Halaman Kedua Puluh Enam

1.1K 85 7
                                    

Gara-gara nangis semaleman aku jadi kesiangan bangun pagi. Aku nggak mandi, cuma bisa cuci muka. Aku nggak sempet make up-an karena waktu aku terbatas. Nggak sih, aku lagi males mempercantik diri di saat suasana hati aku lagi kacau. Aku mau cepet-cepet ketemu Arjuna. Aku mau bicarain perihal sikapnya yang mendadak dingin. Aku tau, silent treatment memang biasa dilakuin seseorang saat ngerasa kalo ada sesuatu yang salah dalam hubungan. Dan aku tau di sini Arjuna kecewa, mungkin juga terlampau marah sama aku karena aku secara sadar nggak sadar ngelakuin kesalahan. Cuma aku bingung, kesalahan apa yang aku perbuat? Dia kan belum tau aku jalan ama Mario saat dia nggak bisa ngajak aku ke mana-mana.

Aduh, kantung mata aku keliatan bengkak lagi. Bibir aku juga tampak agak lebih tebel dari aslinya, ya ampun jelek banget aku pagi ini. Kayak yang habis dicipok dua puluh empat jam nggak lepas-lepas gitu.

Udah ah, aku nggak peduli, sabodoamat jelek-jelek deh, aku mesti buruan. Kak Radit pasti lagi nungguin aku di bawah.

"Bisa loe pergi ke sekolah keadaan kusut kayak gitu?"

Aku matung nggak jauh dari motornya dengan pandangan sayu. "Yang penting sekarang ketemu Juna."

"Bekas cupang di leher loe gimana? Nggak mungkin loe nemuin dia sambil nunjukin itu."

"Nanti Kakak mampir sebentar ke warung beli plester."

"Loe nggak mungkin nempelin plester di leher loe, Dek. Bekas cupangnya bukan satu. Udah, loe nggak usah sekolah, ya."

"Aku mau ketemu Juna, Kak!" aku nggak ada maksud ngebentak Kak Radit. Aku hanya ingin ketemu Arjuna, itu doang. Satu-satunya tempat yang bisa nemuin aku sama dia cuma sekolah. Dia nggak boleh ngelarang aku. Aku mau meluruskan semuanya jika memang ada salah paham. Aku mau minta maaf karena aku banyak salah. "Kakak nggak tau perasaan aku." Tuh kan aku nangis lagi. Aku benci kenapa aku dilahirin secengeng ini. "Sakit Kak hati aku. Rasanya kesiksa banget didiemin kayak gitu. Kalo milih mau dipukul apa didiemin, aku lebih milih dipukul."

"Maaf ...," bisiknya pelan. Lalu dia ngegapai pergelangan tangan aku hingga aku berdiri tepat di depannya. Diambilnya helm bogo punya aku di cantelan motor. Dia bantu makein helm itu ke kepala aku sambil nyingkirin anak-anak rambut yang berantakan di dahi aku. "Maaf kakak nggak ngertiin perasaan loe," ucapnya sambil ngehapus jejak-jejak air mata di pipi chubby aku.

"Nggak apa-apa. Aku paham. Kakak begitu karena peduli keadaan aku."

Kemudian aku naik ke boncengan. Kak Radit pun bawa aku menuju sekolah.

Aku minta dia stop di warung sekitaran area sekolah. Gara-gara Mario hidup aku jadi ribet kayak gini. Iya, aku tau tubuh aku putih mulus seksi menggoda. Begitu amat mengundang birahi cowok-cowok yang ngeliat. Tapi nggak gitu juga kali, ampe dicupangin bertubi-tubi. Aku salah hitung, bekas cupangnya bukan tujuh, tapi delapan. Ada satu nyempil di bagian agak belakang leher aku.

"Dongak!" Kak Radit nyentuh dagu aku, aku pun ngedongak seperti apa maunya.

Sementara aku duduk di bangku warung, dia jongkok di hadapan aku bantu aku nempel satu-satu plester lukanya.

"Rasanya gimana dicupangin sebanyak ini?"

Pertanyaan macam apa itu wahai Raditya Jayasari? Nggak adakah pertanyaan lain yang lebih berbobot?

"Bukannya Kakak pernah dicupang." Sindir aku sambil ngelirik bagian lehernya yang diplester. "Itu yang ditutupin plester luka abis dicakar kucing?"

"Emm ..."

Kak Radit nggak bisa jawab. Jiahaha. Look, dia kayak salting gitu. Rasakan, pertanyaannya jadi senjata makan tuan. Heh, dia mau main-main sama aku.

KSATRIA (CERBUNG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang