Halaman Kesepuluh

1.8K 139 1
                                    

Kalo aja Raditya bisa memutar waktu kembali ke masa lalu sebelum dilahirkan, dia pengen ketika dilahirkan jadi seseorang yang bukan siap-siapanya Ksatria. Ketika beranjak remaja takdir mempertemukannya dengan Ksatria yang asing di matanya, dan dia jatuh cinta. Dia yakin banget, dia berani nyatain perasaannya. Nggak kayak gini, cuma dipendem sendiri. Atau, andai dia punya mesin waktu, dia ingin tetap seperti ini, jadi Kakak sepupu yang baik, dengan satu syarat ... nggak ada perasaan cinta terlarang menghinggapi hatinya.

Raditya mendesah lelah, capek dengan keadaan sekarang. Capek dengan perasaan itu. Pikirnya, mestinya Ksatria nggak usah kembali lagi, mestinya jarak tetap misahin mereka agar perasaan yang mulai layu itu segera mati. Mestinya, tapi yang terjadi sebaliknya dan dia nggak bisa berbuat apa-apa.

Dia pun beranjak dari ranjang dan turun ke dapur untuk minum. Kepalanya berat, tenggorokannya kerasa kering, dia butuh air.

"Kakak udah bangun, ya?"

Suara bernada ceria itu bertanya dan membuatnya melirik ke sebuah arah. Di bawah tangga, Ksatria berdiri sambil nyulam senyum yang manisss banget. Sampe-sampe Raditya terbius senyum itu. Andai bisa, dia pengen tenggelam aja ke dalam bibir itu dan nggak perlu balik lagi. Andai bisa, dia pengen ngecup bibir merah itu lalu nyatain perasaannya supaya nggak ada beban dan semua menjadi terasa plong.

"Kakak suka sama loe, Sat!"

Ksatria tampak kaget dengan bulatan mata yang melebar. Sementara di tempatnya, Raditya seperti baru aja melepas berton-ton beban hatinya.

"Kakak nggak lagi becandaan, kan?"

"Kakak serius!"

Ksatria tercenung bingung. Nggak pernah nyangka Kakak sepupu satu-satunya yang dipunya nyimpen perasaan padanya. Ini, ini kayak mimpi baginya.

"Tapi, aku nggak bisa. Aku baru jadian sama Juna. Apa Kakak tega ngerusak hubungan kami?"

Emang seharusnya Raditya nggak ngutarain isi hatinya. Kalo dia nekad, ya gitu tuh endingnya. Mungkin akan sama persis kayak yang lagi dia bayangin. Untung kewarasannya membelokkan bibirnya. Dia hanya ngejawab pertanyaan dari adiknya, "i-iya ..."

Matanya mencari sosok selain adiknya, "Arjuna mana? Udah pulang?"

"Barusan pulang naik gojek."

"Oh ...," ucapnya gitu aja sembari napakin anak-anak tangga.

Meskipun hatinya sakit nerima kenyataan bahwa Ksatria udah jadi milik orang lain, dia mati-matian nggak nunjukin rasa kecewa, sedih dan belum menerima. Dia berusaha bertingkah sewajarnya.

"Kakak belum makan, kan, dari siang? Aku masak nasi goreng loh. Kata Juna enak banget. Aku sisain sepiring buat Kakak."

"Tumben inget." Dirangkulnya pundak Ksatria dan diajaknya jalan ke dapur.

"Iiih, aku kan selalu inget Kakak. Waktu kecil setiap kali ayah beli makanan apa gitu, yang aku cari siapa hayo?"

"Kakak," jawabnya, "Terus kita makannya suap-suapan, hehe." Kenangnya yang bikin hatinya nyerih.

Namun, sosok yang dirangkulnya tampak bahagia. "Kita romantis banget ya waktu kecil, haha."

Niat hati pengen minum, eh, Ksatria malah nyuruh dia duduk aja di kursi meja makan sementara adiknya nyiapin. Mereka duduk saling hadap-hadapan dengan sepiring nasi goreng yang terhidang di depan Raditya.

"Gimana, Kak, enak kan?" tanya Ksatria antusias nunggu jawaban. Dia nopang dagu, matanya yang lebar dengan bulu mata lentik merhatiin lekat Kakaknya itu.

Raditya cuma ngangkat satu jempol yang artinya itu enak. Ksatria pun senyum bangga. Raditya kembali nyendok nasi gorengnya suap demi suap.

"Loe kenapa ngeliatin kakak terus?" sambil ngunyah dia ngelirik orang di depannya yang masih asik nopang dagu. "Naksir?"

KSATRIA (CERBUNG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang