35. Bukan Akar

5.4K 488 31
                                    

Dari sekian banyak pemikiran, aku tidak pernah berpikir bahwa alasan kamu pergi itu hanya karena karang yang menjaga pasir pantai supaya tak terkikis oleh ombak.

---

Perjalanan ini terasa begitu jauh, dengan suasana hujan gerimis dan tak lupa banyak mobil berjajar hingga menyebabkan kemacetan. Suasana seperti ini kadang memang membuat kesal akan tetapi yakinlah bahwa ini adalah takdir yang harus kita jalani supaya hati menjadi tenang.

"Gak ada jalan alternatif, Pak?" tanya pak Alfa, aku menoleh dan lelaki berstatus bosku itu masih memejamkan matanya.

"Itu Pak, jalan sebelah yang biasanya dilewati ada jembatan yang dibenahi jadinya banyak yang lewat jalan utama." Pak Agus tampak fokus dengan jalan juga dengan spion depan. Mungkin dia berpikir kalau tidak menatap wajah sang bos, tapi aja wong yo pak Alfa tidak melihat matanya terpejam gitu.

"Kalau lewat gang dekat ruko?" tanya pak Alfa lagi seolah-olah lelaki ini sudah tidak sabar.

"Muter dong pak," jawab pak Agus.

"Ya sudah," kata pak Alfa aku hanya naikkan bahu sebab tak tahu jalan.

Aku kembali menoleh ke sebelah kiri dan kulihat kaca mobil yang basah karena rintik hujan. Selain itu terdapat uap yang bisa digunakan untuk menulis. Paling tidak menghilangkan boring.

Beberapa kali aku menulis kata Alya, ya seperti biasanya kan menulis kata nama di suatu tempat. Kalau aku terbiasa sih menulis namaku sendiri entah sadar atau secara reflek.

"Apa kamu masih membenciku?" Aku menoleh ke arah pak Alfa yang juga menoleh ke arahku.

"Benci? Untuk apa?" tanyaku sambil kembali menulis namaku di kaca.

"Untuk semua yang udah kulakukan," kata pak Alfa lirih.

"Tidak. Saya sudah tidak membenci Bapak. Sudah lama kukira bahwa aku sudah tidak membenci Bapak atau mungkin fakta yang sebenarnya saya tidak pernah membenci." Aku mengatakan itu dengan nada sungguh-sungguh. Aku terlalu larut dengan rasa sedih kala itu dan mungkin rasa benciku pada pak Alfa di masa lalu hanyalah sebatas pelampiasan saja karena pada kenyataannya di lubuk hatiku aku tidak pernah membenci lelaki ini.

"Kenapa? Akan lebih mudah jika kamu membenciku."

"Bapak terlalu baik untuk dibenci. Selain itu aku tidak ingin mengotori hatiku dengan rasa benci. Tidak, bapak tidak seberharga itu untuk bisa mengotori hatiku."

Aku mengatakan itu dengan tegas. Aku tidak peduli jika ini mampu menyentil harga diri lelakinya yang ku tahu saat ini ada saat di mana aku melepas semuanya. Aku akan membuka lembaran baru dengan suamiku maka aku akan melepaskan segala perasaan yang membelit di masa lalu.

"Kamu benar, aku tidak seberharga itu. Akan tetapi kamu lebih berharga dari apapun baik di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang."

Aku menoleh ke arah pak Alfa yang tampak melihat hujan yang ada di luar. Aku bisa menerka segala luka yang tak terlihat. Ada apa? Apakah dia memiliki masalah dengan hubungannya.

"Bapak tidak perlu merasa bersalah dan menyesal hingga sedemikian rupa. Di masa mendatang jangan buat saya begitu berharga di mata bapak. Cukup hal semacam ini saja, jangan buat saya menjadi prioritas utama yang harus ditanggung. Kisah itu hanyalah ada di masa lalu jadi ya hanya tinggal ingatan saja." Aku mengatakan itu guna memenangkan lelaki yang tampak tak bahagia itu. Lelaki yang terlihat berbeda dan memiliki beban berat.

"Saya mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tapi saya masih bisa mengusahakan masa depan Insyaallah." Pak Alfa mengatakan itu lalu kembali bersandar dan memejamkan matanya kembali tanda bahwa telah selesai berbicara. Akan tetapi entah mengapa mulutku terasa gatal.

Setia Di Hati (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang