Bila cinta itu ibarat pohon, maka patah hati itu ibarat paku yang ditancapkan pada pohon. Meski paku itu sudah dicabut, maka masih ada bekas yang tersisa. Maka seperti itulah cinta dan patah hati bagiku. Mungkin sudah berlalu, akan tetapi bekas itu masih ada.
---
Aku menatap Alfa yang saat ini sedang sholat rawatib dua rakaat di dekat meja. Aku terdiam, berpikir jika semua ini ada yang salah sudah hampir satu pekan dan Alfa tak jua pergi meninggalkan rumah untuk bekerja. Lelaki itu hanya izin untuk ke bawah, mungkin sekitar satu jam kemudian dia akan kembali lagi ke dalam kamar dan membawa sebuah buku atau camilan dan tak ada niatan untuk pergi bekerja sama sekali.
"Sudah selesai bacanya?" tanya Alfa sambil melipat sajadah dan melapas kopiyah.
"Belum," jawabku singkat kemudian menatap sampul buku berwarna merah jambu. Buku biografi seorang perempuan luar biasa yang bahkan Allah mengirim salam padanya. Kalian pasti tahu kisah siapa, iya kisah ibu kita bersama, ummahatul mu'minin Khadijah. Aku sudah membaca buku ini sebanyak tak terhitung, akan tetapi hatiku tak mampu berpaling dari sosok ibu orang-orang mukmin yang pada masa hidupnya belum bisa menikmati mudahnya beribadah.
"Mau kuambilkan buku lainnya?" tanya Alfa duduk di sampingku dan tangannya sudah bertengger di dahiku.
"Allaahumma innii as-aluka khoirohaa, wa khoiro maa jabaltahaa 'alaihi, wa a'uudzu bika min syarrihaa, wa syarri maa jabaltahaa 'alaihi," doa Alfa yang diucapkan lirih akan tetapi aku masih bisa mendengar. Kemudian tak berapa lama aku bisa merasakan benda dingin mengecup dahiku.
"Mau makan sesuatu?" tanyanya lagi sambil membuka kancing bajunya.
"Tidak," jawabku dengan pelan, sungguh aku ingin berteriak rasanya. Bagaimana tidak jantungku berdebar dengan kencang aku takut Alfa bisa mendengar suara dentumannya.
"Kamu harus sesering mungkin makan dan banyak minum air putih biar tenaganya pulih," katanya dengan pelan kemudian mengambil jam tangan di atas nakas dan memakanya.
"Memangnya aku sakit apa?" tanyaku pelan.
"Kamu syok dan juga kekurangan cairan, kamu sepertinya tidak makan dengan teratur." Dia merapikan kemejanya hingga menyisakan kaos saja kemudian berjalan menuju ke arah gantungan.
"Ayo, kita jalan-jalan."
Aku menerima uluran hijab besar darinya, kemudian aku hanya diam saja kala dia membersihkan wajahku dengan tisu basah.
"Biar tidak terlalu pucat," kataku kemudian membantuku berdiri. Sungguh lelaki ini menjelma menjadi lelaki yang tak bisa kukenal. Lelaki ini menjadi lembut dan melakukan banyak hal untukku tanpa aku meminta seolah-olah dia tahu apa yang kubutuhkan akan tetapi semua itu tak bisa mengubah apapun.
---
Kami berjalan-jalan dalam artian benar-benar berjalan. Jika kalian berpikir akan keluar kawasan rumah tidak, sebab kami hanya di rumah. Rumah yang ditempati Alfa ternya bukan hanya satu kawasan, rumah yang dulu sering kunjungi untuk menyiapkan pakaian kini terlihat lebih megah karena tiga kawasan rumah yang dijadikan satu.
Aku sempat terkejut kala melihat bangunan baru di samping rumah dan taman yang luas, ada juga rumah kaca yang banyak tanaman di dalamnya. Kami berjalan mulai dari pintu samping ke depan hingga ke wilayah samping rumah yang direnovasi.
"Di sini akan dijadikan tempat usaha, nanti kita kantornya di sini." Aku menoleh ke arah Alfa yang sampai santai tetap menggenggam tanganku seolah aku akan terjatuh jika tidak dipegang.
"Bagian belakang nanti akan aku buat kos-kosan, jadi terpisah meski ada jalan menuju ke sana. Jadi kita akan menyewakan tempat itu sebagai usaha juga. Kan di sini dekat dengan kampus pasti akan mudah menjangkau," kata Alfa menjelaskan lagi. Aku hanya diam sambil mengamati sekitar. Rumah yang sering kunjungi kini berubah drastis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setia Di Hati (Selesai)
ChickLit#MantanSeries Bila orang bilang hal yang paling berpengaruh itu adalah perpisahan tanpa pesan, maka aku tidak menyetujuinya. Sebab, bagiku yang paling mempengaruhi bukan perpisahan tanpa pesan akan tetapi pertemuan kembali setelah perpisahan tanpa p...