Halaman Keenam Belas

1.5K 111 6
                                    

"Kenapa kamu tiba-tiba minta maaf?"

"Entar gue ceritain kronologinya ... Tapi besok minggu, boleh nggak gue main ke rumah loe?"

Eumm, aku mikir bentar. Apa baik ngebolehin Mario main ke rumah? Aku takutnya Kak Radit marah. Ah, nggak masalah. Mario juga udah minta maaf.

"Kamu kan nggak tau rumah aku?"

"Jaman sekarang udah canggih, Sat. Tinggal loe serlok, beres ... Jadi, boleh gue main ke rumah loe?"

"Eumm ..."

Aku manggut-manggut. Dan Mario pun tersenyum. Astaga, senyum Mario tuh manis banget.

"Thanks, Sat. Loe udah maafin gue, kan?"

"Iya, aku maafin."

"Bagus," ujarnya sambil nepuk-nepuk pipi aku. "Ternyata pilihan gue nggak salah, loe emang temen yang baik."

"Eh, tunggu dulu Mario!"

Mario ngehentiin ayunan kakinya yang hendak ninggalin toilet ini. Cowok itu berbalik sambil ngegeser naik tali tas punggungnya yang diselempangin. "Why?"

"Kiki gimana?"

Aku nggak tau apa yang akan terjadi sama Kiki, misalkan dia tau sahabat kecilnya balik temenan sama aku? Kasihan kalo sampe dia kejang-kejang keluar busa karena sulit nerima kepahitan ini. Cowok yang disukainya jadi pacar aku, dan sekarang Mario, temen paling peduli ama dia, bertolak dari ikut-ikutan musuhin aku. Apa dia masih bisa ketawa?

Mario decihin bibir, "Dia udah jadi masa lalu, Sat."

Aku shocked. Sepertinya hubungan mereka renggang. Semoga aja bukan aku penyebabnya. Aku nggak mau si Rizki itu mikirnya aku jadi duri dalam hidupnya. Harusnya dia tuh ngerti setiap kejadian dalam hidupnya, mau buruk mau seneng, itu murni kehendak Tuhan, bukan kehendak aku.

"Kalian berantem, ya?" tebak aku curiga.

"Besok ajalah gue ceritain ... Gue balik, ya!"

"Ha? Balik? Emang ini jam berapa?"

"Loe nggak denger pengumuman tadi? Balik cepet, Sat, senin kita ulangan."

Ya Salam, saking larut dalam pikiran sampe nggak denger pengumuman. Abisnya aku kesel banget orang-orang ngekompar aku ama Kak Radit. Mereka sendiri belum tentu nerima dibanding-bandingin. Manusia tuh mana ada yang seneng digituin. Misal nih ya, ibu kalian banding-bandingin kalian sama anak tetangga yang rajin bantu-bantu di rumah, pinter di kelas dan jarang keluyuran. Sedangkan kalian di rumah males iya, pinter juga nggak, keluyuran pulang malem nomor satu, kerjanya makan tidur makan tidur, hidup kalian tuh nggak ada gunanya untuk bangsa dan negara ini. Gimana perasaan kalian? Hemm? Gimana-gimana? Tulis di kolom komentar, ya.

"Gue cabut, ya. Bye, sampe ketemu gue besok."

Mario berlalu. Selepas dia pergi aku ngaca. Aku curious bentuk jepit rambut yang dikasihnya kayak gimana. Ulala, agus, agus aned. Aku cukaaa.

Jepit rambutnya model Bobby pins sama kayak jepit rambut almarhum Bunda. Jepit kawat buat ngerapiin rambut dari samping. Bedanya jepit rambut ini dihiasi bulatan-bulatan permata kecil warna putih. Susunan permatanya sehati dengan bentuk jepitannya yang panjang. Kalo punya Bunda kan permatanya cuma numpuk di pangkal.

"Selera Mario bagus juga, hihi."

Lagi asik ngaca, eh tetiba iPhone aku bunyi. Satu pesan dari cakepnya aku. Arjuna nyariin aku. Dia nanya aku ada di mana.

"Lain kali kalo ke mana kasih tau, Yank. Aku muter-muter nyariin kamu. Aku pikir kamu pulang duluan." Arjuna nyerahin tas aku yang dibawanya.

Baru juga nyampe ngerepet panjang kayak rel kereta. Aku kan dari tadi di toilet aja, nggak ke mana-mana.

KSATRIA (CERBUNG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang