-Hidup itu perjalanan, arah mana yang kita tuju itu adalah pilihan. Dan setiap pilihan pasti ada tantangan.-
***
Bila ada yang mengatakan bahwa dunia selebar daun kelor mungkin aku akan berkata tidak, sebab bagiku dunia ini amat luas hingga aku tak pernah mampu menemukan seseorang yang selama ini tak mampu ku lupakan. Bukan karena sebuah perasaan cinta tapi sebaliknya, rasa benci yang mendominasi membuatku ingin rasanya membalas semua sakit hati tapi hingga saat ini, aku masih sabar mencari sosok yang begitu tak ingin kutemui tapi juga sosok yang begitu ingin kutemukan.
Aku berjalan menuju sebuah kedai penjual minuman di pinggir jalan, siang ini matahari bersinar dengan terik membuat dahaga mudah sekali menyapa.
"Mbak, coklat absolute satu." Aku mengatakan itu lalu mengambil duduk di sebuah kursi dari jalin yang terlihat klasik sekali. Sambil menunggu aku mengeluarkan sebuah buku berjudul 'Kala Hati Bernafas Ikhlas' sebuah karya anggota forum kepenulisan.
"Silakan ditunggu pak."
Aku samar-samar mendengar mbak penjaga stan melayani pembeli lainnya. Aku menunggu cukup lama sebab tadi mbak penunggu stan sudah bilang bahwa dia masih ada pesanan untuk pekerja di toko sebelah jadi harus menunggu. Aku merasa diperhatikan, dengan pelan kututup buku yang kubaca dan menoleh ke arah kiri.
Aku terdiam kala bola mataku segaris lurus dengan sebuah bola mata berwarna keemasan, kuning kecoklatan yang tampak begitu pas dilengkapi dengan wajah yang begitu dewasa dan menawan. Aku terdiam, udara sekitar terasa hampa dan suara terasa menghilang. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku mencoba bertahan dan entah sadar atau tidak akhirnya sosok yang selama ini kucari dan juga sosok yang selama ini tak ingin kutemukan berada beberapa langkah di depanku.
Haruskah aku menyapanya? Tidak. Apakah mungkin aku menyapanya setelah dengan tega dia meninggalkan diriku begitu saja. Tapi, kami saling mengenal dan itu bukan hal yang patut untuk diabaikan. Haruskah ku katakan, 'hai mantan!'
Aku membuang muka lalu menoleh dan saat itu aku menyadari satu hal, dia tidak sendiri lagi ada sosok perempuan yang amat kukenal. Mereka masih bersama, ya mereka masih berhubungan meski waktu sudah berjalan hampir sepuluh tahun lamanya.
"Alya," sapa seorang perempuan yang kukenal dan tak lain adalah perempuan yang bersama dengan mantan pacarku.
"Iya," kataku dengan senyum tipis.
"Apa kabar?" tanyanya menghampiri diriku kami berjabat tangan dan mencium pipi kanan dan kiri, bak dua orang saudara yang lama tak berjumpa.
"Alhamdulillah baik," jawabku dengan tenang.
"Alfa, ini ada Alya teman kita waktu SMA masak lupa," kata Aya. Namanya Cahayati dan kami sekelas memanggilnya Aya biar terkesan tidak norak kata Toni ketua kelas kami dulu di SMA.
Aku hanya diam, apakah begitu mudahnya melupakan? Ya, dia adalah pihak yang meninggalkan dan mengambil inisiatif untuk putus maka bisa dipastikan bahwa melupakan lebih mudah dibandingkan mengingat. Berbeda dengan diriku, yang sejak kecil baik di rumah atau di sekolah selalu didik untuk mengingat sehingga melupakan adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh," salam Alfa sambil menangkup kedua tangannya di dada tanda bahwa tidak bersentuhan dengan lawan jenis dan aku melakukan hal serupa seraya menjawabnya.
Aku harus bersyukur kali ini, tidak perlu beramah-tamah dengan mantan sebab sebelum perbincangan berlanjut mbak penunggu stan mengatakan bahwa pesananku sudah selesai dan aku segera berpamitan dan pergi menjauh dari zona yang menurutku tidak aman untuk hatiku, sebab luka yang belum sembuh itu seolah menga-nga kembali. Sepuluh tahun tidak membuat luka itu sembuh dengan sendirinya, dan pada kenyataannya waktu tidak bisa menyembuhkan hanya menyembunyikan.
---
Aku terdiam menunggu di sebuah ruangan kecil yang disekat dengan kaca tebal, sehingga mampu melihat kesibukan di ruangan sebelah. Saat ini aku sedang berada di kantor yang sudah menerimaku.
"Maaf menunggu lama," kata seorang lelaki yang baru saja masuk.
"Tidak masalah," jawabku dengan sopan.
"Oh ya, Saya Ziyad," kata lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.
Aku hanya mengangguk lalu menangkupkan tangan di dada tanda bahwa aku tidak menerima bersentuhan. Aku berharap lelaki di depanku ini tidak tersinggung akan hal ini.
"Maaf, saya Alya. Sekali lagi maaf, saya punya prinsip untuk tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram," kataku menjelaskan.
"Oh santai saja, silakan duduk kembali."
Aku mengangguk dan bernapas lega, karena di Indonesia minoritas sekali yang menerapkan hal ini jadi sempat terjadi gejolak di hati. Alhamdulillah kalau ternyata semua berjalan dengan baik.
"Tenang, bos kita ini juga memiliki prinsip yang sama," kata lelaki yang mengaku Ziyad itu dengan santai.
"Baik pak," jawabku dengan pelan.
"Oh ya, di kantor ini sebenarnya tidak terlalu ketat tentang sebuah hubungan jabatan tetapi lebih ke penyetaraan umur jadi saya kira kamu bisa memanggil saya seperti yang lainnya, Bang Ziyad."
"Bang Ziyad?" panggilku ragu.
"Tak perlu ragu, santai saja. Kamu baru lulus kuliah?"
"Tidak," jawabku dengan tenang.
"Lalu?" tanya Bang Ziyad dengan penasaran dan ini harus digarisbawahi bahwa lelaki ini mudah tertarik.
"Saya sudah lulus sejak empat tahun yang lalu," jawabku dengan pelan.
"Benarkah?"
Kulihat lelaki yang berharap kupanggil 'bang' ini terkejut, aku menikmati semua hal ini entah mengapa aku seolah sudah lama mengenalnya.
"Wah, kita seumuran ternyata. Tapi sungguh tidak terlihat dari wajahmu, kamu terlihat lebih muda dari umurnya," kata bang Ziyad sambil membuka-buka CV punyaku.
"Tapi tetap saja kamu harus memanggilku Bang, aku lebih tua tiga bulan darimu."
Aku hanya mengangguk kecil kala mendengar pernyataan yang terdengar kekanakan itu akan tetapi aku tak begitu saja menolaknya. Sebab, ini hanya sekedar panggilan yang tidak memilik makna yang buruk.
"Baiklah, aku akan memberimu sedikit arahan."
Aku tidak bersuara akan tetapi aku yakin bahwa bang Ziyad memahami kediamanku.
"Kamu akan bekerja sebagai asisten direktur cabang, ingat asisten bukan sekertaris ya. Jadi mengurus semua keperluan baik di luar dan juga di kantor. Apa kamu sanggup memiliki jam kerja seperti ini?"
"Kalau waktu kerjanya? Maksudnya weekday seperti pegawai lain atau fullweek?"
"Tenang Bos kita tidak kejam itu jadi hanya weekday saja," jawab Bang Ziyad.
"Bos kita ini baru di kota ini jadi perlu penyesuaian yang cukup jadi mungkin sedikit banyak keinginan yang kadang membuat sebal akan tetapi tolong bersabar."
"Tipe cerewet?" tanyaku dengan pelan.
"Tidak juga sebenarnya, hanya saja sedikit perfeck. Bagaimana kamu bersedia?"
"Tunggu Bang, bukankah saya mengajukan lamaran ke asisten keuangan?" aku bertanya dengan jelas, sebab itu adalah pekerjaan yang disebutkan oleh Denis akan tetapi kenapa bisa aku tersangkut pada pekerjaan asisten direktur cabang.
"Apa Erwan belum bilang bahwa asisten keuangan sudah diisi dari mahasiswa magang?"
"Erwan?" tanyaku bingung, sungguh aku tidak tahu siapa itu Erwan. Mengapa di harus memberitahu diriku? Apa hubungannya?
----
Heemmm....
Aku update ganda kemarin lohtapi tetap aja kurang ramai...
Kayaknya minat baca cerita ini kurang yaa...
Sayang sekali...
Padahal aku suka banget loh ngetik cerita ini.
Jadi sedih!Ditunggu apresiasinya...
Jazakumullahu Khoir bagi yang sudah memberikan apresiasi...Salam cantik secantik bunga mawar dari mawarmay
Lampung, 5 Rajab 1441 H
KAMU SEDANG MEMBACA
Setia Di Hati (Selesai)
ChickLit#MantanSeries Bila orang bilang hal yang paling berpengaruh itu adalah perpisahan tanpa pesan, maka aku tidak menyetujuinya. Sebab, bagiku yang paling mempengaruhi bukan perpisahan tanpa pesan akan tetapi pertemuan kembali setelah perpisahan tanpa p...