Aku hanya ingin menjalani hidup ini dengan cara yang ku anggap benar. Jadi jangan iri dengan kehidupan ku, karena iri pada hal yang biasa itu sangat menyedihkan.
---
Aku masih merapikan beberapa berkas yang harus mulai kupelajari tentang seluk beluk perusahaan dan juga kehidupan pribadi pak Alfa, bukan privasi ya hanya kehidupan pribadi. Aku memiliki beberapa akses untuk itu sebab aku adalah asisten pribadinya, bukan sekertaris yang akan mengurus segala hal tentang pekerjaan.
"Kamu belum selesai, Al?" tanya Mbak Nur yang entah kapan tibanya sudah duduk di sampingku.
"Belum mbak, masih kurang berkas kesehatan. Ada yang bisa dibantu?" aku menoleh ke arah Mbak Nur yang duduk di meja sampingku.
"Sebenarnya ini butuh dicopy, tapi gak terburu-buru. Kamu selesaikan dulu tugas utama kamu."
"Baiklah, terima kasih." Aku kembali menilik komputer yang ada di hadapanku. Aku harus mencetak beberapa informasi kesehatan milik pak Alfa.
"Alfa ada di dalam?" tanya sebuah suara akan tetapi aku masih belum menoleh sebab yang diajak bicara sepertinya adalah mbak Nur.
"Ada, langsung masuk saja."
"Ini siapa?"
Aku menoleh karena penasaran dengan sosok yang langsung diminta masuk oleh mbak Nur padahal biasanya ditanyai lebih dulu keperluannya.
"Alya," panggil Aya yang berdiri tak jauh dari meja mbak Nur.
"Iya," jawabku dengan tenang.
"Kamu kerja di sini." Dia menunjuk mejaku lalu ke arah pintu ruangan pak Alfa.
"Iya," jawabku lagi.
"Dia asisten barunya pak Alfa," kata Mbak Nur.
"Oh, aku hanya penasaran saja. Bagaimana bisa seorang perempuan yang kaya sejak lahir bekerja untuk orang lain?" kata Aya cukup menusuk, akan tetapi aku tidak membalas sama sekali hanya diam dan tersenyum tipis meski di dalam hati tak bisa ku pungkiri bahwa aku sedang menggerutu.
"Nur, kamu harus benar-benar membimbing dia sebab dia tidak pernah diperintah oleh orang lain."
"Terima kasih atas perhatiannya," jawabku dengan lugas.
"Oh ya, kamu tidak perlu memesankan makanan untuk Alfa. Aku sudah membawakan makan siang," kata Aya lalu berjalan masuk ke dalam ruangan pak Alfa.
"Jangan diambil hati, Aya orangnya memang selalu mengatakan apa yang dipikirkan."
"Tidak masalah," jawabku dengan pelan.
"Kalian sudah makan siang?" tanya Pak Alfa yang tiba-tiba keluar dari ruangan.
"Belum pak," jawab Mbak Nur sebab aku hanya diam saja.
"Oh, kalau begitu jangan tinggalkan tempat semuanya kalian bergantian."
"Baik pak," jawab Mbak Nur karena lagi-lagi aku hanya diam, bukan maksud hati ingin berperilaku tidak sopan akan tetapi ini adalah salah satu sikap yang harus kulakukan supaya aku tidak mengeluarkan kalimat yang akan kusesali nantinya.
"Kamu sakit gigi?"
Aku menoleh ke arah Pak Alfa yang sedang menatapku dengan penuh arti. Sebentar, tadi pak Alfa tanya apa ya?
"Kamu tidak menjawab pertanyaan dari saya, kamu sakit gigi?"
"Oh tidak pak," jawabku dengan cepat.
"Jangan tinggalkan tempat, ingat."
"Baik pak," jawab kami berdua bersamaan.
"Oh iya, untuk laporan bagian agency desain dan Humas suruh semuanya berikan kepada Alya, sehingga tidak perlu yang lain langsung bertemu denganku. Kamu infokan ini Nur," kata Alfa yang kuperlihatkan terlihat berbeda, akan tetapi aku abai sebab itu tak menjadi prioritas utama pekerjaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setia Di Hati (Selesai)
Literatura Kobieca#MantanSeries Bila orang bilang hal yang paling berpengaruh itu adalah perpisahan tanpa pesan, maka aku tidak menyetujuinya. Sebab, bagiku yang paling mempengaruhi bukan perpisahan tanpa pesan akan tetapi pertemuan kembali setelah perpisahan tanpa p...