Flower: One

9.4K 891 11
                                    

Tubuhku nyaris terjungkal kebelakang saat rombongan gadis kurang kerjaan itu berlarian menuju lapangan futsal, aku yang hendak berjalan menuju perpustakaan ini, harus menyaksikan pemandangan memalukan kumpulan gadis puber menyenggolku dengan tidak manusiawi hanya untuk lebih cepat menuju kesana. Apa yang bisa dilihat disana?, bagaimana mungkin aku tidak tahu. Hari ini adalah hari itu, pertandingan futsal antara sekolah kami dengan sekolah tetangga, namun masalahnya aku sama sekali tidak berminat untuk melihatnya.
 
"Ra, lo mau kemana? Pertandingannya sebentar lagi" Sena yang entah muncul dari mana tiba-tiba menghadang jalanku.
 
Aku menghembuskan nafas pelan, "Gue mau ke perpus, kalau lo mau nonton ya nonton aja"
 
"Gue nggak mau nonton sendirian, pokoknya lo harus ikut gue"
Dengan otoriter, Sena menarik tanganku menuju lapangan futsal indoor. Aku benci situasi ini, disana pasti sangat ramai karena penuh dengan suporter tim tamu dan suporter tim sekolah kami. Aku sama sekali tidak suka keramaian.
 
Aku tahu kalau Sena berminat menonton bukan untuk mendukung sekolah kami, tapi ia ingin mendukung orang itu, tunangannya yang sangat ku benci, Erlangga Wicaksono.
 
"Untungnya gue udah booking dua kursi baris depan, kita bisa melihat Rangga lebih dekat lagi" Sena berucap dengan ceria, aku hanya diam saja tak berminat menanggapinya.
 
Beberapa menit kemudian, kedua tim memasuki lapangan. Sorakan penonton sangat keras dan membuat telingaku sakit, aku benar-benar benci situasi ini. Sena disebelahku sangat antusias ketika melihat Rangga dengan lambang kapten di lengannya, sial aku benci pemandangan ini Rangga sengaja mengacuhkan Sena yang sedang melambaikan tangan kearahnya. Terlebih suara tawa mengejek dari cewek-cewek penggemar Rangga terdengar di telingaku. Sialnya lagi, Rangga menatap jauh ke tribun paling belakang, menatap gadis cantik yang hanya diam menyaksikan pemandangan ini, gadis itu adalah Aira, orang yang paling Sena benci.
 
"Lo yang tenang Sen, gue nggak mau lo bertindak gegabah" Ucapku menenangkan, Sena mengangguk dengan enggan, karena kutahu jauh didalam lubuk hatinya itu, ia sangat membenci Aira, gadis miskin dari keluarga biasa itu.
 
Pertandingan akhirnya dimulai, kuakui kemampuan Rangga itu memang diatas rata-rata, dia lihai mengocek si kulit bundar dengan kakinya yang terlatih sejak kecil. Tak butuh waktu lama, gol pertama akhirnya disarangkan Rangga ke gawang lawan. Suporter kami bersorak senang, sedangkan aku bersikap acuh karena tak peduli dengan pertandingan ini.
 
Pertandingan ini berjalan seru, tim tamu tak kalah hebat dalam mengolah bola, namun pada akhirnya kemenangan tetap berada di pihak tim tuan rumah. Sena terlihat bahagia karena Rangga berhasil mencetak hattrick dan juga menjadi penentu kemenangan tim sekolah kami. Melihatnya sesenang itu aku justru merasa sedih karena mengingat sikap Rangga yang acuh pada Sena.
 
"Ra, gue mau ngasih hadiah buat Rangga karena berhasil menang, tapi hari ini eksul dance harus kumpul buat bahas bersiapan di pesta ulang tahun sekolah. Jadi gue minta tolong supaya lo yang ngasih hadiah ini ke Rangga"
 
Aku ternganga dengan permintaan Sena, melihat wajah Rangga saja aku muak, apalagi harus berbicara dengannya, aku rasa Sena sudah gila karena menyuruhku melakukan hal itu.
 
"Nggak, nggak mau, gue nggak sudi harus bertatap muka sama cowok angkuh sok kecakepan itu"
 
"Kali ini aja Ra, keburu Rangga pulang, oke"
 
Aku menghela nafas jengah, aku tak bisa menolak permintaan Sena, karena aku sangat menyayanginya.
 
"Oke, tapi ini yang terakhir, jangan pernah minta gue buat berurusan sama cowok itu lagi"
 
Sena menyerahkan hadiah berbungkus kertas kado biru itu padaku, dan langsung berlari menuju ruang ekskul dance. Aku menatap hadiah itu dan langsung berjalan menuju kelas Rangga, karena kutahu dia pasti ada disana.
 
Kelas 12 IPA 1, kelas Rangga, tempat dimana anak-anak pintar berada, aku juga tahu kalau Aira berada di kelas ini karena dia murid beasiswa. Dan pemandangan yang kutemui saat aku berada di depan pintu kelas ini adalah, Rangga yang sedang bermesraan dengan Aira. Inilah salah satu hal yang kubenci, melihat dua sejoli yaang dimabuk asmara itu.
 
Bagi orang lain cinta mereka tidaklah salah, bagi orang lain Sena adalah pemeran antagonis yang berusaha memisahkan dua cinta. Di novel romantis Rangga adalah pemeran utama pria yang dipaksa bertunangan dengan gadis kolongmerat sedangkan dia mencintai gadis cantik dari keluarga biasa. Di novel romantis aku adalah pemeran pembantu yang selalu berada di pihak pemeran antagonis. Namun aku tak peduli dengan semua itu, karena aku lebih menyayangi reputasi keluargaku, aku tak mau Rangga menghancurkan semuanya.
 
Seperti orang bodoh aku bersembunyi dibalik pintu hingga Aira keluar dari kelas, hanya ada Rangga di sana, inilah waktu yang tepat untuk menyerahkan hadiah dari Sena.
 
"Rangga" ucapku agak keras, Rangga menatapku yang sedang berjalan menghampirinya, lalu pandangannya beralih pada kotak hadiah yang ku bawa
 
"Raquelle, kenapa lo kesini?"
 
"Gue mau ngasih hadiah dari Sena, karena lo berhasil menang di pertandingan tadi"
 
Rangga menaikkan alisnya dan menatapku intens. "Dari Sena?, kalau begitu mendingan lo bawa balik hadiah itu, gue nggak mau menerimanya"
 
Pada akhirnya emosi yang sudah kutahan sejak tadi tumpah juga, aku kesal dengan sikapnya yang tidak seperti lelaki sejati.
 
"Oh jadi lo mau menerima hadiah dari cewek miskin itu, tapi nggak mau menerima hadiah dari tunangan lo sendiri?, dasar cowok nggak punya hati!" ucapku keras.
 
Dibentak seperti itu, Rangga justru tersenyum, membuatku semakin emosi dan marah. Bisa-bisanya dia tersenyum saat aku sedang emosi seperti ini.
 
"Lo nggak pernah berubah sejak dulu" ucapnya lembut, aku terkesiap mendengarnya, membuatku mengingat masa lalu kami yang tidak penting untuk diingat.
 
"Jangan bertingkah seolah-olah lo tahu tentang gue, kita nggak sedekat itu buat saling mengingatkan soal masa lalu, dan asal lo tahu ya Rangga, gue benar-benar benci dengan keputusan Kakek, yang memilih lo buat jadi tunangan Sena."
 
Rangga berjalan mendekatiku, membuatku mundur hingga menabrak meja dibelakangku, "Ya, pertungangan ini memang nggak seharusnya terjadi, bukan Sena yang seharusnya menjadi tunangan gue"
 
"Jadi harusnya Aira yang jadi tunangan lo gitu?" tanyaku sarkastik.
 
Rangga tidak menjawabnya dan mengambil hadiah Sena yang terjatuh, kurasa dia akhirnya mau menerimanya.
 
"Kali ini gue menerima hadiah ini, tapi bilangin ke Sena, jangan menyusahkan dirinya buat ngasih hadiah ke gue, gue nggak mau menerimanya lain kali"
 
"Terserah deh, gue nggak ada urusan sama masalah percintaan kalian bertiga, gue permisi" ucapku ketus, lalu berbaik pergi meninggalkan kelas ini.
 
Berurusan dengan Rangga hanya akan membawa mood buruk dalam hatiku, aku benar-benar membencinya.
 
***
 
Siapakah aku? Mungkin latar belakang diriku tidaklah terlalu penting untuk ditelusuri. Aku adalah Raquelle Ayudiya Harris, cucu pertama dari Rusdi Harris, salah satu kolongmerat ternama di negara ini. Ibuku berkewarganegaraan Jepang, seorang insinyur dengan ratusan hak paten yang dihormati baik di Jepang maupun di Indonesia. Sedangkan ayahku, putra sulung dari Rusdi Harris, pemilik perusahaan multinasional, Harris Coorporation. Kakekku mempunyai dua orang putra, yaitu ayahku dan ayah Sena. Namun ayah Sena sama sekali tidak tertarik dengan bisnis sehingga perusahaan sepenuhnya dikelola oleh ayahku.
 
Sejak kecil aku sudah terbiasa dengan pelajaran managemen bisnis, karena akulah orang yang akan mewarisi perusahaan kakek. Sena menolak dengan tegas ketika kakek memintanya untuk mengelola perusahaan bersama denganku, ia ingin menjadi designer internasional dengan ratusan karya yang dipamerkan di fashion week kota-kota besar. Sedangkan kakekku tidak memiliki cucu lelaki.
 
Maka dari itu kakek sangat berharap banyak padaku, meskipun aku wanita, aku tidak boleh bersikap cengeng dan manja. Aku harus punya sikap yang teguh dan hati sekuat baja, semua itu telah ditanamkan di otakku sejak kecil, membuatku tidak terlihat seperti perempuan pada umumnya.
 
Aku tidak boleh dekat dengan laki-laki, tidak boleh berpacaran, dan tidak boleh berteman dengan sembarang orang. Aku boleh menikah saat sudah menduduki posisi penting di perusahaan. Hidupku sepenuhnya di atur membuatku muak dengan hidupku sendiri.
 
Aku tahu semua aturan kakekku telah membuatku memiliki sifat seperti ini, angkuh, sinis dan sombong. Bagi keluarga Harris, harga diri adalah pondasi yang harus dipertahankan. Aku mudah tersinggung, dan cuek pada sekitarnya. Semua sifat jelek ini membuatku tidak punya banyak teman, namun aku tak mau ambil pusing karenanya.
 
Menjadi penonton dari cinta segitiga antara Rangga, Sena dan Aira, selalu membuatku muak. Terkadang aku ikut campur membantu Sena melakukan aksi jahatnya, itupun karena aku tak tahan mendengar rengekannya. Sejujurnya aku lebih memilih untuk tidak ikut campur dalam kisah itu.
 
"Cukup Sena!, Aku nggak mau melihat kamu menyakiti Aira lagi, apa kamu nggak bisa bersikap lebih dewasa?"
 
Aku terdiam mendengar Rangga memarahi Sena didepan umum, tanganku mengepal marah. Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena membela Sena yang jelas-jelas berbuat jahat hanya akan membuat orang lain memandangku dengan sinis.
 
"Kenapa sih kamu selalu membela cewek miskin itu? Apa kurangnya aku Rangga? Sejak kecil kita sudah dijodohkan, seharusnya kebersamaan kita sudah lebih dari cukup membuat kamu jatuh cinta padaku.
 
"Bagiku hanya Aira satu-satunya, kamu jangan berani bermimpi menjadi seseorang yang penting untukku, karena sekarang ataupun dulu sama saja, kamu tidak penting untukku"
 
Sial, aku tidak tahan lagi, pertengkaran mereka menjadi tontonan publik, karena posisinya yang berada di tengah lapangan outdoor. Aku hanya bisa diam, posisiku di kelas yang berada di lantai dua hanya bisa membuatku menonton lewat jendela. Terlebih aku sedang mengikuti kelas bahasa inggris bersama beberapa anak lainnya.
 
"Ra, lo nggak berniat menghentikan mereka? Sena sampai nangis loh" bisik teman sebangku ku Dira, yang juga sedang menonton mereka.
 
"Nggak, jika gue kesana maka semuanya akan kacau, bukan cuma ketinggalan kelas, tapi pandangan orang-orang akan lebih sinis ke gue. Sena harus belajar dewasa, gue nggak bisa selalu membela dia yang jelas-jelas salah. Kali ini gue akan diam saja"
 
Aku menghentikan obrolan ini saat ku lihat Miss Tania memandang kami dengan tajam, seolah menyuruh kami untuk diam dan menjaga ketenangan di kelas. Aku tahu, tidak ada yang berani menghentikan Rangga, karena orang tuanya adalah pemilik sekolah ini, para guru memilih pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi di luar. Aku mencuri pandang keluar kelas, dan ku lihat, pandangan Rangga mengarah kesini. Tatapan matanya seolah menantangku untuk menghentikannya. Ku balas tatapannya dengan sinis, dia pikir dia bisa memprofokasiku, aku bukanlah Sena yang mudah terprofokasi dengan hal remeh seperti ini. Aku punya cara dewasa untuk membalas orang yang sudah mengusik hidupku.
 
****

Flower in the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang