(17) bagian dari sebuah takdir

7K 948 25
                                    

Suasana yang tadinya hening seketika menjadi riuh akibat bisik-bisik dari seluruh penghuni akademi, mereka hanya memperhatikan pemuda yang sudah tergeletak di atas lantai.

Tidak ada seorangpun yang berniat menggerakkan tubuh mereka untuk menolong pemuda malang itu.

Hingga akhirnya Trixy berlari ke tengah lapangan bersama seorang pria bertubuh lumayan besar, mereka membopong tubuh pemuda itu meninggalkan arena duel.

Sedangkan Jimin dan Hoseok segera berlari menangkap tubuh Jungkook yang sudah limbung kebelakang.

"Jungkook-ah!" Hoseok bersusah payah menahan tubuh Jungkook agar tidak terjatuh.

Jimin juga tampak kesulitan mengingat ukuran tubuhnya yang jauh dari Jungkook. Akhirnya Seokjin yang berada di belakang mereka membantu Jimin yang tampak hampir kehilangan keseimbangannya.

"Kita bawa dia keruang kesehatan" Ucap Seokjin dan mereka juga meninggalkan arena duel tersebut.

Menyisakan Namjoon yang masih termanggu di tempatnya, otak cerdas pemuda itu berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Kedua obsidian Namjoon menatap kosong kearah pedangnya yang tergeletak begitu saja di atas lantai, sedangkan pedang Jungkook telah menghilang seiring dengan pemiliknya yang telah menghilang dari balik pintu keluar arena.

"Namjoon, you okay?" Tanya Dave khawatir ketika melihat saudaranya itu hanya diam seraya menatap pedangnya.

Namjoon bergeming dan kemudian membalikkan tubuhnya kearah pintu yang di lalui oleh Trixy dan satu guru lainnya yang membawa pemuda tadi.

"Siapa dia?"

*****

"Yak! Jungkook-ah, tetap buka matamu!" Ucap Seokjin setengah berteriak ketika merasakan tubuh Jungkook yang semakin bertumpu pada pundaknya.

Kedua netra bulat Jungkook juga telah menjadi sayu dengan deru napas yang terdengar sangat berat. Hal itu cukup menjadi bukti bahwa dia tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini.

Seokjin dan Hoseok mempercepat langkah mereka ketika manik mata Jungkook terpejam dengan sempurna.

Brakk...

Jimin membuka pintu ruang kesehatan dengan tergesa-gesa, membuat beberapa orang yang berada di dalam sana terperanjat kaget.

Dengan sedikit membungkukkan tubuhnya dia menyingkir dari pintu, memberi akses kepada Seokjin dan Hoseok yang memapah tubuh Jungkook yang sudah tidak sadarkan diri.

Tabib yang berada di sana segera menghampiri Jungkook yang telah dibaringkan di atas ranjang.

Tabib yang merupakan keturunan wizard tersebut segera mengarahkan telapak tangannya kearah kening Jungkook, sebuah cahaya kuning berpendar dari telapak tangannya dan kemudian bergerak menyusuri tubuh Jungkook, memeriksa apakah ada luka serius pada tubuh Jungkook.

Setelah beberapa menit dan memastikan kondisi Jungkook, sang tabib menghela napas. "Tidak ada luka serius di tubuhnya, berterima kasihlah pada darah dewa Hades yang mengalir di tubuhnya" Ucap sang tabib membuat ketiganya menghela napas lega.

"Tetapi tenaganya terkuras habis dan mungkin dia tidak akan dapat menggerakkan tubuhnya selama beberapa waktu nantinya" Lanjut sang tabib.

"Pastikan dia beristirahat dengan cukup dan dia akan baik-baik saja" Kemudian tabib itu beranjak meninggalkan mereka dan menuju Trixy yang berada di sisi lain ruangan.

Seokjin menyipitkan matanya ketika mendapati pemuda yang membuat geger seisi akademi sedang berbaring di atas ranjang yang ditunggui oleh gurunya tersebut.

Tidak ada yang aneh jika terlihat sekilas penampilan pemuda itu, dengan kaos lengan panjang berwarna merah dan celana jeans hitam yang membalut kakinya, serta rambut berwarna kelabu membuatnya terlihat seperti pemuda pada umumnya.

Tunggu dulu, kenapa dari semua warna, pemuda itu memilih warna abu-abu untuk rambutnya?

Seokjin mengedikkan bahunya dan kemudian mendudukkan bokongnya di atas kursi yang tersedia di sebelah ranjang Jungkook.

Sedangkan Hoseok dan Jimin memilih duduk di sisi ranjang yang kosong. Mereka berdua memperhatikan wajah serta telapak tangan Jungkook yang melepuh.

Lalu tatapan Hoseok jatuh pada cincin yang berada di jari telunjuk Jungkook.

"Sepertinya benda itu memang terikat padanya" Gumam Hoseok.

"Kau mengatakan sesuatu, hyung?" Tanya Jimin yang mendengar gumaman Hoseok.

Hoseok mengangkat pandangannya dan kemudian menggelengkan kepalanya.

Cukup lama keheningan menyelimuti ruangan itu, mereka bertiga maupun Trixy tidak ada yang mengeluarkan sepatah katapun. Sedangkan tabib yang biasanya menunggui ruangan itu sudah menghilang entah kemana.

Mereka memilih fokus pada urusan mereka masing-masing. Bahkan Hoseok dengan lancang  membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang berada di sebelah Jungkook.

Hingga pria bertubuh besar yang membantu Trixy membopong pemuda asing itu dari arena tarung tadi masuk kedalam ruang kesehatan.

"Trixy, kau dipanggil oleh ketua akademi. Ada yang ingin dibicarakannya kepadamu" Ucap pria itu.

Dia mengalihkan tatapannya ketika merasakan dua pasang mata lain tengah menatap dirinya saat ini.

Trixy bangkit dari duduknya dan kemudian ikut menatap kedua pemuda yang masih menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Bisakah kalian menjaganya untuk sementara waktu? Aku memiliki urusan penting saat ini" Pinta Trixy dengan nada bicara yang setengah memerintah.

Jimin menganggukkan kepalanya sedangkan Seokjin sudah mendengus keras dan kembali fokus kepada buku yang berada di pangkuannya. Jangan tanyakan Hoseok, karena putra Aprodhite itu sudah mengarungi dunia mimpi dengan damainya.

Trixy tersenyum tipis dan kembali menatap pemuda yang ditungguinya tadi, Ada sekelebat kekhawatiran di dalam kedua manik safir miliknya. Hingga pada akhirnya Trixy melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan kesehatan itu.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu, hanya terdengar suara kertas yang di bolak balik oleh seokjin serta dengkuran halus milik Hoseok.

Jimin tengah asik memperhatikan pemandangan yang berada di luar jendela ketika sebuah suara lenguhan mengalihkan atensinya.
Ia bangkit dari duduknya ketika menyadari dari mana suara itu berasal.

"M-mom.." Rintihnya dengan kedua mata yang masih terpejam.

Jimin mengamati dengan lamat pemuda bersurai kelabu tersebut. Tulang hidung yang tinggi, rahang yang tegas dan kedua bilah bibir tipis membuat pemuda itu tampak tampan sekaligus berkharisma.

"Aku iri " Gumam Jimin seraya mengerucutkan bibirnya. Dirabanya tulang rahang yang kecil dan juga hidung mungilnya.

"Ck...!" Ia berdecak kesal dan memilih beranjak dari sana.

Namun suara rintihan kembali terdengar, kali ini disertai dengan isakkan kecil membuat Jimin mengurungkan langkahnya.

Dia memilih duduk di sebelah ranjang kayu itu dan kemudian menepuk puncak kepala pemuda itu, hal yang selalu dilakukan oleh Jihyun ketika dirinya bermimpi buruk.

"Jadi seperti ini rasanya menjadi seorang hyung" Ucapnya seraya terkikik geli.

*****
Don't copy my story okay!

12 Desember 2019

Revisi : 31 maret 2020

~Weni

King of Demigod [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang