22. Rindu Pada Bulan

5.4K 448 15
                                    

Kutatap langit malam, terlihat bintang-bintang bertebaran. Kemudian kutundukan kepala, guna menikmati kerinduan yang menyapa. Semakin lama semakin kian terasa. Rindu, bukan sekadar gambaran dalam kata.

---

"Kamu yakin tidak perlu kuantar ke rumah Bang Bimo?" tanya pak Alfa yang mungkin sudah kesepuluh kalinya sejak dia tanya ada siapa saja di rumah.

Tadi di apotek pak Alfa membelikan kompres tempel, minyak kayu putih dan parasetamol cair. Jangan tanya mengapa cair, karena pada kenyataannya adalah aku salah satu deretan orang manja yang tidak bisa minum obat tablet jadi mau bagaimana lagi jalan satu-satunya adalah obat cair dan juga obat oles. Kemudian saat menjalankan mobilnya kembali, pak Alfa bertanya ada siapa di rumah kemudian dengan jujur kujawab ada si mbak kalau belum pulang dan kalau sudah pulang berarti seorang diri karena mbak Yuni dan bang Bimo ada di luar kota. Lalu beliau bertanya apakah bang Bimo pergi sekeluarga? Dan kembali kujawab dengan jujur tidak soalnya anak dan istri bang Bimo ada di rumahnya yang ada di salah satu perumahan ramah lingkungan di beda kecamatan dengan rumah keluarga kami. Dan akhirnya, sejak tadi pak Alfa menanyakan hal itu berulang-ulang.

"Tidak pak, saya baik-baik saja."

"Kamu bisa mengatakan hal itu saat ini akan tetapi nanti?"

"Ada si mbak kok pak, nanti saya bisa minta tolong buat menginap."

"Baiklah, saya akan masuk untuk memastikan."

Akhirnya kami sampai dan pak Alfa bertindak sesuai dengan ucapan yaitu masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan mbak Ratih. Ada hal yang menarik terjadi kala keduanya bertemu, keduanya dengan akrab saling menyapa meski di awal mbak Ratih tampak berpikir keras, mungkin sedang mengingat.

Setelah memastikan kebenaran mbak Ratih yang akan menginap, pak Alfa pamit pulang setelah menghabiskan secangkir teh hangat dan aku diantar mbak Ratih untuk masuk ke dalam kamar.

"Mbak Alya kenal di mana sama mas Alfa?" tanya Mbak Ratih sambil menaruh tas jinjing milikku di atas meja belajar. Aku hanya menatap mbak Ratih lalu tersenyum tipis dan membenarkan posisiku berbaring.

"Boss saya itu Mbak," kujawab dengan pelan lalu kembali duduk.

"Woh boss, kupikir teman atau masih saudara soalnya terlihat begitu perhatian."

"Iya dulu si bos pernah tinggal di blok empat."

"Pantas kayak familiar," kata mbak Ratih sambil menyodorkan obat yang tadi dibelikan oleh pak Alfa.

"Pak Alfa tinggal di perumahan ini si mbaknya belum datang ke kota ini," jawabku sambil membuka botol sirup.

"Eh, emang iya ya?" tanya Mbak Ratih sambil tersenyum malu-malu.

"Tapi mbak, dulu pas mbak Alya belum pulang si Mas sering parkir mobil di bawah pohon kersen yang ada di seberang jalan."

"Sering?" tanyaku penasaran sambil menempelkan beberapa kompres.

"Iya, mbak Ratih juga sering dapat es coklat dari si mas kalau kita ketemu." Mbak Ratih merapikan obat kemudian duduk santai di pinggir tempat tidur.

"Bagaimana bisa?" tanyaku sambil bersandar, mencoba mencari posisi paling nyaman.

"Iya, setiap kali ketemu di depan selalu membawa es coklat dengan topping yang cantik. Katanya sih tadi kebetulan lewat akan tetapi hampir setiap kali ketemu. Di awal-awal itu sering sekali tetapi setahun terakhir ini sudah tidak pernah ketemu lagi, mungkin si mas sudah menikah."

Mbak Ratih bercerita dengan penuh percaya diri, jadi bisa dipastikan bahwa kemungkinan besar hal ini benar. Sebab, tidak mungkin mbak Ratih mengarang cerita yang sedemikian rupa. Untuk apa?

Setia Di Hati (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang