Rabu, 23 Agustus 2017

11 2 0
                                    

Hari ini aku bangun sebelum sholat shubuh, sehingga aku bisa bersiap-siap ke Langgar. Awalnya keadaan perutku baik-baik saja. Tapi setelah di pertengahan rokaat, aku mendadak mules. Hadeh, mengganggu konsentempe... eh konsentrasi maksudnya. Haha.
Aku langsung lari terbirit-birit, khawatir keluar di jalanan. Dengan jurus seribu bayangan, eh malah masih satu bayangan. Sesampainya di kamar mandi, aku tuntaskan hajatku, kemudian mandi. Selesai mandi, aku mencuci dilanjutkan dengan menjemur pakaian di tempat biasa, di belakang posko yang berdampingan dengan rumah Pak Nanang.
Kemudian aku ke kamar tengah, aku baru ingat kalau aku harus setoran 50 fiil ke ustadzah yang mengajarku secara online. Di tengah hafalan, ada yang menyuruhku untuk mengajar PAUD. Sebenernya agak kesel, tapi sudah menjadi tugasku bersama Ulfah.
Di sekolah, materi yang diajarkan oleh Bu Lala adalah menempel mozaik ikan ke atas pola yang sudah dibuat di buku gambar. Aku jadi keasyikan nempel-nempelin mozaik. Ini malah jadi aku yang ngerjain tugas anak-anak PAUD.
Setelah anak-anak PAUD selesai belajar, aku mampir ke ruang kepala sekolah. Aku mengobrol dengan Bu Lala, aku kasihan kepadanya. Ketika bercerai dengan suaminya, dia tinggal dengan saudaranya. Aku lupa daerah mana, yang pasti jauh dari PAUD tempat beliau mengabdi. Padahal sebelum bercerai dengan suaminya, rumahnya berdekatan dengan PAUD, selangkah dua langkah juga sampai.
Hari ini sepeda Bu Lala rusak, aku ingin mengantarnya pulang. Tapi aku juga hanya ada sepeda, itupun meminjam punya warga. Akhirnya, aku hanya bisa mendoakan keselamatan beliau. Setelah mengobrol, aku pamit pulang kembali ke posko.
Lima belas menit perjalanan, aku sampai di posko. Aku ke kamar tengah, kemudian membuka facebook. 12 jam yang lalu, Ali menandaiku postingan video Hanan Attaki tentang pernikahan di zaman Rasulullah Saw. Lucu materinya. Haha.
Adzan dzuhur telah berkumandang, aku bergegas mengambil air wudhu kemudian berangkat ke Langgar untuk shalat berjamaah. Selesai shalat, aku tilawah kemudian kembali ke posko lewat pintu belakang. Di sana ada Dian dan Ita, mereka nanya ke aku berbarengan, “Jadi ngga?”
Akhirnya aku jadi ke KUA pinjam motor oren milik Pak Nanang. Ini adalah pertama kalinya, aku naik motor gigi. Mana remnya udah sengklek, kagak bisa direm sama sekali. Aku ke KUA sama Ita, tak lama kemudian Bilqis, anak Bu Hurnia datang mau minta ikut. Aku mengajaknya karena ngga enak kalau menolak permintaan anak pejabat. Bisa-bisa digedik pake sapu. Dalam fikiranku sapu ijuk ya, bukan sapu tangan apalagi sapu nyere.
Perjalanan ini membuatku ketakutan karena rem untuk menghentikan kendaraan tidak bisa digunakan. Aku jadi kesel karena saat di perempatan jalan, aku hampir tabrakan motor dari arah kiri. Kalau aku yang jatuh ngga masalah, kalau dua anak SD yang aku bonceng jatuh kan bahaya, aku harus ganti rugi. Buat makan aja masih nahan-nahan, gimana mau ganti rugi. Tapi alhamdulillah, aku ngga jadi ganti rugi karena ngga sampai tabrakan.
Letak KUA Langensari tidak jauh dari alun-alun, aku ke sana untuk menanyakan data perkawinan dan perceraian untuk tugas akhir KKN ini. Aku tergagap setengah mati berbicara dengan pegawai KUA, tapi bapak itu mampu mencairkan suasana sehingga kau tidak terlalu tegang. Aku mendapatkan beberapa data perceraian di daerah Langensari.
Sepulang dari KUA, aku mampir ke kantor desa Rejasari. Aku mengecek whatsApp, Sarif mengirim pesan kepadaku untuk mengajar Diniyah. Aku bergegas pulang ke posko, tapi motor ngga bisa melaju karena rem masuk ke dalam gigi roda. Berkali-kali kucoba tetapi tetap tidak melaju. Akhirnya aku meminta tolong kepada seorang bapak yang sedang berjalan di depan kantor desa.
Ia langsung bergegas menolongku, ternyata tenaga lelaki itu kuat ya? Kuda juga kalah. Kuda yang dimasukin koin itu sih, kalau kuda lumping nanti kesurupan.
“Saha ieu? Saha ieu?”
“Aing kuda setan!”
Haha. Apa sih! Lanjut...
Setelah motor bisa dilajukan, aku berterima kasih kepada bapak itu. Aku menuju posko secepat mungkin walaupun agak takut. Jalanan sempit dan menanjak menurun itu sungguh menambah pesona tantangan sore hari itu.
Sesampainya di posko, aku segera sholat ashar kemudian mengajar Diniyah. Jaraknya posko ke Diniyah sekitar 50 meter, tidak terlalu jauh, makanya aku jalan kaki. Ngga perlu ke stasiun Bekasi dulu untuk mengajar di sana. Aku mengajar kelas dua atas permintaan Intan, tetangga posko kami yang sering bertemu denganku di Langgar. Sulit rasanya menyesuaikan diri karena belum ada pengalaman mengajar. Jadi aku tidak bertahan lama di kelas. Mereka berisik pun aku biarkan saja karena aku merasa kurang nyaman kalau belum mandi. Haha.
Oke, setelah santri Diniyah berdoa dan bersalaman kepadaku, aku langsung berjalan cepat ke posko. Aku ke ruang belakang, “Hah, kosong! Astaghfirullahal ‘Adziim.” Eh salah, maksudku “Alhamdulillah kamar mandi kosong,” gumamku.
Setelah mandi, aku bersiap-siap untuk sholat maghrib di Langgar. Teman-teman KKNku ingin main ke rumah Rusmi, aku tidak ikut karena mereka ke sana saat akan maghrib. Seperti biasa, di Langgar, aku mengobrol dengan Ibunya Syifa, Ibunya Pak Joni, dan para ibu-ibu taklim Langgar itu. Kalau sudah mengobrol dengan mereka, rasanya tawaku lepas. Mereka tidak membicarakan orang lain, mereka membicarakan seputar hal-hal lucu di kehidupan mereka. Makanya aku merasa lingungan ini sangat nyaman untukku.
Di tengah pembicaraan setelah ada suara “krik, krik, krik”, Ibunya Syifa mengajakku “dengan sedikit memaksa” untuk menginap di rumahnya. Aku agak plin plan, tapi pada akhirnya aku menyetujuinya.
Di kamar poskoku, Aku mengemasi beberapa pakaian untuk menginap di rumah Ibu Syifa. Saat akan berangkat, Yana dan Reka minta dibikinin kopi. Aku izin untuk menginap dan mereka mengizinkan. Kalau ada temen perempuan di posko, pasti aku ngga akan diizinin.
Saat itu mama Syifa sedang menulis pembayaran paket lebaran. Aku bertanya sekenanya saja, karena kulihat ia sedang sibuk. Setelah selesai merapikan kertas-kertas catatan paket lebaran, mama Syifa mengajakku makan.
Menu makan malam ini adalah sambel tomat dan pelas. Di Bekasi atau Bandung ngga ada sebutan pelas. Pelas sejenis makanan yang terdiri dari udang dicampur dengan parutan kelapa dan daun kemangi. Enak!
Setelah makan malam, kami mengobrol singkat sampai waktu menunjukkan pukul 10 malam. setelah itu, aku disuruh mama Syifa memilih tempat tidur. Ada kamar depan dan kamar tengah. Aku memilih tidur di tengah. Ada sedikit rasa ngga enak, tetapi karena keluarga ini mampu mengambil hatiku, makanya aku merasa nyaman walaupun kami baru kenal beberapa pekan yang lalu.
Seandainya saja ibuku mampu membuatku nyaman. Mungkin aku tidak akan sering pergi dari rumah. namun setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Aku membuka beberapa media sosial sampai rasa kantuk itu muncul sehingga aku tertidur. Entah, aku lupa sudah mengeluarkan media sosial atau belum.

KKN di Desa RejasariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang