Bismillah, Aku bangkit dari tempat tidur. Yaa Hayyu Yaa Qayyuum, aku bermimpi menangis. Entahlah, namun kuakui, aku rindu mamahku hingga ia masuk ke dalam mimpiku. Kuraih handphone smartfrenku, waktu menunjukkan pukul 03 dini hari. Ada panggilan tak terjawab dari Wahyu. Astaghfirullah aku merasa bersalah sekali padanya. Lalu kukirim pesan padanya untuk minta maaf. Namun, ia tidak membalas. Mungkin masih tidur. Karena aku sedang sakit dan berhalangan sholat, aku melanjutkan tidurku lagi.
Aku terbangun, Innalillahi, Aku memimpikan Wahyu. Semoga mimpi ini bukan permainan jin, tetapi permainanku dengan Wahyu. Ssst! Jangan berfikir yang aneh-aneh ya? Main petak umpet maksudnya. Aku yang jaga, Wahyu yang ngumpet. Sebenarnya aku ngga rela bermain petak umpet dengannya, apalagi kalau Wahyu yang bagian ngumpet. Kenapa? Karena mencari lelaki seperti Wahyu sangat sulit. Hehe...
Waktu telah menunjukkan pukul 07, aku bangun dari tidur dan duduk di tepi tempat tidur untuk mengumpulkan sejumlah nyawa biar pas jalan ke kamar mandi ngga nyasar ke kamar mandi tetangga. Bahaya, apalagi kalau yang lagi mandinya perjaka.
Okey, setelah nyawa terkumpul dan mata sudah mampu terbuka. Aku berjalan menuju kamar mandi, tentunya untuk mandi sekaligus mencuci baju setelahnya. Kemudian menjemur baju di samping rumah nenek.
Selesai menjemur, aku sarapan. Alhamdulillah hari ini bisa makan ayam dan kacang panjang. Seketika mata berkaca-kaca, karena kalau di Bandung, jarang aku bisa merasakan yang seperti ini. Nenekku bukannya merasa sebal makanan dihabiskan malah bersyukur karena makanan di dapur habis semua.
Alhamdulillah, makan selesai. Tak lupa membaca do’a, minum, kemudian mencuci piring. Selepas itu, aku mengambil laptopku di kamar dan mengerjakan tugas blog KKN di ruang depan. Niatnya, hari ini aku mau kembali lagi ke Sampih pukul 14:00 WIB, namun nenekku menolak karena khawatir aku masih sakit. Memang masih, tetapi di luar itu, aku pun masih memiliki tanggung jawab. Karena aku anak yang penurut, aku menuruti perintah nenekku untuk kembali ke Sampih pada hari Ahad pekan ini. Maka, aku melanjutkan mengerjakan tugas blogku sampai pukul 14:30 WIB.
Hari makin senja, aku keluarkan semua hasil kerjaku. Kemudian shut down laptop dan charger handphone. Ada chat dari Wahyu di WhatsApp, aku ngga langsung membalas karena mau mandi dulu.
Seusai mandi, aku berniat untuk membalas chat Wahyu. Namun apa daya sinyal smartfren malah silang. Ngga bisa buat internet apalagi hanya sekedar SMS dan menelepon. Aku galau seketika itu, aku duduk menghadap jendela sambil bercermin di cermin kecil yang tergeletak di bibir jendela. Akhirnya aku lebih memilih melanjutlkan tugas bahasa arabku di bangku teras depan rumah nenek.
Tak lama kemudian, ada penjual naik sepeda seorang wanita paruh baya, tidak muda tidak juga tua, terus apa dong? Aku bingung, euy! Aku ditatap tajam oleh mata ibu itu saat ia berhenti di depan rumah nenek, serem. Ah daripada su’udzhon, aku bertanya terlebih dahulu. “Arep ngapa, Bu?”
“Arep dodol, ninine arep tuku ora?” Suaranya menggelegar keras, sama seperti wajahnya. Sama-sama seram. Namun aku tetap tenang, walaupun sebenarnya takut.
Lalu aku memanggil nenekku yang berada di dapur. “Nek, nang ngarep ono uwong. Jarene arep tuku ora?”
Nenekku ke depan dan mereka sepertinya terlihat akrab. Aku jadi kebingungan. Jangan-jangan nenek terkena hipnotis. Haha canda. Aku mengikuti nenek di belakang, aku melihat ada es kacang hijau. Aku ambil satu, nenek yang bayar.
“Siji bae ngapa? Ora loro?” Kata nenekku yang sedang memesan jamu.
“Siji baelah,” Jawabku yang sadar diri. Udah dibayarin minta banyak.
Setelah mengambil es kacang hijau, aku masuk ke rumah untuk melanjutkan mengerjakan tugas. Dari dalam masih kudengar suara nenek mengobrol dan bertanya harga.
“Pira hargane?” Tanya nenekku kepada si penjual.
“Es kacang ijo lima ngatus, .....,” Hanya itu yang kudengar dari mulut si penjual. Kalau tau harganya lima ratus perak, tadi mah aku ngambil sepuluh. Kukira harganya mahal, semahal harga mengadakan pesta pernikahan.
Aku ke dapur, ada pisang goreng. Tapi pisang gorengnya ngga ditepung. Enak deh rasanya, satu piring yang berisi lima buah aku habiskan semua. Entah nenek sama Pak Dakir udah makan atau belum, aku main sikat aja. Ketika nenekku lewat, aku bilang, “Nek, gedange entek,”
“Yo Rarapa,”
Ah lega...
Aku mengambil handphoneku kembali, alhamdulillah sinyalnya sudah ada. Mamah berulang kali meneleponku lewat WhatsApp. Bagaimana mau diangkat, sinyal aja jarang ada. Sedihnya hatiku.
Malam harinya, Liska main ke rumah nenekku. Kita saling tukar nomor handphone, menonton televisi acara Cantik-Cantik Kucing Dapur, masak, dan makan mie bareng. Duh, so sweetnya.
Sampai waktu menunjukkan pukul 22:00 WIB, Liska pamit dan aku masuk ke kamar untuk istirahat. Aku menyalakan data handphone. Aku membuka media sosial, membuka WhatsApp dan Facebook untuk stalking siapa saja yang kukenal. Selanjutnya aku update blogku yang berjudul “Kunjungan kelompok 327 ke MIN 2 Banjar”.
Alhamdulillah, pukul 23:00 WIB, aku sudah mengantuk. Bismillah, aku harus tidur karena besok melanjutkan tugas blog lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN di Desa Rejasari
NonfiksiKota Banjar, Kecamatan Langensari, di Desa Rejasari tepatnya, kami mengukir cerita bersama. Sebelum menyelam ke dalam isi diary KKN ini, penulis akan memperkenalkan tokoh nyata dalam cerita KKN kelompok 327 yang berjumlah 14 orang.... 1. Feri Sandri...