Mbah, aku pulang ke posko lewat pintu belakang. Aku melihat Sarif di sumur. Aku tak menyapanya, aku langsung masuk ke posko lewat dapur dan bertemu Fitri. Aku segera mandi kemudian mengerjakan tugas Fay dan setoran hadits ke temen belajar di WhatsApp.
Adzan maghrib berkumandang, aku ke Langgar. Seperti biasa, selepas sholat, tilawah, dan mengajari anak-anak warga Dusun Sampih, aku mengobrol dengan ibu-ibu dan mbah-mbah jama’ah sholat. Di tirai sebelah, ustadz mengajari anak-anak mengaji Surah Al-Mulk. Aku ikut melafalkannya sampai menjelang isya. Kami sholat berjamaah lagi.
Aku ke posko, langsung melihat pemberitahuan di handphone. Bukan orang penting sih, tapi setidaknya menjadi orang yang mementingkan orang lain. Aku hampir ingin berteriak karena senang, malam ini mamah chat aku. Katanya tadi udah transfer Rp. 300.000. Alhamdulillah, terima kasih, Yaa Allah.
Saat aku sedang asyik membaca-baca chat. Ghina meminta tolong kepadaku untuk membeli pembolong kertas. Aku menuruti permintaannya karena aku ingin sekalian jalan-jalan malam, kebetulan motor Fikri sedang tidak dipakai. sebelum mencari pembolong kertas, aku ke ATM terlebih dahulu.
Toko demi toko kutanyakan kesediaan pembolong kertas, agak sulit juga mencari barang tersebut di desa terpencil. Akhirnya, aku melajukan motor agak jauh. Aku menemukan di sisi kanan jalan. Tapi aku menunda untuk membelinya, aku ingin jalan-jalan dulu. Suasananya sepi, namun sejuk, angin malam menerpa wajahku yang sedang merindu.
Sepanjang perjalanan, hatiku berbunga-bunga. Senangnya bukan main bisa jalan-jalan di desa asing yang asri ini. Sesampainya di kuburan dekat Desa Pataruman, aku memutar arah motorku. Tidak perlu menunggu 10-20 menit, 10 detik untuk berbelok pun mudah karena jalanan sepi namun aman, adem ayem dan tentram. Yaa Allah seandainya suasana Bandung dan Bekasi seperti ini. Aku ngga bakalan merantau jauh deh. Ah tapi inilah uniknya ciptaan Allah. Aku bahagia telah dibahagiakan oleh-Nya malam ini untuk sekedar memandang indahnya malam sendirian, berdua dengan motor.
Setelah berbalik arah, aku sengaja memelankan laju motor. Aku masih ingin jalan-jalan. Saat sudah di depan toko yang menjual perlengkapan kantor, aku berhenti dan memarkirkan motor di depan toko tersebut.
“Mbak, ada pembolong kertas.”
“Ada. Yang besar atau yang kecil?”
“Yang kecil, Mbak.”
Pemilik toko tersebut mengambil pembolong kertas. Aku menunggu di seberang etalase toko. Tak lama kemudian, mbak tersebut meletakkan pembolong kertas di atas etalase.
“Berapa, Mbak?” Tanyaku.
“Dua puluh ribu.”
Aku mengambil uang di dompetku dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. Setelah itu, aku berterima kasih kepadanya dan bergegas menyalakan motor untuk kembali ke posko.
Sesampainya di posko, aku makan malam di kamar sambil uptade WA Story tentang sms mamah yang transfer uang ke aku. Agak alay sih, tapi emang lagi alay kali. Haha. Sambil makan juga, aku uptade status jadwal ujian akhir BISA di Line. Siapa tahu ada yang mendoakan kemudahan ujianku.
Selepas makan, aku ke dapur mengambil gelas. Pintu kamar mandi tertutup. Aku mengira ada orang karena sejak tadi tertutup. Saat akan membuka pintu kamar mandi, aku terkejut hebat melihat Reka sedang duduk di bangku dekat gudang yang ada di dapur. Maklum lampu penerangan agak redup, aku kira ada jin penunggu bangku. Haha. Etdah jadi apa bae, emang lampunya yang mesti diganti nih. Udah berapa korban yang dia makan. Kita perlu protes Pak Nanang! Tulis poster, bawa pengeras suara, bawa bendera, pakai ikat kepala, ikat pinggang, ikat rambut, ikatan lahir dan batin. Yuk dipilih dipilih. Sayang anak... sayang anak...
Setelah mengambil gelas, aku ke ruang tengah untuk mengambil minuman di galon. Pas lagi duduk di ruang tengah, Arif dan Dian membicarakan warna baju yang kupakai. Hadeh, perhatian banget sih mereka.
“Ridha, udah mandi?” Tanya Arif.
“Udah.”
“Kok bajunya masih yang tadi,”
“Udah ganti, Rip. Tadi mah pakai warna merah. Sekarang item merah.”
“Hooo, Arip sok tau. Emang tadi mah Teh Ridha pake baju merah semua. Sekarang merah sama item,” Sela Dian yang duduk di samping Arif.
Aku hanya tertawa mendengar perang pembicaraan mereka. Kulihat Arif minum dan airnya tumpah, lalu dia langsung mengelap air yang tumpah itu, katanya lapnya bau. Eh malah tangannya ditempelkan ke dinding posko.
Aku ke kamar tengah, kuambil buku yang kubawa di tas, judulnya “Strategi Menuju Sukses”. Eh si Arip masuk ke kamarku, terus dia tutup pintunya. Entah apa maksudnya, mungkin lagi main petak umpet atau bersembunyi dari sesuatu. Haha. Aku percaya kok, dia orang baik-baik. Ngga akan berani berbuat di luar batas wajar.
Setelah pintu tertutup rapat. Arif kesulitan membuka pintu. Nah, pintu kamar tengah ini susah dibuka karena ngga ada gagangnya. Jadi mesti dibuka dari atas. Arif belum tau cara membuka pintu kamar tengah. Dia tidur di deket jendela kamar, aku ketawa-tawa melihat tingkahnya.
PLAK! Kupukul lengan tangan kanannya.
“Ih Ridha sakit,”Teriaknya.
“Maaf maaf, abisnya lucu banget. Hahaha.”
Ia langsung berusaha sekuat tenaga membuka pintu kamar. Aku sudah lelah tertawa melihat kelucuan Arif mengerahkan segala cara untuk membuka pintu kamar tersebut. akhirnya, aku membuka pintu dari atas. Pintu berhasil terbuka, Arif keluar. Aku segera meredupkan lampu dan merebahkan diri untuk tidur. Aku tersenyum sebentar mengingat kekonyolan teman-temanku hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN di Desa Rejasari
No FicciónKota Banjar, Kecamatan Langensari, di Desa Rejasari tepatnya, kami mengukir cerita bersama. Sebelum menyelam ke dalam isi diary KKN ini, penulis akan memperkenalkan tokoh nyata dalam cerita KKN kelompok 327 yang berjumlah 14 orang.... 1. Feri Sandri...