Suatu hari kau begitu sangat marah padaku. Hampir saja kau memaki diriku dengan kata yang tak berani di ucapkan oleh bibirmu. Matamu menatap tajam kepadaku. Tubuhmu gemetar menahan amarah. Kau begitu sangat marah. aku bisa melihatnya dari air mata yang tak sanggup kau bendung jatuh dipipimu. kau menatapku dengan bahasa diam yang tak mampu kuterjemahkan. Wajahmu tiba tiba begitu asing bagiku. Aku seperti seorang pendosa dimatamu.
Aku menatap matamu, dengan niat mencoba menenangkan.
Tapi, hampir saja tangan kananmu memberi bekas di wajahku. Namun entah kenapa kau menahannya dan berlari seperti sedang mengejar sesuatu yang tak bisa kau raih di pinggir senja. aku mengejarmu dan kita seperti sedang berlomba untuk meraih sesuatu.
Kau berlari menjauh dan aku berlari untuk mendekat. Aku sampai lupa berapa lama kita berlari saat itu. Yang ku tau kau memaksakan untuk berhenti. Aku tau kau masih kuat untuk berlari, tapi kau memilih berhenti karena tak ingin kita berdua seperti anak kecil. Aku menghampirimu, kau terlihat begitu kacau. Matamu memandang pekat yang sebentar lagi memenuhi langit. Aku berdiri di sampingmu. Tepat berada sejengkal dari tubuhmu berpijak.
Kita diam.
Lama, tanpa kata kata apapun.
Aku dapat merasakan bagaimana nafasmu yang belum teratur. Dan aku tak ingin mengganggu. Akhirnya kita sama memilih untuk diam. Aku lupa berapa lama kita saling menjaga kata. Akhirnya aku memilih untuk angkat bicara.
"Maafkan aku" kurasa itu kalimat pertama yang pantas aku pilih untuk mengakhiri diam. Lama setelah kalimat itu aku ucap kau juga tak ingin menyudahi diam. Kau memilih bisu.
"Maafkan aku"
kalimat itu aku ulangi, dan kaupun tetap memilih untuk diam. Kau seperti tak punya kata untuk membalasnya.Suasana hening.
Dan aku paham. Ini bukan pertama kalinya kau marah. Dan ini bukan pertama kalinya kau diam saat sedang merasa kacau. Aku mengenal mu.Akhirnya, Aku mengambil langkah untuk memecah keheningan. aku berdiri tepat di depanmu. Menatap matamu yang sedari tadi tak berhenti untuk mengeluarkan air mata, Menatap wajahmu yang pucat dan memerah, Menatap diammu yang seperti menahan dendam.
Kutatap matamu dalam. Ku coba untuk membaca apa yang ada disana selain amarah. Dan aku mendapati cinta disana. Kudekat tangan kananku menyentuh pipimu dan menghapus butir air mata yang jatuh.Tangan kiriku meraih tangan kirimu. lama aku menatapmu, dan air matamu juga tak lekang untuk berakhir.
"Maafkan aku, aku tak bermaksud membuat mu seperti ini. Aku tidak berniat untuk pergi darimu. Sudah berhentilah menangis. Aku tidak akan kemana mana. Aku akan tetap disini. Disampingmu. Kau tak perlu takut akan sendiri. aku disini. diamlah. maafkan aku"Tiba tiba kau memelukku. Erat begitu sangat erat hingga kurasa aku sedang menahan nafasku.
"Jangan pernah pergi. jangan pernah melakukan itu."
kalimat pertama akhirnya bebas dari bibirmu. kau menangis seperti anak kecil, bajuku sampai basah karena air matamu. dan begitulah dirimu saat sedang marah dan merasa aku sedang ingin pergi. selalu seperti itu.
Dan inilah yang kuingat darimu. Sepenggal cerita yang tak dapat kedetailkan kisahnya. kupikir kau lebih tau kenapa saat itu kau begitu marah mendapati diriku sedang ingin merencanakan pergi.Kau tau, hari itu aku paham kau takut akan kehilangan, namun pada akhirnya kau juga memilihnya.
Selamat mengingat. Rindu!.