15

4.1K 205 6
                                    

Semilir angin siang hari menerpa wajahku seolah menggoda mempermainkan surai ku, inilah alasan mengapa aku senang berada di tempat ini, rasanya penuh ketenangan. Memang sejak dahulu ketika aku berada di rumah, tempat ini menjadi tempat terbaik untuk diam menyendiri sembari menikmati retisalya atau hanya sekedar mencari udara segar.



"Zil..... "



"Iya bu... " Ku alihkan pandangan ku kerah wanita berumur yang menjadi alasan ku ada di dunia ini. Beliau adalah ibu ku. Wanita yang selalu ada di balik layar perjalanan hidup ku hanya untuk sekedar memberi dukungan tanpa menuntut apa pun dari ku, katanya cukup aku bahagia, itu saja.



"Ngapain kamu di situ?"



"Oh..ini Bu lagi Kasih makan ikan, kenapa bu?" Tanyaku.



"Ini, ibu minta tolong, anterin makan siang buat ayah mu, soalnya ibu mau pengajian dulu di tempat bu Ratih"



Aku mengangguk kemudian mengambil alih rantang yang dibawa ibu. Sebenarnya pergi ke Sawah bukanlah hal yang buruk sebab sudah hampir satu tahun aku tidak pernah pergi ke sana lagi, hanya saja saat ini aku bingung akan pergi dengan siapa? Berjalan kaki tidak mungkin.



"Zaaaa.... Dezaaaa!" Panggil ku.



Namun yang kupanggil tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Ku buka pintu kamarnya perlahan, kulihat ternyata dia sedang tidur, enak sekali bukan hidupnya? sekolah membolos, pulang hanya tinggal makan, selesai makan tidur. Apa menjadi anak bontot sebebas itu?



"DEZAAAA...!! BANGUN GAK" Aku mengguncang tubuhnya, dan dia hanya menggeliat sekali kemudian menutupi telinganya menggunakan bantal.



"Za..... Bangun.... Anterin gue ke Sawah"



"Ahhhh.... Kak Izly berisik banget sih... Kalau mau ke bawah ya tinggal ke bawah.... Ke bawah mana sihhhh?" Gumamnya.



Beginilah sulitnya berkomunikasi dengan manusia bernyawa setengah, apa yang kita ucapkan akan berbeda dengan apa yang dia dengar.



"SAWAH..... DEZA.... ih budeg banget sih"



"Nih kunci motor nya, minta suami lo aja ngapa kak..... Sibuk banget gangguin orang lagi merajut mimpi" Ia melemparkan kunci sepeda motor yang ia ambil dari saku celana seragamnya.



"Za.... Gue maunya sama elo aja"



" Gue ngantuk kak..... Elo mau kita nyunuk ke empang? Enggak kan... Sama gue juga..."



"Zaaaa.... Deza.... " Aku menggoyangkan tubuhnya lagi, namun ia tak bergeming sedikit pun.



"Za.... Bangun Za.... Dezaaaa!"



"Ih... Kalau sama gue yang ada kita otw bawah kubur, paham gak sih, ngantuk nih"



"Melek lah, cuci muka terus anterin gue"



"punya suami kan? Suruh noh, punya suami kok dianggurin, gue tikung baru nangis lo"



Ingin rasanya aku menjambak rambutnya saat ini. Begitulah Deza, jika berbicara tidak pernah menggunakan filter. Terkadang aku merasa percuma punya adik tampan seperti dia, tetapi isi kepalanya hanyalah angin.



Akhirnya aku menyerah dan mencari Sam, ternyata pria itu saat ini tengah duduk sembari memainkan ponselnya. Aku menghampiri nya dan menyodorkan kunci motor Deza ke hadapannya . Dia hanya menatapku aneh. Seolah bertanya apa maksudnya?



"Anterin aku ke sawah, ayah belum makan siang" Ucapku.



Dia mengangguk kemudian menerima kunci motor yang kuserahkan tadi.

Pengantin Pengganti (Telah Tersedia Di PlayStore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang