Takdir itu bak sungai yang kadang tak bisa tertebak mana hulu dan hilirnya. Sama seperti takdirku bersamamu, kupikir sudah tak akan mungkin tapi ternyata memang bisa dijalin.
---
Aku mengerjap mataku, aku merasa berat tapi aku tetap berusaha dan saat pertama kali mataku terbuka aku berada di sebuah kamar dengan plafon berwarna putih salju dengan plisir berwana perpaduan warna biru dan kuning. Aku menoleh ke arah jendela dan ternya pagi telah menyapa akan tetapi ada yang aneh, saat aku menoleh ke pundak sebelah kanan aku membulatkan kedua mataku karena di sana berbaring seorang lelaki menggunakan kain bahan berwarna navy dan kemeja yang tampak kusut berwarna biru muda. Apa yang telah terjadi?
Aku memindahkan tangan yang saat ini sedang melingkar di atas perutku, tapi aku kembali dikejutkan dengan gerakan Lang lebih mendekatkan tubuhku dengan tubuhnya. Aku juga jadi bisa melihat ada jarum infus di tangan kiriku.
"Jangan bergerak, nanti infus bisa lepas."
Aku menoleh ke arahnya tapi lelaki itu hanya diam saja dan memejamkan matanya. Bisa kulihat gurat-gurat wajah lelah. Tunggu dulu, aku melihat jari yang dihiasi dengan cincin berwarna peran di jari manisnya dan seperti tidak asing bagiku.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" teriakku dengan cukup kencang setelah menyadari siapa lelaki yang sedang memelukku.
"Biarkan aku istirahat sebentar, kemarin aku langsung terbang pulang saat dapat kabar kamu gak sadarkan diri lebih dari lima jam."
"Tapi tetap saja, Apa lima jam?" tanyaku dengan wajah terkejut.
"Sayang," panggilan pelan itu membuatku menoleh dengan wajah horor. Jangan bilang bahwa lelaki di sampingku ini adalah suamiku. Bagaimana bisa?
"Lepaskan," kataku penuh penekanan. Aku sungguh merasa dipermainkan saat ini. Apa yang sebenarnya telah terjadi?tidak mungkin tidak ada yang mengetahui hal ini karena jelas-jelas hari sudah berganti jadi semuanya selama ini bermain di balik semua kejadian.
"Baiklah, apa yang kamu butuhkan?" tanya lelaki yang bahkan tak ingin kusebut namanya itu dengan lembut. Hilang sudah segala yang dulu terpampang di depan mataku. Karisma itu tiba-tiba hilang yang tersisa hanya rasa kesal merasa ditipu oleh semua orang. Bagaimana bisa semuanya tega melakukan hal ini padanya?
"Aku ingin ke kamar mandi," kataku sambil menyibak selimut dan lelaki itupun dengan telaten membantuku meski wajahnya sendiri tidak tampak baik-baik saja.
"Pelan-pelan, infus baru diganti tadi pagi jadi masih penuh." Aku melirik ke arah infus yang sudah terlepas dari tiangnya berganti posisi di tangan lelaki itu. Aku hanya diam saja meski di dalam hati membenarkan bahwa infus itu masih terlihat penuh.
"Setelah dari kamar mandi aku ingin infus ini dilepas," kataku dengan datar.
"Jangan berlebihan, kamu hanya perlu memakai infus ini hingga habis baru dilepas. Kamu tidak bisa mengabaikan apapun itu," katanya dengan nada tegas aku hanya melirik sinis kemudian beranjak dari tempat tidur akan tetapi aku merasakan tubuhku oleng, sungguh aku bisa merasakan tubuhku ringan sekali aku pikir aku akan pingsan lagi tapi saat aku membuka mata ternyata aku menatap wajah lelah itu tampak lega.
"Jangan banyak bergerak," katanya sambil memberikan infus dan mengangkat tubuhku begitu saja. Aku bisa melihat wajah letih itu semakin jelas akan tetapi semua itu tak mampu menghilangkan segala rasa yang bergejolak di dalam dadaku. Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya dia peran selama ini?
Aku didudukkan di closed kemudian dia menggantung infus di gantungan lalu dia menunduk merapikan hijab pasmina yang kupakai.
"Aku ada di depan pintu, jika sudah selesai atau perlu apapun kamu bisa memanggilku." Aku menatap punggung itu berlalu tanpa kata, aku tak tahu apa yang telah terjadi. Bagaimana bisa cincin pasangan itu ada di jari seorang Alfa dan bagaimana bisa aku berada di tempat asing ini bersama dengan lelaki itu. Tidak, jika dia adalah suamiku lalu apa yang sudah terjadi selama ini. Aku tak bisa berpikir atau mendapat ide yang pas untuk bagian ini. Ini bukan dongeng bukan? Aku tidak sedang masuk ke dalam novel atau dunia lain seperti cerita yang sedang booming saat ini bukan? Tidak, aku tidak mempercayai itu hanya saja aku tak mampu berpikir apapun saat ini. Mungkin lebih baik jika aku diam saja dan menerima semuanya karena bisa jadi ini memang takdirku jika ini bukan sekadar mimpi dalam tidurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setia Di Hati (Selesai)
ChickLit#MantanSeries Bila orang bilang hal yang paling berpengaruh itu adalah perpisahan tanpa pesan, maka aku tidak menyetujuinya. Sebab, bagiku yang paling mempengaruhi bukan perpisahan tanpa pesan akan tetapi pertemuan kembali setelah perpisahan tanpa p...