Jumat, 11 Agustus 2017

28 1 0
                                    

Hari ini aku bangun pukul 04 pagi, aku ngga langsung bangun. Selain sedang berhalangan, aku juga sedang sakit. Kepalaku pusing, hidung mampet karena sedang pilek. Aku mengambil handphone di sebelah kiriku. Banyak chat pribadi masuk. Aku belum sempat membalas, karena aku ketiduran lagi.
Aku terbangun lagi pukul 05, ngga langsung melihat chat. Aku ke kamar mandi, merendam baju, terus ke warung Bi Iti membeli pembalut dan roti. Coba apa bedanya? Setelah selesai makan roti, aku mengambil buku bahasa arabku dan mengerjakan tugas wajibat. Belum kukerjakan sama sekali. Kalaupun udah juga baru satu bab.
Aku belum menyelesaikannya, kemudian aku chat Ukhti Hefrida, Musyrifah belajar bahasa arabku, bahwa aku belum bisa menyelesaikan tugas hari ini. Hari jum’at adalah hari terakhir mengirim tugas. Namun aku harus mencuci baju, sebenarnya karena mencuci baju. Tapi agak malas mengerjakannya. Ngga ada penyemangat sih.
Aku ke kamar mandi untuk mencuci baju, kemudian langsung menjemurnya di samping rumah. Hari ini nenek membeli kangkung dan tempe. Aku disuruh memasak, baiklah aku memasak tiga menu hari ini. Masak tumis kangkung, tempe bacem, dan tempe goreng. Mau ngga? Nyuci piringnya. Hehe...
Selesai memasak, aku langsung makan masakan yang tadi kumasak. Kata nenek, “Enak masakannya,”
“Iya dooong!” Jawabku lebay.
Setelah makan selesai, aku berniat untuk mandi. Di kamar mandi ya? Bukan di empang. Ngga level, soalnya masih level dua langsung game over. Apaan sih, abaikan masalah ini. Okay, selesai mandi, aku ke kamar tengah dan mengambil buku bahasa arab. Kulanjutkan tugasku di dalam kamar. Di sela-sela mengerjakan tugas, mataku tak sengaja melirik handphone. Kuraih handphone di atas kasur dan membalas chat line dari Ali dan chat WhatsApp dari Aa Rafi, Mas Wahyu, Kang Ahya, serta chat di grup WhatsApp.
Saat aku mengerjakan tugas bahasa arab, A Rafi meneleponku. Katanya khawatir aku lagi sakit. Uuuunch, Aa khawatir. Pas nelepon aku, dia bikin kesel. Nada bicaranya agak nyolot, setiap aku ngomong dijawabnya keras. Aku denger, memangnya aku tuil. Eh tuli. Salah nulis, maklum nulisnya sambil mengenang. Dari pagi sampai sore masih main, ngga betahan di rumah. Awas aja kalau ngga bener mainnya. Nanti aku kasih PIL KB dari Rumah Sakit Hermina.
Belum selesai ngobrol, dia matikan telepon. Ngga sopan banget, aku jadi kesel sama dia. Ngga lama kemudian, nenek menyuruhku untuk memanaskan motor Mang Nana yang besar. Duh, aku ngga ingat mereknya. Pokoknya sejenis sama motor ninja. Tapi bukan ninja, apalagi Ninja Hatori. Aku ngga tau cara manasin motor, terus aku masukin kunci ke tangki pengisian bensin. Karena aku belum faham cara nutupnya, memang ngga memiliki motor itu juga. Aku kesulitan menutup tangki, bau bensin menyebar di ruang depan tempat menaruh motor. Keringat bercucuran membasahi sekujur badan. Tangki masih belum tertutup dan burung peliharaan Pak Dakir, kakek tiriku meledek dengan kicauannya yang terdengar seperti ingin mengajak ribut.
Masih dalam suasana yang sama, aku masih belum menyerah untuk menutup tangki motor. Aku mondar-mandir kesana kemari untuk memikirkan cara menutup tangki. Baiklah aku diam sejenak dan mengamati penutup tangki untuk mencocokan dengan tangki bensin motor. BINGO! Aku berhasil. Seketika kertas berwarna-warni dan bunga berjatuhan ke lantai. Sang nenek memberiku piala penghargaan dalam bentuk mangkuk sayur.
“Wes bisa, Ka?” Ujar nenekku
Aku tersadar dari lamunanku. Aku telah berkhayal. “Wes, Nek.”
Aku menghampiri nenek yang sedang menonton televisi untuk memberikan kunci motor. Kemudian, aku ke kamar tengah lagi untuk melanjutkan tugas tashrif lughawi yang belum selesai. Aku tergoda lagi oleh handphone, bukannya mengerjakan tugas. Malah mencari video di aplikasi Line.
Sore itu, aku sedang chat dengan Wahyu. Ada kerinduan terselip ke dalam qalbuku. Aku ini orangnya selalu berterus terang. Daripada menahan rindu, akhirnya aku meminta izin Wahyu untuk meneleponnya. Ia pun manut kepadaku, bahasa Indonesianya nurut.
Aku membuka WhatsApp dan menekan video call untuk menghubunginya. Rasanya hatiku senang sekali. Jujur saja di jum’at sore itu, aku merasa menjadi manusia yang paling bahagia. Aku bisa bertemu dengannya, menatap wajahnya, walaupun hanya lewat media. Tetapi aku bahagia. Sungguh.
Pembicaraanku dengannya hanya seputar kabar, kuliah, dan sinyal. Kenapa sinyal diikutsertakan? Karena saat kami video call, jaringannya selalu terputus. Jadi hanya sedikit yang dibicarakan, mengingat waktu yang semakin senja dan baterai yang mulai melemah, akhirnya kuakhiri komunikasiku dengannya. Kami membuat perjanjian pukul 20:00 WIB untuk melanjutkan telepon.
Saat maghrib menggema, aku mandi. Pak Dakir berangkat ke masjid dan nenek sholat di rumah. Setelah urusan selesai, aku dan nenek duduk di ruang depan untuk menonton televisi, judulnya microphone pelunas hutang. Aku mulai merasa lapar, aku ke dapur dan makan masakan tadi pagi. Nenek ikut ke dapur dan duduk di jengkok di sampingku. Maaf di rumah nenekku ngga ada kursi. Adanya jengkok, jadi ya seperti inilah. Sambil aku makan, nenek bercerita tentang masa lalunya tinggal di Pangandaran bersama suami pertamanya.
Pada zaman dahuluuuuuu.....
“Dulu nenek tinggal di Pangandaran. Ngga punya tetangga, di samping kanan kiri rumah ada sawah, di belakang rumah ada sungai, airnya bening banget. Rumah masih dari kayu dan bambu, atap rumahnya pakai daun kelapa,”
“Emang ngga bocor?”
“Ya engga,”
“Terus ada lampu,”
“Ngga ada, dulu ngga pakai lampu, pakainya pelita. Lampu minyak,”
“Berarti belum ada hape?”
“Ya belum,”
Nenek masih bercerita mengenai masa lalunya, namun untuk cerita ini tidak dapat kuceritakan disini, karena ini tentang pribadi nenek dan keluarganya. Jadi cukup sampai disini saja ya? Sebenarnya percakapanku dengan nenek dengan menggunakan bahasa Jawa. Namun, untuk memudahkan pembaca. Maka, aku translate ke bahasa Indonesia. Gratis kok.
Seusai makan dan mengobrol dengan nenek. Aku masuk ke kamar tengah. Aku memandangi handphoneku, menunggu telepon masuk dari Wahyu. Kepalaku pusing, di grup banyak yang memintaku segera memposting kegiatan KKN di blog. Runyam masalahnya, sudah kepala sakit ditambah pusing, tetapi ini adalah tanggung jawabku sebagai mahasiswa. Jadi harus kulakukan dengan lapang dada. Bukan lapangan bola, aku ngga bisa main bola. Bisanya main bekel. Loh apa bedanya? Aku masih memandang layar handphoneku, setia menanti telepon dari Wahyu. Namun, mataku terasa perih. Aku mengantuk dan tertidur.

KKN di Desa RejasariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang