Sabtu, 19 Agustus 2017

11 2 0
                                    

Pagi ini hujan turun. Aku menuju ke teras posko untuk mendengarkan sebuah lagu di handphoneku, kalau tidak salah judul lagunya “perasaanku”. Ngga lama kemudian, Asiyah keluar dari posko dan meledekku.
“Cie Ridha, pacarnya Sarip. Hahaha.” Ia langsung mengambil sapu lidi untuk menyapu halaman posko.
Rasanya ingin kuambil sapu itu dan memukul kepalanya dengan sapu. Tentu saja aku ngga suka dengan ledekannya, walaupun hanya bercandaan. Bercanda juga ada etikanya, sama seperti berbicara. Okelah, jika bercandanya soal lain, aku ngga akan marah. Tapi kalau soal cinta dan keluarga, aku ngga bisa. Hanya kalimat itu saja, aku sebenarnya udah ngga suka, karena dikhawatirkan terjadi salah faham dan gosip yang merembet.
Aku masuk ke dalam posko, kulihat kamar mandi kosong. Aku bergegas untuk mandi, setelah itu aku mengenakan pakaian dan duduk di ruang depan untuk membuka media sosial. Baterai handphoneku akan habis, aku mencharger di ruang depan dekat salon. Salon untuk menyetel musik ya? Bukan salon tempat cukur, creambath, ataupun rebonding.
Beberapa menit aku meninggalkan handphone, ada panggilan tak terjawab dari nenek. Aku ngga ada pulsa untuk menelepon kembali. Akhirnya aku tunggu sampai nenek meneleponku lagi. Kali ini mamah Syifa yang menelepon, aku disuruh mengambil gamis di rumahnya. Aku pun segera berangkat ke rumah mamah Syifa lewat jalan belakang karena lebih dekat.
Sesampainya di rumah mamah Syifa, aku duduk di ruang tamu. Tak ada bangku, aku duduk lesehan. Gamis yang kupesan telah disiapkan olehnya, aku diminta mamah Syifa mencoba gamis buatan suaminya di kamar tengah. Bagus, aku suka. Sebenernya ngga akan langsung dipakai, tetapi harus kupakai hari ini untuk kegiatan karnaval di Alun-Alun Kota Banjar. Aku merasa cantik hari ini, gamisnya bagus, cocok dengan tubuhku yang normal.
Aku berterima kasih kepada mamah Syifa, kemudian pamit untuk kembali ke posko. Namun saat melangkah keluar rumah, beliau menawariku makan.
“Udah makan belum?”
“Hehe,” Aku bingung akan menjawab apa. Jika aku jawab jujur sudah pasti aku akan diberikan makan olehnya, aku ngga enak ditawarin makan terus. Tetapi jika aku tidak jujur, maka aku akan berdusta padanya.
“Ke dapur sana, ada leunca tuh. Cobain dulu.”
Inilah jawaban yang kuinginkan. Walau sebenarnya, aku canggung dengan tawarannya meski lapar menghajar perut. Namun, tetap saja menolak tawaran sangat tidak sopan. Aku harus bagaimana?
“Makan dulu aja,” Perintah mamah Syifa kepadaku yang masih bergelut dengan fikiran antara sopan dan tidak sopan.
Akhirnya, mamah Syifa mengajakku ke dapur dan mengambil nasi serta sayur leunca untuk Arifin, anaknya yang ke empat. Untuk ke sekian kalinya, aku kalah. Aku harus menuruti permintaan mamah Syifa untuk makan di rumahnya.
Gerimis terus mengguyur Desa Rejasari. Aku merasa kesulitan untuk pulang ke posko. Selepas makan, aku ke dapur sekaligus mencuci piring. Kemudian, aku duduk di teras rumah mamah Syifa untuk menunggu gerimis reda. Kutatap butiran-butiran air yang jatuh ke tanah. Waktu semakin cepat berdetak, sebentar lagi acara pawai dimulai. Tetapi gerimis tak kunjung reda.
“Mau pulang sekarang?” Tanya mamah Syifa kepadaku.
“Iya, Bu.”
“Syifa, anter Mbak ke posko.” Mamah Syifa masuk ke dalam rumah, memanggil anak ketiganya untuk mengantarku ke posko.
Syifa keluar membawa payung sambil menggendong Arifin. Kami menuju posko bersama. Tak ada pembicaraan keluar dari mulut kami. Hanya sedikit tawa kecil untuk menghapus ketegangan dalam perjalanan kami.
“Makasih ya?” Ucapku kepada Syifa saat telah sampai di samping posko.
Aku langsung ke posko tanpa memandang kepergian Syifa.
Sesampainya di posko, teman-teman KKN mengajakku untuk pawai ke alun-alun Kota Banjar. Aku dan Asiyah ngga ingin ikut, tetapi kami tetap dipaksa untuk ikut. Akhirnya kita berangkat juga. Sebelumnya, aku naik motor bertiga sama Fitri dibonceng Sarif. Sesampainya di kantor desa, Fitri dan Sarif turun. Kemudian motornya aku bawa ke posko lagi untuk menjemput Asiyah dan Gina.
Saat kami bertiga akan ke kantor desa lagi, kami malah ditinggal oleh rombongan. Yasudah, akhirnya kita bertiga ke alun-alun kota Banjar dengan modal nekat. Naik motor bertiga, tanpa helm, tanpa sim, dan STNK, juga motor pinjaman. Aku yang mengemudikan motornya, Gina duduk miring di tengah, sedangkan Asiyah duduk menghadap depan di paling belakang. Motor milik Fikri langsung berat dan melambat. Maafkan kami, Fik.
Sesampainya di alun-alun, kami bertiga mencari rombongan KKN Desa Rejasari. Agak kesulitan karena terlalu ramai. Dengan modal chat WhatsApp, akhirnya kami bertemu. Aku diajak Asiyah naik mobil kolbak. Untung mobilnya berhenti, kalau melaju aku kerepotan pas naik. Mungkin aku sangat dihargai oleh para lelaki, ketika naik mobil, tak ada satupun yang mau memegang tanganku untuk naik ke atas. Tapi tak masalah, Asiyah yang menarik tanganku dan aku pun bisa naik.
Banyak sekali orang-orang berkreasi dengan cosplay untuk merayakan 17 agustus. Ada yang berbusana pengantin, berbusana hantu, berbusana zaman penjajahan, dan lain sebagainya. Di sisi kanan dan kiri mobil banyak orang berkerumun untuk melihat dan memotret peserta pawai perwakilan desa.
Mobil melaju sampai panggung depan alun-alun Kota Banjar, di sana ada para pejabat-pejabat Kota Banjar yang menyambut kedatangan tiap perwakilan desa dan menyebutkan satu-persatu berserta pujian-pujiannya.
“Ya, selanjutnya dari Desa Rejasari. Menarik sekali ya? Ada ibu-ibu PKK, mahasiswa KKN, terus ada pengantinnya juga.” Ucap salah satu pejabat Kota Banjar.
Setelah melewati panggung, mobil melaju sampai ke samping Masjid Agung Kota Banjar. Aku teringat motor Fikri yang terparkir di dekat pasar Pataruman. Aku bertanya pada teman-teman, adakah yang ingin ikut pulang denganku? Ternyata tidak ada. Akhirnya dengan hati yang riang, aku turun dari mobil dan menuju tempat parkir motor. Aku ingin mampir ke tempat KKN Kartika, di suatu jalan, aku bertemu Bu Lala, kepala sekolah PAUD Al-Barakah 2. Aku ingin membantunya mengajar, namun jika waktunya tak cukup, aku tidak bisa. Kami pun berpamitan.
Masih setengah perjalanan. Kulihat handphoneku dan membuka pesan WhatsApp, Fitri dan Fikri menanyakan keberadaanku. Aku diminta untuk menjemputnya di tukang bakso sebelum pasar Langkap. Aku chat Kartika bahwa tak jadi berkunjung ke tempat KKNnya. Aku memutar arah, motor Fikri mogok. Aku menyela tetapi tidak bisa. Akhirnya aku meminta bantuan kepada seorang bapak yang lewat. Tidak sampai lima menit, motor sudah bisa dilajukan.
Jarak dari lokasi menuju pasar Langkap cukup jauh. Aku melajukan motor dengan kecepatan tinggi, ngebut istilahnya. Di Banjar tak sama dengan Bekasi. Jalanan di sini lowong, tak kutemui kemacetan dimana-mana. Ingin rasanya aku tinggal di kota ini selamanya. Begitu fikirku.
Sesampainya di pasar Langkap, ada yang memanggilku beramai-ramai. “Ridha! Ridha!”
Aku mengerem motor secara mendadak dan menoleh ke sumber suara. Seketika Asiyah dan Uni menghampiriku, mungkin karena bakso pesanan mereka sudah dibungkus dan dibayar. Teman-teman yang lain masih menunggu pesanan. Aku pun membonceng mereka berdua sampai posko.
Sesampainya di posko 327, Sarif minta dijemput di posko 325. Tadinya Dian yang ingin menjemput, tetapi aku sudah terlanjur mengiyakan di chat grup. Aku pun berangkat lagi, sebelum sampai ke posko 325, aku sholat dzuhur dulu di masjid perempatan menuju kantor desa.
Selepas shalat, kubuka pesan WhatsApp, ada yang chat di grup memintaku untuk mengambil magic com di posko 325. Aku mematikan data seluler kemudian menuju posko 325. Sekitar 10 menit, aku sampai dan langsung menuju pintu samping untuk menuju dapur posko perempuan kelompok 325.
Aku langsung ke pintu depan membawa magic com untuk mengajak Sarif pulang ke posko. Tetapi ia berkata masih betah.
“Sini teh masuk,” Seorang perempuan peserta KKN memanggilku ke ruang tengah. Aku ditawari makanan, dikupaskan apel, dibukakan kulit jeruk, ditawari jajanan. Aku merasa seperti ratu di kelompok ini. Memang belum mengenal mereka semua, tetapi mereka sangat kompak, berbeda sekali dengan kelompokku yang senang membicarakan kelemahan sesama peserta KKN di belakang. Pantas saja Sarif lebih betah main kesini. Aku kurang memahaminya, karena aku sering main ke rumah nenekku di Banjarsari.
Aku membuka pesan WhatsApp, Fikri menanyakan motornya yang akan dipakainya. Aku menuju ruang depan untuk mengajak Sarif pulang. Kami pun pamit kepada teman-teman KKN 325. Sarif memboncengku karena aku membawa magic com.
Sesampainya di posko 327, aku mengambil laptop di kamar tengah. Kemudian mengetik dan mengirimkan tugas-tugasku lewat email. Aku mengantuk, namun tak ada satupun lapak untuk tidur karena para lelaki ikut numpang tidur di posko perempuan.
Aku mematikan laptop, menaruhnya di tasku kemudian membawa mukena. Aku keluar posko, bertemu Dila dan ibu-ibu yang suka cemberut dari arah yang sama menuju rumahnya masing-masing, aku tersenyum kepada mereka.
Kemudian aku berjalan menuju ke Langgar untuk menaruh mukena. Kulihat Salsa dan Gita sedang main sepeda-sepedaan. Aku menghampiri mereka dan jalan-jalan bersama mereka ke sekitaran perbatasan Dusun Sampih dan Bojong Kantor.
Setelah lelah berjalan-jalan, Gita mengajakku untuk mengambil mangga di depan rumahnya untuk ngerujak. Kuambil beberapa walaupun agak sulit. Harus bertumpu pada jok sepeda dan sebilah bambu. Hanya dapat dua. Tak apa, kami langsung makan rujak di belakang rumah Pak Nanang bersama Gita, dan kedua adiknya, Yasir dan Salsa. Ada konflik sejenak, Yasir susah disuruh mandi karena asyik memakan biji mangga. Gita membuang biji mangga tersebut ke tanah. Yasir mengamuk, sambal rujak langsung dipukul dengan tangannya sehingga muncrat kemana-mana, untung ngga mengenai mata. Padahal anak kecil, tapi sungguh, aku seram melihat amukannya.
Adzan ashar berkumandang, aku bergegas menuju Langgar untuk segera berwudhu dan sholat berjama’ah. Sebelum pulang, aku bersih-bersih Langgar karena terlihat sudah cukup kotor. Apalagi seorang ibu yang berjama’ah bersamaku berkata, “Ada kodok didudukin bapak-bapak,” Awalnya aku mendengarnya kurang jelas. Padahal sebenarnya si ibu itu bilang, “Ada kodok di deket bapak-bapak.” Aku jadi ingin tertawa. Sepertinya aku perlu mengorek telingaku berkali-kali.
Selepas bersih-bersih masjid, aku menelepon nenekku di teras posko sampai menjelang maghrib. Tak lama kemudian, Gita mengajakku main ke rumahnya. Ia mengajakku bermain masak-masakan di handphone samsungnya. Seru! Tetapi adzan maghrib telah berkumandang. Aku pamit dan bergegas ke Langgar untuk menunaikan shalat berjama’ah.
Seperti biasa, shalat maghrib tidak pulang ke posko dulu. Tetapi menunggu waktu shalat isya. Aku isi dengan mengajari anak-anak warga Dusun Sampih mengaji al-Qur’an. Setelah selesai, aku mengobrol dengan ibu-ibu jama’ah. Obrolan mereka lebih asyik dibandingkan obrolan teman-teman sekelompokku, bercandanya ngga berlebihan tapi ngga garing. Aku jujur menyampaikan hal ini walaupun sedikit membandingkan.
Adzan isya berkumandang, kami menghentikan obrolan dan kembali ke shaf masing-masing untuk menunaikan shalat rawatib dan isya berjama’ah. Selepas shalat isya, Mbah Zaenab yang duduk di samping kananku berbisik, “Hayu bubuk neng umahe Mbah.” Ajaknya.
Aku tak enak karena seringkali diajak main ke rumahnya. Akhirnya malam ini, aku mengiyakan. Aku sengaja tak meminta izin kepada teman-teman KKNku karena tak sempat membuka handphone karena setiap aku sudah asyik mengobrol, aku sudah lupa pada handphone.
Waktu telah menunjukkan pukul 21:54 WIB, akhirnya aku mulai mengantuk. Aku ketakutan melihat bayangan di tirai menuju ruang depan. Saat itu aku dan Mbah Zaenab sedang duduk di amben dapur. Ia mengajakku memilih kamar untuk aku tidur karena kamarnya banyak, sekitar 4 kamar.
Saat ia mengajakku ke kamar paling depan, aku agak ketakutan. apalagi ada bayangan hitam di tirai. Aku mengikuti si Mbah. “Ah syukurlah ternyata hanya bayangan kipas lantai,” Legaku berujar dalam hati. Agak lucu juga sih. Hehe.
Aku masuk ke kamar paling depan dengan kasur busa agak tinggi, nyaman sekali. Aku merasa seperti berada di singgasana syurga. Kamar tertata rapi, cat ungu muda yang menyegarkan mata, barang ditata teratur. Ya Allah aku langsung terbayang bisa memiliki rumah sendiri. Aku mencharger handphoneku, kemudian merebahkan tubuhku di kasur nyaman ini. Fa bi ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadzibaan, kupejamkan mataku dan bermimpi indah.

KKN di Desa RejasariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang