Pria itu terbangun cepat-cepat saat alarm ponselnya berdering nyaring berkali-kali. Ia melangkah tergesa memasuki sebuah kamar tanpa ada jendela dan sinar matahari yang memasukinya.
Ia mengambil sebuah wadah berisi air hangat, waslap, serta satu setel pakaian khas pasien rumah sakit dari dalam lemari berpintu geser itu.
Sebelum melakukan tugas rutinnya untuk memandikan dan menggantikan baju sosok yang masih terbaring itu, ia melakukan pemeriksaan rutin menyeluruh pada sosok itu.
Mulai dari denyut nadi, mata, deru nafas, serta detak jantungnya yang masih berdetak dalam keadaan normal. Sama seperti hari-hari sebelumnya.
Ia tersenyum sejenak sebelum duduk di tepi kasur megah itu. Lalu ia menepuk pelan tangan itu, sampai akhirnya kedua kelopak mata sosok itu terbuka.
"Selamat pagi, tuan muda.."
Sosok itu balik tersenyum namun dengan wajah pucatnya yang seperti mayat.
"Kalau saja aku gak buta, udah aku tonjok Mas Ryan!"
"Maaf-maaf.." Kata pria itu terkekeh pelan. "Saya bantu ya..." Selanjutnya ia membantu sosok itu untuk melepas pakaiannya dan membasuh tubuhnya dengan waslap dan air hangat.
"Gimana cuaca hari ini, mas?"
"Semalaman hujan deras. Saya sempat khawatir kalau-kalau atap rumah ini akan terbang terbawa angin puting beliung."
"Mas Ryan lupa ya?" kata sosok itu sambil berusaha bangkit dan melepaskan celananya dengan bantuan pria berumur tiga puluhan tahun itu. "Jangankan angin yang gak ada apa-apanya, diledakkan pake bom juga rumah ini gak akan bisa hancur."
Ryan tersenyum saja mendengarnya. Inilah saat dimana jantungnya selalu berdegup kencang. Dan rasa gugup luar biasa itu kembali menyelimutinya.
Meski sudah dua tahun lebih dia merawat sosok remaja itu, namun tetap saja ia tak bisa mengusir 'rasa' itu.
Tangannya menggosok lembut bagian paha, selangkangan, yang kemudian berpindah ke arah bagian belakang tubuh remaja itu. Dia menelan ludah saat matanya menangkap dua bongkahan padat itu. Sangat putih, mulus, bersih, dan beraroma khas yang selalu membuat matanya tak berkedip melihat keindahan pantat milik sosok itu.
"Mas Ryan ---"
"Ya?" Ryan terkejut. Seperti biasanya.
"Beberapa malam yang lalu ---" remaja itu terdiam sejenak.
Ryan kini mengeringkan tubuh mulus remaja itu. Perlahan perasaannya itu mulai bisa ia kontrol. Setelahnya, ia bantu memakaikan baju dan celana pada sosok itu.
"Apa Mas Ryan gak kangen sama keluarga?"
Ryan kini merapihkan rambut hitam lurus remaja itu. Ia masih tak percaya, kalau sepasang mata jernih di hadapannya itu tidak bisa berfungsi normal seperti kedua mata miliknya.
"Untuk apa saya memikirkan orang yang sudah membuang dan melupakan saya?"
Ryan terkejut karena tiba-tiba saja remaja itu memeluknya erat sekali.
"Aku juga tidak tahu, apakah mereka masih memikirkanku saat ini atau tidak..." ucap pelan remaja itu.
Mulanya Ryan agak ragu untuk membelai kepala remaja kurus dan tidak lebih tinggi darinya itu. Namun akhirnya, ia beranikan dirinya dan ia hilangkan segala 'rasa' itu.
"Saat ini, yang bisa kulakukan cuma berdoa. Semoga saja Allah selalu melindungi mereka semua kapanpun dan dimanapun. Terutama sekali --- Mas Randi."
"Raka kangen sekali ya sama Mas Randi?" tanya Ryan.
Ekspresi wajah remaja itu berubah cemberut. Bibirnya di majukan, dan pipinya di gembungkan.
"Gak taulah, mas. Mungkin sekarang ini dia juga udah lupa sama adeknya sendiri. Huft..!"
$$$$$$
KAMU SEDANG MEMBACA
H.I.M 2
Teen FictionMereka tidak sadar kalau selama ini ia tidak pernah pergi jauh... Dia melakukannya karena dia cuma ingin melindungi orang-orang yang dicintai dan disayanginya... Namun masalah muncul semakin rumit, ketika ketiga orang itu datang untuk memperebutkan...