Hari ketigaku di Dusun Sampih. Yeay! Alhamdulillah masih Allah izinkan untuk mendengar adzan shubuh. Aku terbangun, saat mendengar sepenggal kalimat adzan dari Langgar yang berdekatan dengan posko, “Ash-Sholaatu khayrum minan nauum,”
Aku mencoba membangkitkan badan dari tidurku, tapi entah kenapa badan kok rasanya sakit kayak ditarik macan dari belakang. Agak males mikir juga kenapa bisa sesakit ini. Haduh untung cuma sakit badan ngga sampai sakit hati. Oh, apa karena aku tidur beralas kasur tipis ya? Maklumlah Mis Queen, terbiasa tidur di Kerajaan Majapahit. Lah iya, Maja Pahit. Mau Jajan, duitnya Pahit. Hahay...Kupaksa melangkahkan kaki menuju Langgar. Padahal jaraknya sangat dekat loh, tapi badanku terasa sakit seperti habis berjalan ribuan kilo. Nah, selain sakit, kudengar juga bisikan ghaib yang selalu menyertai di setiap pijakan langkahku. Mungkin mereka kira, aku sutradara sinetron azab. Maaf bukan saya orangnya, om!
Pikiranku mulai jernih saat sampai di teras Langgar, memang benar kata Allah dalam QS. Alfalaq bahwa kita perlu berlindung di waktu shubuh agar para fans ghaib yang selalu membisiki, tak mengganggu ibadah kita ya? Waduh, sholat udah mulai! Oh ya cuk, belum wudhu, ngapain aku ikutan sujud?!
Selesai shalat, aku segera berlari secepat meong. Alarm gatalku sudah melanda, mandilah solusinya. Oh ya! hari ini aku ada amanah dari Bu Ina untuk mengikuti serangkaian kegiatan di Posyandu Sindanggalih. Kalau ngga ada kegiatan, ngga mandi dong? Ahaha... Mandi sih, tapi agak siangan.
Selepas mandi, berganti pakaian, dan wangi seperti dede bayi, aku menunggu kedatangan Arif ke posko perempuan. Lama euy! Sambil menunggunya, aku mengisi waktu luang dengan mengerjakan tugas bahasa arab. Tak lama kemudian, kulihat sosok lelaki jangkung berkaca mata. Nah ini dia yang ditunggu! Arif! Eh eh eh, lah kok tiduran?
“Jadi ngga, Ridha?” tanyanya sambil berbaring di atas lantai ruang tengah.
“Jadi, tapi belum ada balesan dari Bu Ina,”
“Coba telpon.”
“Udah nih. Ngga diangkat,”“Jadi ngga sih?”
“Tunggu aja,”
Selang beberapa menit, telepon whatsappku berdering. Panggilan dari Bu Ina yang menanyakan kehadiranku.
“Ini mau ke sana, Bu,”
“Oke, ditunggu ya?”
“Iya bu,”
Bu Ina mematikan teleponnya.
“Hayu, Rif. Udah disuruh ke sana,”
Ia bangun dari rebahannya, “naik sepeda aja ya? Aku gak bisa bawa motor.”
Rencananya, kita ke posyandu mau ngendarain motor, malahan Arif baru bilang kalau dia ngga bisa ngendarain motor. Mana udah minjem kunci motornya Yana. Yah kan, saking jujurnya si Arif malah dibully satu RT. Jangan dah! Kebanyakan. Duitnya ngga cukup buat nyawer. Haha. Ngga kok cuma beberapa orang yang ada di ruang tengah aja yang ngeledekin Arif.
“Selama ini Bang Arif ngga pernah boncengan motor sama pacarnya dong?” kata Fitri.
“Jalan kaki dia mah. Haha.” ledek Feri.
“Yaa Allah, Arif teh ngga bisa naik motor?! timpal Ghina.
“Yaudah, aku aja yang boncengin,” tawarku.
“Naik sepeda aja ya, Ridha?” tanya Arif.
“Oke ,” jawabku singkat. Biar cepet, udah kesiangan soalnya. Padahal udah siap-siap dari pagi kita.
Akhirnya kami berdua sepakat naik sepeda menuju posyandu. Aku meminjam sepeda ibunya Gita, sedangkan Arif meminjam sepeda milik salah satu warga Dusun Sampih.
Sepanjang perjalanan menuju posyandu atau mungkin sempat nyasar sebentar, kulihat Arif seringkali menabrak benda-benda yang dilaluinya. Udah gitu ya, naik sepedanya lambat banget. Pengen ngetawain takut tersinggung. Pengen marah, takut ikut marah. Huft, tarik nafas, minum air segar, biar otak fresh. Sabar sabar. Sesekali aku berhenti dan memperlambat laju sepeda, biar Arif ngga ketinggalan. Kasihan kalau kita berdua misah, apalagi dia ngga fasih bahasa jawa ngapak. Hehe...
Aku ingat betul, saat kami sedang dalam perjalanan menuju posyandu, kami sempat salah jalan. Lalu kucari sesosok warga untuk kutanyai tentang jalan lurus menuju posyandu yang menjadi tujuan kami. Aku menghela nafas sambil memikirkan perasaan Arif yang kuajak tersesat ditambah lagi ketidakmahirannya dalam bersepeda. Di hati ada perasaan khawatir dia akan ngambek, nangis, guling-guling di jalanan, terus nanti ngga mau main sama aku lagi deh. Uuu...
Sesampainya si posyandu, aku bersyukur karena bisa selamat sampai tujuan. Apa jadinya coba kalau aku ngga nanya? Bisa nyasar ke Patung Liberti kaIi ya?
Eh ini kegiatan posyandu apa kondangan ya? Kok ada banyak bangku plastik, prasmanan, dan kotak makanan, udah gitu pada pakai baju batik segala. Aku malah pake kaos, lah kirain mah acara lomba gitu. Ternyata kegiatan yang diadakan hari itu adalah penilaian kader posyandu. Yah! Gagal memimpikan besek cadangan.
Menurutku, warga Banjar sangat ramah. “Senyumanmu di hadapan wajah saudaramu adalah sedekah,” hadits itu telah diamalkan oleh warga Banjar. Salut banget deh sama mereka. Sangat pantas dijadikan teladan untuk manusia yang tidak tau arti pentingnya sebuah senyuman dan sapaan kepada yang belum dikenal. Sering banget aku nemuin orang manyunan di suatu tempat. Bagi mereka, senyum dan sapa sepertinya hanya berlaku untuk yang dikenal saja. Salah besar ya, ges?!Dan dari sini juga, aku mulai menyadari bahwa, “Jika kita ingin bahagia, maka bahagiakan orang lain. Banyak cara menciptakan kebahagiaan, salah satunya dengan senyuman,”
Saat kegiatan posyandu berlangsung, Nati diminta untuk menjadi dirigen lagu Indonesia Raya, sedangkan aku mendapat amanah sebagai sie. dokumentasi. Alhamdulillah selama di posyandu, keenam mahasiswa KKN yang terdiri dari aku, Arif, Rusmi, Nati, dan Endang dapat mengikuti jalannya kegiatan dengan baik sampai akhir acara.
Sekitar pukul 12 siang, kegiatan telah selesai, aku dan Arif izin kepada Bu Ina untuk kembali ke posko. Hadeh! Jadi kepikiran masalah Arif dan sepeda yang dikendarainya, pasti akan menyita banyak waktu. Mana perutku udah kelaparan, ges. Apa yang harus kulakukan?!Berkat kesabaran, akhirnya kisaran waktu satu jam, kita berdua sudah sampai posko lagi. Alhamdulillah sampai dengan selamat dan tidak ada lecet sesikitpun. Akhirnya bisa bernafas lega sambil rebahan di kasur tipis kamar tengah.
What! Baru juga nempelin badan ke kasur, si Ahya chat aku, ngajak ketemuan di Kantor Desa Rejasari buat ngoprek blog KKN. Aku pun keluar kamar dan meminta tolong kepada salah satu kelompokku yang sedang rebahan di ruang tengah. Awas aja kalau ngga ada yang mau nganter, langsung ambil pisau ke dapur nih! Haha, buat motong bawang merah. Huhu syedih...
Syukurlah, akhirnya Dede bersedia mengantarku ke Kantor Desa Rejasari. Tapi kok sepi, wah ngga bagus, udah ngga enak nih perasaan. Aku pun meminta Dede langsung ke posko kelompok 325 untuk menjemput Ahya. Eh kurang ajar banget si Ahya. Aku udah sampai di poskonya, dia malah membatalkan pertemuan.
Bukannya ikut pulang ke posko, si Dede malah main sama mahasiswa kelompok 325. Lah aku malu cewek sendirian di situ, mana laper juga. Yaudah aku izin balik ke posko meninggalkan Dede yang lagi rebahan di sofa posko 325. Nanti selepas sholat maghrib, aku harus menjemputnya lagi.
Baru juga sampai di depan posko 327, anak-anak warga Sampih memintaku mengajari mereka tugas matematika. Aku agak pusing sebenernya, mana laper, rasanya pengen makan sesuatu aja. Tapi sebentar, minum air biar pikiran lurus kayak jalan tol. Sabar dha, sabar!
Adzan maghrib berkumandang, kami menyudahi kegiatan mengerjakan tugas hari ini, karena harus menunaikan shalat berjamaah di Langgar, dilanjut menyimak anak-anak membaca Alqur’an sambil menunggu shalat isya berjamaah.
Selepas shalat di Langgar, anak-anak itu tidak langsung pulang ke rumah, mereka singgah di depan posko 327. Kuajak bermain sambung kata, kalau yang ngga bisa jawab, hukumannya adalah menghafal surat-surat pendek. Seru banget deh malam ini, ternyata salah satu penawar kesepian adalah kasih sayang dari anak-anak. Sayangnya, belum punya anak. Udahlah, kan ada ..... Waduh! Lupa aku jemput Dede. Masih fresh ngga ya? Khawatir udah berlumut dan berlendir di sana.Hadeh! Ngapa sih ada acara jemputan segala. Untung si Dede ngga ngamuk karena telat kujemput. Kita langsung gas lagi ke posko 327. Kulihat Bilqis dan Gita masih di teras posko karena tugas mereka belum selesai.
Tak lama kemudian, Sarif dan Feri datang. Feri masuk ke posko sedangkan Sarif membantu tugas matematika Gita, sedangkan aku membantu tugas Bilqis.
Waktu semakin larut malam, dua anak itu pamit pulang setelah tugasnya selesai. Para mahasiswa kelompok 327 segera kembali menuju posko laki-laki. Sedangkan Sarif malah duduk di sampingku, kami ditemani Asiyah yang duduk di depanku. Berawal dari Sarif yang bertanya soal SSC di kampus ITB. Sejak itulah, kami bertiga jadi mengobrol panjang sampai lupa waktu.
“Udah malem, ngga enak dilihat tetangga.” Fikri mengingatkan kami.
“Aku pulang ya?” kata Sarif.“Hati-hati ya?” jawabku.
“Sip!”
Aku tidur larut malam lagi sehingga fenomena alam yang terjadi malam itu terasa jelas. Aku merasakan guncangan di ruang tengah, kukira aku pusing karena belum makan. Ternyata saat aku login facebook ada seorang mahasiswa yang update tentang gempa di Cilacap. Aku membuka berita APUS di hapeku, ternyata pada pukul 23:14 WIB, telah terjadi gempa di Cilacap dengan kekuaatan 5,2 SR.
Subhanallah... semoga Alloh melindungi saudara-saudaraku di sana.
Waktu telah menunjukkan tengah malam, mataku masih belum terpejam juga. Hingga akhirnya, aku harus memaksakam diri untuk tidur, karena besok harus menunaikan shalat shubuh dan menjalankan amanah pada kegiatan KKN ini. Tetap berfikiran positif dan sertakan Alloh dalam setiap detak jantung dan hembusan nafas kita. Bismillah untuk menjalani hari esok yang lebih baik. C U!
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN di Desa Rejasari
Non-FictionKota Banjar, Kecamatan Langensari, di Desa Rejasari tepatnya, kami mengukir cerita bersama. Sebelum menyelam ke dalam isi diary KKN ini, penulis akan memperkenalkan tokoh nyata dalam cerita KKN kelompok 327 yang berjumlah 14 orang.... 1. Feri Sandri...