50. Memetik Buah Setia

14.2K 510 36
                                    

Bila buah dari setia adalah sebuah kepastian yang mampu menyenangkan dan juga memenangkan hati. Maka, pilihan utama dan terakhir hanya satu hal. Yaitu, tetap setia di hati.

---

Sepekan sudah berjalan waktu, aku menatap Kak Alfa yang saat ini sedang menggotong beberapa potong kayu yang rencananya akan digunakan sebagai tempat duduk di rumah kaca.

"Butuh bantuan?" tanyaku masih duduk manis di sebuah sofa berbentuk stroberi.

"Tidak, kamu hanya perlu duduk dan melihat kalau ada yang tidak sesuai." Kak Alfa masih sibuk menggeser posisi. Aku hanya menatapnya saja karena memang aku begitu dimanja olehnya selama ini.

Aku sudah mulai hidup normal setelah menerima segala keadaan. Aku sudah bertemu dengan Bunda Ima juga Sarah. Bahkan dua hari yang lalu kami melakukan kumpul keluarga dan berencana akan mengadakan resepsi pernikahan di akhir bulan ini. Sungguh, kalau boleh jujur sebenarnya aku tidak berminat untuk mengadakan resepsi pernikahan yang besar. Akan tetapi apalah daya, suamiku tercinta katanya ingin mengumumkan pada dunia bahwa aku adalah istrinya. Dia sudah bosan bersembunyi. Aku bisa apa kalau sudah begini?

Aku meraih ponsel pintar milik kak Alfa yang ditaruh di meja, sekarang tidak ada lagi rahasia di antara kita. Bahkan sekarang kami hanya memiliki satu ponsel saja, jangan mengira kami pelit atau tidak punya duit akan tetapi ini bentuk sebuah kedekatan hubungan. Rasanya menyenangkan kala melihat interaksi kami berdua. Aku benar-benar merasa hidup.

"Kamu sudah pas body?" tanya kak Alfa yang duduk di sampingku sambil meminum air mineral dari botol.

"Pas body?" tanyaku tak paham, kemudian aku tahu maksudnya. Dia mungkin menanyakan tentang pakaian.

"Membicarakan tentang pakaian, aku kok jadi penasaran sama pakaian kita di resepsi mbak Yuni," kataku dengan nada rendah kemudian menoleh ke arah kak Alfa.

"Ada apa?" tanya kak Alfa dengan santai, seolah-olah tidak menyembunyikan apapun padaku.

"Bukankah kita memakai pakaian senada?" tanyaku dengan nada penuh penekanan. Aku menatap ke arah kak Alfa dan lelaki itu hanya melirikku sambil menaikan satu alisnya, sungguh mengesalkan. Mengapa dia terlihat tampan?

"Kamu yakin?" tanyanya dengan dua alis dinaik-turunkan. Aku merenggut tidak suka, sungguh apa kini mataku sudah tidak memiliki filter ya kenapa apa yang dilakuan oleh kak Alfa jadi terasa menyenangkan dan enak dipandang. Dan tiba-tiba saja, dadaku bergetar dengan genitnya.

"Kak," panggilku dengan penuh penekanan, dan kali ini aku menatapnya dengan tajam. Kalian tahu ekspresi yang dikeluarkan lelaki yang berstatus sebagai suamiku ini. Dia justru terkekeh dengan riangnya. Sungguh, ini membuatku semakin kesal.

"Baju itu mbak Yuni yang menyiapkan," jawab kak Alfa akhirnya, dia mungkin takut dengan wajahku yang mencoba tidak tersenyum. "Jangan diam saja, hal itu membuatku takut." Kak Alfa berjalan ke arahku dan dengan santainya menggeser posisi. Kini dia duduk di kursi stroberi dan aku ada di atas pangkuannya. Gila, aku memang sudah benar-benar tidak bisa diselamatkan karena dengan santai aku menyandarkan tubuhku di dadanya dan mengalungkan tanganku di tubuhnya. Ini adalah tempat ternyaman yang kurasakan saat ini. Dan rasanya aku tak ingin lagi berpindah tempat.

---

Sore yang cerah, ya secerah hati yang bisa menerima takdir. Sore ini aku dan kak Alfa sedang berjalan bersama menelusuri taman komplek perumahan. Rencananya tadi setelah shalat asar kami pergi berbelanja ke minimarket yang ada di gang sebelum masuk menggunakan sepeda. Kemudian karena melewati taman kami sepakat untuk berjalan-jalan sejenak.

"Kak," panggilku saat kak Alfa hanya diam saja sambil berjalan di bagian paving di tengah taman setelah tadi asyik bermain basket dengan anak-anak komplek.

Setia Di Hati (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang