14

2.2K 201 2
                                    

Faro gugup sekali ketika pria itu memandangnya dengan tatapan menggelikan sekaligus menyelidik.

"Masih suka clubbing ya?"

Kepala Faro refleks menggeleng. "Berani sumpah deh!" Ucapnya.

Pria itu tersenyum, bukan hanya ke Faro. Tapi ke kedua pria yang duduk mengapit pemuda tampan itu.

"Hasilnya masih sama, Pak Malik -- Pak Ervan. Negatif." Ucap pria berjubah putih itu.

Kakek Malik jelas bernafas lega. Karena dari awal ia menerima berita mengejutkan itu ia tak percaya bahwa cucunya itu positif mengidap HIV.

"Kurangin rokok ya, Faro."

Faro cengar-cengir aja mendengarnya. Mana bisa dia mengurangi jatah rokoknya dalam sehari? Yang ada malah bisa-bisa mulutnya kerasa asem lagi.

"Terima kasih, Dokter Farhan. Saya akan selalu membawa Faro kesini untuk melakukan pemeriksaan rutin." Ujar Kakek Malik.

"Sama-sama, Pak Malik. Jangan sungkan untuk menemui saya kalau Faro menunjukkan gejala-gejala aneh."

Faro merasa kerongkongannya begitu kering. Seharusnya dia sudah merokok pagi ini. Tapi itu belum dilakukannya. Jatah permen yang diemutnya sejak berangkat tadi pun sama sekali gak bisa mengusir rasa aneh di mulutnya.

Ia berdiri di depan vending machine. Mungkin, meminum sesuatu yang manis bisa mengusir rasa tidak nyaman di mulutnya.

Tingg...!! Klotakk..!!

Faro membuka kaleng minuman soda. Sesekali tak apalah ia meminumnya. Toh sekaleng fanta yang dia minum sekarang, gak akan membuat perutnya membuncit seketika.

Deggghhh...!!

Jantung Faro berdegup kencang saat ia merasa bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikannya dari belakang.

Dia pun menoleh, dan melihat sesosok cowok kurus, berkulit putih pucat, yang sedang berdiri di depan vending machine dengan wajah bingung.

Faro tentu saja kenal dengan cowok itu. Cowok yang waktu itu meminta bantuannya untuk membelikan sekaleng minuman soda, karena cowok itu tidak mempunyai kartu emoney sebagai alat pembayarannya.

"Lohh, kirain udah pulang."

"Dokter Farhan?!" Mata Faro membulat. "Kebeneran banget. Ada yang mau aku omongin nih.."

"Kayaknya sesuatu yang sangat ---" Kalimat Farhan terputus saat matanya melihat sosok Daniel yang sedang membungkuk mengambil sekaleng pepsi dari mesin minuman itu. "Daniel ---"

"Daniel?? Daniel siapa sih, dok?!" Tanya Faro bingung.

"Selamat siang, Dokter Farhan.." Sosok itu menyapa dengan ramah sekali.

"Siang --" jawab Farhan pelan.

"Dokter ngeliat Dokter Ryan gak?"

"Dokter Ryan ya...?"

"Iya. Soalnya Dokter Ryan, dari kemarin tidak kelihatan."

"Dokter Ryan ---"

"Daniel, kok kamu itu bandel sekali ya...?"  Yang dibicarakan muncul. Dengan kemeja biru berlengan panjang, dan celana jeans, serta sepatu kets putih santai.

"Cuma satu kaleng aja kok, dok.."

"Hmmm..., baiklah. Tapi ingat ya --- sehari satu kaleng saja."

"Iya deh.."

Ryan merangkul Daniel dengan santainya. "Mari Dokter Farhan.."

Farhan masih diam mematung saat Ryan berlalu melewatinya.

"Dokter?! Haloo...!!"

"Ya?"

"Dokter kenapa? Kayak abis ngeliat setan aja..." Faro terkekeh.

Farhan menghela nafas pelan. "Tadi, apa yang ingin kamu bicarakan?"

"Gini dok ---" Faro bicara sambil berjalan. "Apa mungkin tes dna itu hasilnya bisa salah?"

"Tes DNA?" Dahi Farhan berkerut. Merasa bahwa omongan ini agaknya serius, jadi Farhan memutuskan untuk membawa Faro ke ruangannya.

"Kenapa kamu menanyakan hal itu?"

"Yaaa, pengen tau aja. Bisa gak, dok?"

"Kalau salah tidak mungkin. Tapi kalau tertukar atau direkayasa itu bisa saja."

Faro terdiam. Ia mencoba menalar lebih jauh. Otaknya boleh dipenuhi hal-hal mesum dan gak berguna. Tapi untuk masalah penting yang menyangkut keluarga dan orang paling 'spesial' di hatinya dia harus sepenuhnya serius!

"Tapi dok, emangnya bisa dokter atau perawat malsuin hasil tes gitu?"

"Kecil kemungkinan bisa. Tapi ---" Farhan memberikan secangkir lemon tea hangat pada pemuda itu. "Kalau sampai ketahuan direksi, hukumannya gak main-main."

Faro terdiam lagi. Kali ini wajahnya kelihatan berkali lipat seriusnya dibanding sebelumnya.

"Kamu kenapa, hmmm..? Kok tumben-tumbennya nanya soal begituan?"

Faro menatap tajam Farhan. Dia membasahi bibirnya dengan lidahnya, sebelum mulai bicara dengan dokter muda yang sudah dianggapnya sebagai teman curhat itu.

"Semalem aku abis 'fun', dok..!!"

Farhan kontan membelalak. "Kamu habis fun?! Kamu melakukannya lagi, Faro?!! Dengan siapa?!"

Faro bangun dari duduknya. "Aku ngelakuinnya karena aku penasaran, dok!"

"Penasaran bagaimana maksudnya?!"

"Yaaa --- mulai dari ciuman, aromanya badan, sensasinya, sampai pas aku masukkin ke lubang analnya --- semuanya itu kerasa be ---"

Cklek.

Farhan dan Faro sontak menoleh ke arah pintu. Keduanya benar-benar terkejut dan gak nyangka kalau sosok itu akan muncul di hadapan keduanya.

"Lagi ya...?!" Sosok itu yang tak lain Aryani langsung menjewer telinga Faro sampai merah banget. "Telepon Pak Malik sekarang, biar aku laporkan kalau cucunya ini sudah melanggar janjinya sendiri!"

"Ehhh..." Farhan malah bingung.

"Dokter Farhan!!" Suara Aryani makin meninggi.

"Baik-baik, saya akan ---"

"Aku ngelakuinnya karena aku curiga kalo orang itu adalah penipu!"

"Penipu? Penipu gimana?!" Aryani agak bingung. "Hmmmm, jangan-jangan kamu lagi cari alesan supaya gak diaduin ke Kakek Malik ya?!"

"Aku berani sumpah, dok!! Mangkanya tadi kan aku nanya ke Dokter Farhan, apa bisa hasil tes DNA itu salah..?"

"Bener, dok?!" Tanya Aryani kepada Farhan yang langsung dijawab dengan sebuah anggukkan pelan.

"Hhhaahh, alesan aja kamu!!"

"Dokter inget kan sama Azka?!"

"Azka yang ---"

"Iya, dia yang waktu itu tes dna di rumah sakit ini.."

Mata Aryani membulat. "Kamu melakukannya sama saudara tiri kamu itu?!"

"Aku ngelakuinnya karena aku penasaran, dokter!! Karena aku curiga kalo dia itu bukan Raka yang asli!!"

"Ra -- ka..." Aryani melepaskan jewerannya. Matanya dan mata Farhan bertemu sejenak. Nama itu langsung mengingatkannya pada rekan mereka yang masih terbaring lemah di apartemennya.

$$$$$$

H.I.M 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang