Bangun tidur, aku langsung ke kamar mandi. Jangan tanya mau ngapain, ini rahasia masing-masing. Baiklah, selesai mandi dan bersih-bersih diri, aku langsung memasak. Hari ini adalah jadwal piket memasakku. Aku senang bisa memasak bersama teman-teman KKN, karena bisa belajar menu-menu baru yang belum kuketahui sebelumnya.
Selepas memasak, aku mencuci piring bersama Asiyah di sumur punya Pak Nanang. Lumayan banyak, sehari bisa mencuci satu sampai dua baskom. Maklum ada yang makannya sebakul. Siapa ya orangnya? Haha aku jadi merasa tersindir. Okey, setelah piring bersih semua, aku merapikan peralatan masak dan makan di dapur.
Aku memasak nasi. Sebelum dimasak, tentu saja berasnya harus dicuci. Aku kembali lagi ke sumur dengan membawa beras yang akan dicuci. Selesai mencuci beras, aku kembali ke dapur lewat pintu belakang karena memang dapurnya di belakang. Kalau dapurnya di depan, aku lewat pintu depan. Tapi kayaknya jarang ada rumah dapur di depan deh, kalau pun ada mungkin hanya orang-orang tertentu. Itulah yang dinamakan seni.
Saat masuk ke dapur, Aaaaaaah! Ada burung merpati milik Pak Nanang berjalan-jalan di dapur. Aku terkejut dan mengusir burung tersebut. Saat kuusir, burungnya kebingungan karena dia bingung mau keluar lewat mana sedangkan aku menghalangi pintu keluar.
Aku keluar sebentar memberi celah sang burung, mereka panik sampai minyak sayur dalam mangkuk putih bertuliskan mamasuka diinjak dengan kakinya yang penuh butiran debu. Hiks! Aku merasa bersalah karena telah menodai kesucian minyak sayur tersebut. Bukan, bukan itu maksudku. Aku merasa kelompokku harus berhemat sampai akhir KKN, jadi aku merasa bersalah karena minyak yang baru dibeli itu diinjak kaki burung.
Kulihat jam telah menunjukkan pukul 07 lebih, aku harus segera ke PAUD untuk mengajar adik-adikku tercinta. Alhamdulillah, khidmat hari ini berjalan dengan lancar. Saat berangkat, aku membantu memasang papan tulis, kemudian memasang kantung nama, membantu adik-adikku menulis dan mewarnai gambar, dan saat pembagian buku tabungan, aku melihat jumlah tabungan mereka, ya ngga apa-apalah penasaran sekali-kali. Masya Alloh! Rasanya ada alien mau mampir ke dalam hatiku. Jumlah tabungannya gede-gede! Ada yang di atas lima ratus ribu, tujuh ratus, sembilan ratus, bhkan ada yang sampai jutaan. Kalah aku sama mereka. Wajar sih, itu uang dari orang tua mereka, tetapi bagaimana pun juga mereka mampu menyisihkan. Ngga buat hal-hal lain di luar itu.
Materi pembelajaran pun selesai, aku pun pamit kepada para pengajar dan adik-adikku. Aku langsung mengecek handphone, ada chat dari Ahya. Ia menuliskan bahwa hari ini ingin bertemu denganku di Kantor Desa Rejasari.
Aku pulang ke posko untuk meminjam motor. Hari ini Sarif piket di Kantor Desa, sehingga ia pun harus ke sana. Akhirnya aku berangkat bersamanya, berdua namun tak ada rasa. Astaghfirullah, Dha! Ingat yang di Bekasi.
Kurang lebih dua belas menit, aku dan Sarif sampai di Kantor Desa. Aku menuju ke saung bambu yang terletak di sekitar Kantor Desa. Sarif mengikutiku. Ia tidak tahu harus menuju kemana. Aku mengira piket desa itu seperti menyapu lapangan kantor desa atau mengepel aula desa. Ternyata membantu bagian administrasi di ruangan ber-AC.
Aku menunggu Ahya di balai, aku chat tak dibalas, kutelepon tak diangkat. Kemana sih kamu, Ya. Apa tidur lagi? Apa lagi berenang di laut Pangandaran? Ya kali, dia nyasar sampai Pangandaran terus keasyikan renang.
Tak lama kemudian, aku melihat dua laki-laki membawa motor ninja berwarna merah. Ahya dibonceng Rizal. Ahya menghampiriku, Rizal memarkirkan motor dan menuju ruang administrasi. Sarif yang daritadi duduk bersanding denganku kini menghampiri Rizal. Oh sakitnya!
“Ya, tadi kenapa telepon aku ngga diangkat sih?” Tanyaku sedikit kesal.
“Lagi di motor, masa suruh teleponan,”
“Ya kan dibonceng Izal,”
“Ngga bisa teleponan di motor,”
Ahya menyalakan laptopnya, aku juga menyalakan laptopku. Kami berdua harus memposting kegiatan-kegiatan terbaru di KKN ini. Namun, apa daya? Wifi selancar apa pun kalau lupa password ngga akan bisa log in ke blog. aku menyalahkan Ahya. Namun ia tak mau disalahkan, karena ia ingin selalu benar. Baiklah, aku mengalah. Untuk menenangkan hati, aku menyambungkan laptop dengan Wifi, aku menonton film “Ketika Cinta Bertasbih” lewat Youtube.
Di tengah kegundahan hati, Sarif dan Dian datang selepas menunaikan Shalat Dzhuhur di masjid terdekat dan membawa susu kedelai. Sarif memberiku satu bungkus. Ngga lama kemudian, Rizal datang untuk menjemput Ahya pulang ke posko. Aku rela melepasnya pergi, kulambaikan tangan dan kutahan isak tangisku. Duh kok jadi puitis begini ya?
Di saung ini, hanya ada aku, Sarif, dan Dian. Kami menunggu Fikri yang akan menjemput Dian. Namun, tak kunjung datang padahal sudah dihubungi tetap tak ada jawaban. Sambil menunggu kedatangan Fikri menjemput Dian, kami mengobrol seputar keagamaan, dari mulai pancasila tak sesuai dengan ajaran Islam, tentang cadar, Hizbut Tahrir, dan lain sebagainya. Hanya Dian yang paling banyak berbicara. Aku dan Sarif hanya menanggapi mengenai pro dan kontra saja. Bukan tak berilmu, hanya tidak ada celah untuk bicara karena Dian adalah orang yang kukenal banyak bicaranya. Kami rela mengalah agar ia bebas mengeluarkan segala aspirasi dan inspirasinya. Semangat! Awas laler masuk.
Waktu semakin mendekati ashar, karena Fikri belum ada kabar. Kami naik motor rempet tiga. Sarif di depan, aku di tengah, Dian di Belakang. Aku mesti sedikit menjaga jarak, namun tak bisa karena dalam kadaan terpaksa dan Sarif pun menang banyak. Saat akan menyeberang jalan, kami bertemu Kang Dede. Dian memberhentikan motornya dengan suaranya yang menggelegar bagai guntur di siang bolong. Ia langsung turun dan menghampiri Kang Dede yang akan ke posko 325.
Aku dan Sarif pulang ke posko berdua. Ia bercerita banyak, salah satunya saat aku bertanya mengenai ucapan teman sekelompok yang kudengar, “Sarif, emang kemarin kamu ke Alun-Alun Banjar naik sepeda ya?”
“Iya,”
“Sama siapa?”
“Sendiri. Aku kan jomblo,”
Dalam hati kuberkata, “Pret!” Lalu kujawab, “Itu Dian, masih ada Dian,” Maksudnya aku menawarkan Dian agar dijadikan teman agar ia tidak jomblo. Gitu.
Sesampainya di posko, aku menuju dapur karena perut sudah saatnya untuk diisi. Saat aku akan makan, nasi dan sayur akan habis sedangkan Sarif juga mau makan. Akhirnya aku membagi dua makananku dengannya. Di meja makan, aku bercerita banyak dengannya. Ngga lama kemudian, cerita kami terpotong dengan kedatangan Dian. Ia malah mengajak ngobrol Sarif. Rasanya garpu di sampingku siap kutancapkan ke mulut Dian. Bukan cemburu ia mengobrol dengan Sarif, hanya saja aku tidak suka setiap aku mengobrol dengan orang, pasti dia datang dan mengalihkan lawan bicaraku agar mengobrol dengannya.
Setelah makananku habis, aku langsung mencuci piring. Tidak kubiarkan menumpuk-numpuk di dapur karena ada yang piket mencuci. Namun, ini masalah kebersihan. Aku tidak betah dengan sesuatu yang kotor.
Selesai mencuci piring, aku bertemu Gita. Ia mengajakku jalan-jalan naik sepeda. Gita mandi dulu, aku memasak nasi. Setelah beres, aku mengajak Salsa dan Yasir menonton video lagu anak Islami di handphoneku di samping posko.
Gita selesai mandi, kami langsung jalan-jalan naik sepeda. Aku naik sepeda warna ungu dan Gita naik sepeda warna merah. Kami jalan-jalan ke daerah Bojongkantor, kemudian ke jalan setapak di samping sungai perbatasan Dusun Sampih dengan Dusun Bojongkantor.
Waktu telah menunjukkan pukul setengah empat, kami tukeran sepeda. Gita akan berangkat mengaji di Madrasah Diniyah, aku kembali ke posko untuk melanjutkan tugas wajibaat pekan 4. Setelah selesai, aku mandi.
Saat keluar dari kamar mandi, aku sudah memakai pakaian. Kulihat di halaman posko 327 banyak mahasiswa membawa motor. Aku menuju kamar tengah, Ulfah bilang bahwa hari ini kita akan berfoto di pintu gerbang Rancabulus tepatnya di gapura perbatasan Desa Rejasari bertuliskan “Selamat Datang Mahasiswa KKN dan tulisan-tulisan lainnya yang tidak sempat kubaca”
Aku ke Bantardawa dibonceng Rizal naik motor ninjanya yang kalau digas kencang, kerudungku mau lepas. Namun, wajar jika ia ngebut karena waktu sudah akan mendekati maghrib. Aku tak melihat Asiyah dan Feri. Saat perjalanan pulang, barulah aku melihat mereka menuju gapura dengan menaiki sepeda. Mereka tak ikut foto bersama, karena sudah selesai.
Selesai berfoto, seluruh kelompok 325, 326, dan 327 diharapkan untuk berkumpul di posko laki-laki kelompok 325 untuk membicarakan mengenai kegiatan KKN, blog KKN, sampai kepada kesepakatan penutupan kegiatan KKN.
Waktu semakin larut malam, kumpulan kelompok ditutup. Aku diantar pulang sama Bang Lepimen. Bonceng bertiga sama Dian. Aku di tangah duduk menyamping, Dian duduk menghadap depan, dan Lepimen yang mengemudikan motor. Entah mengapa, di saat-saat seperti ini masih saja kuingat dia yang di Bekasi, sampai tangan kananku tak sengaja memeluk pinggang Lepimen, sawah yang kupandang menjadi saksi bahwa kelak kuberharap bisa seperti ini. Abaikan Dian, karena aku sedang tidak memikirkannya. Ini kisah berdua saja. Astaghfirullah, aku salah pegang!
Saat di jalan dekat jembatan Dusun Sampih, Asiyah jatuh dari sepeda. Duh, untung saja jalanan sedang sepi kendaraan dan bukan jalan dengan banyak mobil besar. Alhamdulillah dia tidak apa-apa. Kami panik, namun dia malah tertawa. Duh aduh, masih ada saja yang seperti itu. Menyembunyikan rasa sakit dengan tawa.
Sesampainya di posko, aku turun dari motor dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Lepimen, ganteng. Masyaa Alloh. Aku langsung masuk ke posko dan langsung menuju kamar tengah mengingat tugasku belum selesai.
Saat tengah mengerjakan tugas, Asiyah datang membawakanku sepiring makanan. Aku disuruh makan sama Asiyah. Tak lama kemudian, Feri datang dan mengajakku mengobrol. Mereka sangat perhatian terhadapku. Namun, aku tak pernah sedetikpun terbetik fikiran itu. Maafkan aku sahabatku.
Sarif pun datang dan masuk ke dalam kamar untuk bergabung dalam forum kecil ini. Saat Feri dipanggil oleh seseorang, ia keluar. Asiyah pun ikut keluar. Di kamar hanya ada aku berdua dengan Sarif. Ia tiduran di tempat tidur Fitri, aku ingin mengusir tetapi ngga enak. Yasudahlah yang penting jangan macam-macam. Tapi aku yakin Sarif itu orangnya baik.
Karena Asiyah dan Feri tidak masuk ke kamar lagi, Sarif pun keluar kamar, Dian masuk kamar dan menutup pintu, kemudian membuka jendela. Ia tiduran di sampingku. Saat aku sedang asyik melihat-lihat dan membaca postingan di media sosial, ada kepala nongol dari jendela dan mengagetkan kami berdua. “Aaaaaah!” Aku dan Dian berteriak bersama. Sayangnya tak ada dirijen yang mengatur nada teriakan kami, sehingga temponya acak-acakan dan tidak konsisten.
Ternyata itu adalah Bu Kusniah. Innalillahi! Hampir pingsan aku. Kalau sampai itu beneran makhluk dari alam sana. Ia mengajak kami mengobrol sesaat mengenai keadaan kelompok kami. Setelah Bu Kus, puas berbicara dengan kami. Ia kemudian pergi. Semoga itu beneran Bu Kus. Aamiin...
Aku sudah mengantuk, namun aku kesulitan tidur karena sesak nafas. Aku masih pilek. Menyiksa sekali. Tetapi aku tetap usahakan hingga akhirnya aku pun tertidur dengan do’a yang telah kupanjatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN di Desa Rejasari
Non-FictionKota Banjar, Kecamatan Langensari, di Desa Rejasari tepatnya, kami mengukir cerita bersama. Sebelum menyelam ke dalam isi diary KKN ini, penulis akan memperkenalkan tokoh nyata dalam cerita KKN kelompok 327 yang berjumlah 14 orang.... 1. Feri Sandri...