Bila hati ini telah menelan pil pahit kerinduan, satu harapan yang dinantikan yaitu pertemuan. Akan tetapi, bila mata ternodai dengan cahaya yang menyayat hati maka rindu hanya sekadar rasa sakit yang mengalun dengan cepat.
---
Senin adalah hari yang tak ditunggu kecuali jika bertepatan pada tanggal satu tanda bahwa gaji akan ditransfer. Bukan begitu? Siapa coba yang tidak berpikir sama halnya dengan diriku.
Aku menyalakan laptop lalu kutinggal menunju pantry untuk membuatkan minuman untuk pak Alfa. Aku melihat pantry kosong lalu segera mengambil cangkir dan juga tutupnya soalnya pagi hari kadang lelaki yang menjadi bosku itu tidak suka minum secara langsung tapi menunggu nanti-nanti. Dan yang lebih anehnya jika aku terlambat membuat kopi akan ada teguran sinis yang membuatku malas untuk melakukan apapun.
"Kamu buat kopi?" tanya Mbak Nur sambil mengambil piring.
"Biasa Mbak," jawabku sambil mengaduk kopi yang baru saja jadi lalu menoleh ke arah Mbak Nur yang tampak mengamati gerakan tanganku.
"Ada apa?" tanyaku heran.
"Gak sih, aku kan udah buat sesuai dengan aturan yang kamu kasih beberapa waktu yang lalu tapi kok pak Alfa bisa membedakan kalau itu bukan buatan kamu ya?"
"Emang pak Alfa ada bilang?" tanyaku mengangkat nampan lalu kami berdua berjalan keluar pantry.
"Iya, dia bilang kalau kopinya gak seperti biasanya."
"Oh, aku juga gak tahu pasti sih. Tapi aku buat seperti biasa yang mbak catatkan di awal." Aku berjalan menuju ruangan pak Alfa yang pagi ini kosong karena pak Alfa sudah ada di ruang keuangan.
"Emang biasanya kamu berapa kali putaran kalau mengaduk?" tanya Mbak Nur kala aku baru saja keluar dari ruangan pak Alfa.
"Mana sempat mbak menghitung hal semacam itu," aku menaruh nampan di bawah meja lalu mulai membuka beberapa file yang sudah dikirim ke email.
"Mungkin karena tangan yang beda," kata mbak Nur lalu menaruh piring di mejaku dan juga ada cup coklat panas yang masih mengepul.
"Wah, coklat panas."
"Heran, kamu itu minum coklat terus gak gemuk." Mbak Nur mengatakan itu sambil merapikan berkas, aku hanya tersenyum melihat dia sedikit menggerutu menurutku dia terlihat menggemaskan.
"Emang coklat bikin gemuk Nur?" tanya Aya yang entah muncul dari mana tiba-tiba sudah ada di dekat meja kami.
"Katanya begitu," jawab Mbak Nur santai lalu berjalan menuju rak menaruh beberapa berkas.
"Katanya siapa?" tanya Aya lagi sepertinya ingin memonopoli mbak Nur.
"Banyak orang bilang sih, tapi kenyataannya bagaimana, aku tidak tahu karena tidak suka coklat tapi yang kulihat si pecinta coklat bukannya gemuk tapi malah awet muda," kata mbak Nur tapi aku tidak tahu siapa yang dimaksud karena aku sudah kembali sibuk dengan layar laptop.
"Emang iya, perasaan Alya udah keliatan berumur. Lihat ada beberapa lipatan di bawah mata juga di bawah bibirnya," kata Aya membuatku mendongak.
"Yang penting natural," jawabku asal saja tidak bermaksud apapun akan tetapi hal itu membuat wajah Aya berubah drastis.
"Kamu menghina aku?" tanya Aya membuatku menoleh ke arah Aya dan ke arah Mbak Nur bergantian. Dan ada hal yang mengganjal terjadi sebab kulihat Mbak Nur menahan tawanya.
"Saya tidak ada bilang apapun," jawabku.
"Kamu," kata Aya menudingku.
"Saya benar-benar tidak menyebut kalau kamu tidak natural." Aku justru memperjelas semuanya dan yang kuterima tiba-tiba Aya melempar tasnya ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setia Di Hati (Selesai)
ChickLit#MantanSeries Bila orang bilang hal yang paling berpengaruh itu adalah perpisahan tanpa pesan, maka aku tidak menyetujuinya. Sebab, bagiku yang paling mempengaruhi bukan perpisahan tanpa pesan akan tetapi pertemuan kembali setelah perpisahan tanpa p...