Bila hidup ini terasa berat untuk dijadikan, maka bukan salah waktu yang menyapa. Akan tetapi salah kita yang lemah dalam menerima konsekuensi dari sebuah keputusan.
---
Dia adalah sosok bunga yang mekar dan menyebar aroma harum untuk sekitar. Itulah dia bagiku dulu, kala kami masih remaja. Sifatnya yang suka menolong, ramah dan dermawan membuatku terpesona dan jatuh pada sebuah ikatan yang kukira terikat dengan kuat karena adanya persetujuan dari keluarga tapi ternyata ikatan itu hanya ikatan asal terjalin tanpa simpul mati.Dalam hidup, aku tidak pernah menduga bahwa kehilangan kedua keluarga dan juga kehilangan kekasih hati dengan renta waktu yang dekat. Sungguh kadang aku berpikir bahwa takdir ini terasa tidak adil bagiku akan tetapi kala aku ingat benar bahwa Allah maha adil maka aku berusaha menepis segalanya, guna bisa menerima takdir yang sudah ditentukan oleh Allah.
Dan dalam hidup ini, jika manusia diberikan kesempatan untuk memilih takdirnya sendiri, aku yakin tak akan pernah ada cobaan yang akan dipilih olehnya. Karena pada kenyataannya tidak pernah ada manusia yang mau sengsara semuanya mencoba mengejar bahagia. Sama halnya diriku, jika boleh memilih takdirku aku juga tak ingin menjadi orang yang tertanam dalam kubangan kisah masa lalu.
Lututku terasa ngilu kala aku lama duduk di kursi ini, ingin rasanya aku menggerakkan akan tetapi tak ada sedikitpun gerakan yang kuhasilkan.
"Kamu kenapa?" tanya Mbak Nur yang baru saja datang dari meeting bersama pak Alfa.
"Memangnya ada apa Mbak?" tanyaku balik, aku pura-pura tidak tahu sebab bisa kulihat pak Alfa berhenti di depan pintu menatap ke arah kami.
"Kamu kram?" tanya Mbak Nur menaruh tablet ke mejanya lalu berjalan menuju ke arahku.
"Tidak," jawabku sambil tersenyum.
"Yakin, tadi kamu terlihat meringis sambil menyentuh lutut."
"Oh tidak ada masalah," kataku lalu berdiri dengan cepat sambil menahan rasa ngilu.
"Oh, kupikir kaki kamu kram." Aku melirik ke arah pak Alfa yang sudah masuk ke dalam ruangan lalu aku duduk sambil meringis.
"Emang kram Mbak," kataku dengan pelan.
"Ya Allah, apa yang terjadi?" mbak Nur berjalan ke arahku.
"Mungkin karena tadi aku salah naik bus jadi aku turun di perempatan yang ada di itu loh mbak yang ada toko Tas branded," kataku sambil meringis karena pahaku terasa ngilu juga.
"Ya Allah, di jalan Rahmawati?"
"Aku gak tahu mbak," kataku dengan meringis.
"Kamu izin saja deh kayaknya," kata mbak Nur.
"Gak enak Mbak, aku lagi banyak kerjaan." Aku menunjuk dua map yang ada di mejaku.
"Biar Mbak bantu," kata Mbak Nur hendak mengambil akan tetapi aku tahan.
"Aku gak papa Mbak, gak usah jadi merepotkan."
"Tapi kaki kamu," kata mbak Nur.
"Kakinya kenapa?" tanya Bang Ziyad yang entah datang dari mana.
"Oh gak papa Bang," jawabku dengan mencoba tenang dan tidak meringis.
"Dia berjalan dari jalan Rahmawati hingga kantor," kata Mbak Nur.
"What? Siapa yang nyuruh? Emang Alfa nyuruh kamu ngapain?" tanya Bang Ziyad beruntun dan itu terasa sedikit menggemaskan.
"Bukan pak Alfa," jawabku pelan.
"Lalu?" tanya Bang Ziyad sambil menunduk dan mbak Nur berjongkok di sampingku terlihat kita bertiga seperti sedang bergosip yang aman rahasia.
"Aku salah naik bus jadi diturunkan di sana," jawabku sambil tersenyum canggung kulihat bang Ziyad melongo sedangkan mbak Nur hanya menggelengkan kepala sambil mengelus betisku cukup membuat rasa nyeri sedikit menghilang. Tak berapa lama tawa bang Ziyad membahana membuat aku dan mbak Nur beradu pandang, kami berdua sungguh tidak tahu yang ditertawakan oleh bang Ziyad.
"Sorry," kata bang Ziyad yang memahami kami sedang heran dan mencoba menahan tawanya. "Tapi kamu benar-benar lucu Al," kata Bang Ziyad di sela tawa kecilnya.
"Kok lucu sih, Zi?" tanya Mbak Nur dengan nada tegas.
"Lucu kali Mbak, bayangkan dia ini umur berapa hingga masih keliru naik bus? Menggelikan sekali," kata Bang Ziyad.
"Ini teman kena musibah malah diketawain," kata mbak Nur tetap tidak terima sedangkan aku hanya terdiam, aku membenarkan ucapan bang Ziyad aku sudah dewasa tapi sering melakukan kesalahan yang tak biasa.
Aku jadi ingat masa lalu, kala tiap naik bus Alfa selalu bilang, 'tidak papa kamu tidak bisa menghafal jalan, nanti kemanapun kamu pergi aku siap mengantar.' aku meringis mengingat itu dan tanpa terasa mataku terasa buram dan bisa kupastikan jika aku mengedipkan mata maka bulir permata ini akan jatuh.
"Kamu kok nangis sih? Hey jangan menangis!" Bang Ziyad kelabakan, karena tanpa kuberkedip ternyata buliran permata itu jatuh sendiri.
"Kamu sih, Zi!" kata Mbak Nur menyalahkan bang Ziyad.
"Aku gak papa," kataku sambil tersenyum canggung lalu menghapus air mataku.
"Lain kali kalau kamu salah lagi, kamu bisa menghubungi Abang."
Aku menerima tisu yang diberikan oleh bang Ziyad, lalu mengelap pipiku.
"Jangan berjanji Bang, janji itu berat!" kataku.
"Benar, jangan mau ditipu lelaki macam Ziyad, Al!" kata mbak Nur.
"Kalian itu para perempuan memang sering salah mengartikan ucapan lelaki," kata bang Ziyad sambil menggelengkan kepalanya.
"Dla, bukannya kamu janji sama Alya?"
"Siapa sih Mbak uang janji, kan aku hanya minta dia menghubungi saja," kata bang Ziyad sambil tertawa.
"Ziyad, kamu!" kata Mbak Nur yang tampak lucu kala merasa kesal aku hanya tersenyum saja, sungguh mereka berdua adalah teman yang baik. Aku merasa seperti saat aku, mbak Yuni dan Denis sedang berbincang bersama.
"Apa kalian digaji untuk berbincang seperti ini?"
Aku menoleh ke arah pak Alfa yang bersandar di bibir pintu dan melipat kedua tangannya di dada, menatap kami dengan tajam seolah dia sedang mengintimidasi kami.
"Wae, singa keluar kandang." kata Bang Ziyad sedangkan aku dan mbak Nur kembali menatap layar komputer masing-masing.
"Kamu tahu Al, asisten kamu itu adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa," kata bang Ziyad membuatku menoleh, sebab dia memanggil 'Al' kupikir dia berbicara padaku akan tetapi salah dia tidak berbicara padaku.
"Tidak salah juga sih, dia kalau menggunakan pakaian SMA juga masih cocok, imut gitu!"
Aku melotot kala mendengar ucapan bang Ziyad yang menurutku sedikit aneh untuk didengar.
"Kamu, ambilkan data arsip keuangan di ruang arsip."
"Saya pak?" tanyaku.
"Iya, siapa lagi?"
"Al, dia kakinya sedang ngilu dan kram karena berjalan dari jalan Flamboyan hingga kantor pagi tadi." Bang Ziyad ternyata membelaku dan mencoba melindungi diriku. "Bukankah data itu ada di database komputer kamu, lihat di sana saja jangan nyiksa karyawan."
"Tidak berubah," kata pak Alfa lalu masuk ke dalam ruangannya begitu saja lalu aku menoleh ke arah Bang Ziyad yang memberikan isyarat supaya aku duduk kembali.
Benar, waktu sudah banyak berjalan akan tetapi aku kadang masih menjadi aku yang dulu, aku yang tak pernah berubah meski waktu telah meninggalkan dengan begitu cepatnya dan semua ini bukan salah waktu akan tetapi salahku sendiri yang masih bertahan pada satu pijakan.
---
Lampung, 14 atau 15 yaa.... 1441 H
Hemmmz....
KAMU SEDANG MEMBACA
Setia Di Hati (Selesai)
ChickLit#MantanSeries Bila orang bilang hal yang paling berpengaruh itu adalah perpisahan tanpa pesan, maka aku tidak menyetujuinya. Sebab, bagiku yang paling mempengaruhi bukan perpisahan tanpa pesan akan tetapi pertemuan kembali setelah perpisahan tanpa p...