37

729 27 1
                                    

Sehari sebelum malam pertunangan itu, Fisca tegaskan, "Aku gak cinta sama Kak arka. Kamu harus percaya itu. Aku lakuin ini semua cuma demi wasiat Papah."

Iya. Permintaan terakhir yang Papahnya katakan pada Bramantyo. Jika saja Papahnya hanya katakan ingin menikahkan Fisca dengan salah satu anak dari temannya itu. Maka tidak akan jadi masalah karena Fisca akan pilih Azka. Tapi Papahnya terlalu spesifik menyebutkan nama Arka untuk jadi suami Fisca.

"Terus menurut kamu, aku bisa liat Arka pasang cincin di jari kamu nanti?"

"Ka. Aku juga gak akan bisa senyum di depan orang banyak. Aku juga gak bisa lakuin ini."

Lalu jika memang tidak bisa. Bagaimana kalau,

"Ayo kita pergi. Kita cari orang buat nikahin kita. Aku punya tabungan yang cukup kok buat hidup kita kedepannya."

Tapi Fisca tidak merespon. Dia menunduk dalam diam.

"Aku .. aku gak bisa, Ka."

Detik itu juga langsung Azka lepas genggaman tangannya. Gak percaya aja gitu. Katanya cinta. Tapi kok gak mau di ajak kawin lari.

"Tolong kamu jangan salah paham. Ini gak semudah yang kita pikirin, Ka. Kita gak akan bisa lepas gitu aja dari orang tua kita. Kita masih kuliah. Kamu juga gak punya kerjaan. Kalau kita gabungin tabungan kita pun gak akan cukup, Ka. Aku masih mau kuliah dan lulus tepat waktu. Aku mohon. Setidaknya tunggu sampai.."

Bruk.

Fisca tersentak. Tubuhnya di dorong dengan kasar oleh Azka. "Aku gak bisa nunggu lebih lama. Dua tahun itu lama, Fis. Selama dua tahun itu. Kamu bisa aja jatuh cinta sama Arka dan ninggalin aku. Aku gak bisa!"

Keduanya mengatur nafas saat Arka hentikan ciumannya.

"Kalau kamu emang gak bisa kawin lari sama aku. Seenggaknya, rencana awal kita harus berhasil. Mereka, gak mungkin nentang kita kalau ada bayi disini."

Ya, begitulah seharusnya yang Azka inginkan. Tapi rencana hanyalah rencana. Sebab Azka sudah tidak mau lagi bertemu dengan Fisca. Baik di rumah, maupun di kampus.

"Sampe kapan kamu ngehindarin aku?"

Mereka berpapasan. Tapi Azka lewati Fisca begitu saja. Sejenak Azka hentikan langkah kakinya, dan sedetik kemudian ia kembali lanjutkan langkahnya.

"Aku ini manusia. Bukan setan yang gak bisa di lihat. Tapi kenapa aku kayak makhluk ghoib yang gak keliatan dan gak kedengeran sama mata dan telinga kamu?"

Padahal kelopak mata itu besar. Telinganya juga lebih lebar dari umumnya.

Azka tatap wanita yang mengoceh di hadapnya dengan tatapan yang datar.

Wanita yang menghadang langkahnya itu terlihat pucat tanpa riasan. Membuat Azka khawatir saja. Tapi gimana, Azka kecewa. Dia kelewat sakit hati sama Fisca. Tidak bisa ia lupakan kejadian di malam itu.

Azka cinta sama Fisca. Azka sudah terima segala kemanjaannya Fisca. Azka rela lakukan apa saja demi bisa bersama wanita itu. Tapi kenapa? Kenapa dia harus menerima Arka seperti itu.

"Ka, soal malam itu.."

"Sorry, gue buru buru. Gue ada kelas."

Deg.
Pria itu pergi begitu saja tanpa menatapnya. Apalagi bahasanya yang terlampau santai. Jujur itu menyakiti hatinya. Fisca tidak terima.

"Azka! Kenapa kamu pergi ninggalin aku gitu aja!"

Azka hentikan langkahnya.
Pergi? Siapa yang pergi?

"Yang pergi tuh aku atau kamu?" Kembali dia berbalik arah. "Kamu yang minta aku jangan pernah pergi. Tapi nyatanya kamu yang pergi dari aku. Kamu yang bilang kalau kamu satu satunya buat aku. Kenyataannya, kamu bagi badan kamu sama dia. Gitu, Fis?"

*** BAMBINO PICCOLO *** S-2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang