Senin, 28 Agustus 2017

24 2 0
                                    

"Pagi ini aku harus ke BRI!" ungkapku seketika saat membuka mata. Aku sadar ini adalah hari senin. Hari yang kunantikan untuk komplain penurunan harga BBM dan menaikkan gaji mahasiswa.

Hmm, kayaknya pagi-pagi pikiranku masih ngelantur. Sudahlah mandi dan sholat shubuh dulu. Habis itu, pakai jurus menghilang seketika, "berangkat ke Bank BRI ngga izin siapa-siapa."

Ternyata ngga enak kalau kemana-mana ngga izin. Akhirnya, aku izin ke Reka lewat Whatsapp karena izin ke yang lain bikin rusuh aja.

Aku langsung ke rumah mama Syifa lewat pintu belakang karena lebih menjaga privasi diri. Tak perlu tenaga kuda bahkan modal jutaan rupiah, aku sudah sampai di depan rumahnya, kemudian memanggil mama Syifa untuk segera berangkat ke sekolah TKnya Ipin, adiknya Syifa, sekalian aku meminjam motor untuk komplain ke Bank BRI.

Kami ke sekolah Ipin naik motor bertiga. Untungnya aku langsing karena rajin diet menahan lapar dan dahaga jadinya ngga terlalu makan banyak tempat di jok motor. Eaaa...

Sesampainya di sekolah Ipin, aku meminjam motor mama Syifa untuk segera menyerang bank BRI. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, namun gengsi atuh lah orang kaya masa ke Bank suruh jalan kaki, nanti kakiku lecet. Haha gaya-gayaan lecet, biasanya juga jalan di atas beling masih mulus aja.

Sekitar 5 menit perjalanan, aku sudah sampai di depan bank BRI. Tak perlu menunggu didobrak, ternyata bank sudah buka sepagi ini. Sangat disiplin dan perlu apresiasi positif.

Aku segera masuk ke dalam bank, kubuka pintu dan mengacungkan pistol mainan, "Angkat tangan semua! Saya perampok kelas hiu!" tiba-tiba aku tersadar bahwa aku sedang berimajinasi, kurasa pikiranku sedang tidak beres.

Pak satpam yang ramah menyapaku, "selamat pagi, ada yang bisa dibantu,"

Kujelaskan panjang lebar masalahku. Intinya saldo ATMku berkurang tapi uang tidak keluar dari mesin ATM. Lalu pak satpam mengarahkanku untuk mengisi form yang tertata rapi di meja kaca. Kutulis sesingkat-singkatnya, karena kalau aku menulis cerpen di form itu ngga akan muat.

Karena masih pagi, nomor antrian tidak terlalu panjang. Dalam beberapa menit nomor yang kupegang dipanggil oleh mesin pemanggil otomatis. Canggih, rek!

Aku menuju bapak Customer Service (CS) untuk meluapkan segala emosi yang ada. Bapak itu mencoba memberi solusi padaku dan berusaha menenangkan diriku yang menghujamnya dengan berbagai keluhan. Melihat gelagatku yang aneh ini, ia hanya senyum-senyum seperti menahan tawa. Ia mengecek kartu ATMku dan mengetik sesuatu di komputer. Ia meminta nomer hapeku berulang kali. Uhuy, aku dimintain nomer hape sama si bapak ganteng. Eh haha...

Kemudian bapak CS memberikan kartu ATMku kembali, "sekarang bisa dicoba cek ke ATM,"

"Ini udah bisa pak?"

"Bisa," ucapnya sambil mengangguk dan tersenyum ramah, penuh kesabaran.

Aku bergegas ke mesin ATM yang berada tepat di samping Bank. Saat melihat nominal, uhuy hatiku berbunga-bunga. Uangku kembali! Uangku kembali! Ahay...

Setelah itu, aku mengambil kembali kartu ATMku dan menelepon mamah untuk izin ke Pangandaran besok pagi.

"Assalamualaikum, ngapa teh?" tanya mamah.

"Wa'alaykumsallam, duite sing nang ATM iseh ono. Nembe diurus nang Bank (uang yang di ATM masih ada. Barusan diurus di Bank)," ujarku kepada mamah dengan nada bersemangat.

"Ya syukur,"

"Mak, ngisuk aku meng Pangandaran karo kanca-kancane. Patungan satus ewu Bisa kirimaken duit maning ora? (Mak, besok aku ke Pangandaran sama teman-temanku. Patungan seratus ribu. Bisa kirimin uang lagi gak?"

KKN di Desa RejasariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang