Chapter 10: Waste It On Me

798 116 9
                                    

Langit malam yang kelabu, bahkan tidak ada satu bintangpun yang bersedia bersinar di sana dan tidak ada bulan yang biasanya menggantung disana. Mungkinkah semesta juga merasakan bagaimana yang gadis itu rasakan? Gadis yang sekarang sibuk membolak balik tubuhnya di atas ranjang mencari sebuah kenyamanan yang mungkin akan mengalihkan perasaan kacaunya.

Ranjang empuk dan bantal-bantal lembut bahkan tidak bisa membuatnya terjatuh tertidur meski untuk barang sebentar, sekedar untuk melupakan peristiwa sehari lalu. Bukan tapi, beberapa jam lalu.

Lembaran kelabu itu sudah luruh dimakan waktu dan digantikan seberkas cahaya kebiruan dengan garis garis jingga di ufuk timur. Matahari sudah mulai mengintip dengan lidah-lidah apinya yang malu-malu menyebul dibalik tirai-tirai kamar gadis itu, membuat kamar lembabnya menghangat.

Gadis itu bangkit, usahanya untuk terlelap agaknya hanya usaha yang sia-sia. Matanya saja bisa terbuka dengan cerah meski perih diujung-ujungnya. Sepertinya dia tidak peduli, karena sekarang gadis itu sudah meraih sneakersnya dan cepat-cepat ia pakai.

Sebuah topi bisbol yang tertidur di atas nakas berhasil ia raih dan ditenggerkan di atas kepalanya. Ia berjalan dengan pelan, ini masih pukul 6 pagi, tentu dia tidak ingin membangunkan siapapun di rumah itu. Tidak untuk mengganggu kegiatannya setelah keluar dari rumah itu.

Ia meraih kenop pintu super besar yang membatasi dirinya dengan dunia luar. Dan sekarang pintu itu terbuka, gadis itu memang sengaja hanya membukanya sedikit cukup untuk tubuh rampingnya itu keluar dari rumah yang menjerat dirinya beberapa jam ini.

Gadis itu bisa merasakan, udara bersahabat menyambutnya. Bau hijau dari taman di depannya menyeruak membuat aroma terapi alami yang menenangkan. Tidak ingin terlalu lama, ia segera menyeberagi halaman luas dengan taman itu. Bunga-bunga itu tidak bisa menahannya disana untuk waktu yang lebih lama.

Langkah kakinya berayun santai, dan ia tidak menyesal meninggalkan taman dengan aroma terapi alami tadi. Sebuah permadani biru berayun di depannya terkena angin yang juga menerbangkan anak-anak rambutnya yang tidak terlindungi oleh topi bisbol yang ia kenakan.

Sekarang ia bisa melihat matahari itu lebih jelas, meski masih terlalu malu untuk tampil dan cukup hanya melongok diseberang lautan. Pantai Busan yang luas dan indah dengan lembaran pasir halus yang tidak berujung.

Gadis itu menutup matanya sambil menghirup udara segar disekitarnya banyak-banyak. Mengisi paru-parunya yang mengering dan membersihkan otaknya yang sudah penuh itu. Harapannya tidak banyak, ia hanya ingin menenangkan pikirannya. syukur-syukur setelah ia membuka matanya nanti ia akan menyadari bahwa semuannya adalah mimpi. Mimpi buruk.

"Udara disini sangat segar." Ucap seseorang yang membuat gadis itu buru-buru membuka matanya dan terkejut setelahnya. "sudah lama aku tidak menikmatinya." Seseorang di depannya masih meracau tentang sesuatu yang bahkan gadis itu tidak peduli.

Mata gadis itu berputar sekilas dan membuang mukanya dari sosok yang berdiri dihadapannya sambil menghadap ke pantai.

Tidak ada obrolan, tidak ada kata yang terucap dari bibir gadis itu. Tidak bahkan hanya untuk mengakui eksistensi soarang pria yang tadi berucap. Bukan tidak bisa, hanya saja ia sudah tidak peduli lagi.

Gadis itu memilih untuk berlalu, meninggalkan si pria yang sekarang tergelak menatap si gadis yang tidak menanggapinya.

"Jeongyeon, apa kau marah?" tanya pria itu tanpa jawaban, "Aku minta maaf, tapi aku juga tidak menghendakinya."

Jeongyeon, gadis itu hanya berjalan dalam diam, seakan tidak ada makluk apapun yang berada di sekitarnya. Niatnya untuk menenangkan diri agaknya sudah gagal karena pria itu, tapi ia terlalu lelah untuk berdebat atau sekedar mengusir pria itu untuk pergi dari sana.

She is a Pandora ^Jimin x Jeongyeon x Brian^ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang