Chapter 20: Promise

779 88 6
                                    


Brian mengusap kedua telapak tangannya yang hampir membeku. Sudah hampir tiga jam ia menunggu. Menunggu seorang gadis yang sepertinya belum akan datang dalam waktu dekat untuk berbagi kehangatan dengannya.

Bukan tanpa usaha agar gadis itu segera datang dan membunuh sepinya. Namun pesan yang ia kirimkan dan panggilan yang ia berikan hanya berbalas permintaan maaf. Tenang. Bukan penolakan yang teramat bosan Brian dengar. Hanya saja, gadis itu meminta maaf untuk datang terlambat.

Brian masih setia, seperti musim dingin yang setia menyergap tubuhnya. Ia tidak membenci musim dingin, tidak untuk rasa dinginnya, tidak untuk salju yang mengotori rambutnya, tidak pula untuk penantiannya.

Langit semakin kelam, begitu juga taman dimana ia menanti. Tidak ada seorangpun yang lewat untuk berbagi rasa dingin yang sedari tadi memonopoli suhu tubuhnya.

Namun bibirnya yang membiru itu masih bisa bergumam, "datang, tidak, datang, tidak" hingga ratusan kali dan mungkin tidak akan berhenti sampai gadis yang dinanti itu datang.

Brian mengayun ayunan yang ia duduki perlahan, masih bergumam. Angin dingin yang dihasilkan gerakannya berhasil menerbangkan anak-anak rambutnya, tidak hanya itu mungkin keyakinannya juga mulai terbang dibawanya. Keyakinan bahwa gadis itu akan datang, keyakinan bahwa ia bisa berbicara apa yang selama ini ia pendam, dan mungkin jika ia beruntung ia bisa mengatakan bahwa ia merindukannya.

Namun seiring bergugurannya salju dari langit, beguguran pula keyakinannya. Mungkin gadis itu tidak datang, tidak akan pernah datang menemuinya.

Brian sudah hampir putus asa, saat tiba-tiba seseorang menarik tali ayunan yang ia duduki. Untuk beberapa detik nafasnya tercekat oleh keterkejutan, namun dengan sigap ia meloncat dari ayunannya untuk menghindari sesuatu yang tidak ia inginkan.

Sempat ia memekikkan nama Jeong lirih. Siapa tahu gadis itu yang mengusilinya, namun sebuah tawa meledak. Tawa yang sangat ia kenal, tapi ia tahu itu bukan milik Jeong.

"3:1 (tiga-satu)." Pekiknya disela tawanya yang tidak kunjung surut. "Aku memergoki orang gila, yang bermain ayunan di malam sedingin ini."

"Kau yang gila!" Balas Brian kesal, mengetahui siapa yang berkelakar malam-malam ditengah suasana hatinya yang buruk. Gadis itu menarik nafas menghentikan tawanya, namun tidak begitu memperhatikan wajah Brian yang kesal, justru ia menghampiri ayunan yang tadi Brian duduki lalu duduk disana.

"Siapa yang kau tunggu selarut ini?" tanyanya sambil sedikit mengayun ayunannya.

"Bukan urusanmu." ketus Brian masih syok karena ulah gadis itu. "Kau sendiri ngapain malam-malam berkeliaran dilingkungan orang?"

Gadis itu terkekeh mendengar ucapan kesal Brian. "Aku tinggal di sini." Ucapnya tenang mengayun ayunannya lebih tinggi. Sedangkan Brian hanya menatapnya heran.

"Dimana?" tanya Brian dengan satu alisnya naik meragukan ucapan gadis itu, "sejak kapan kau tinggal disini?"

"Di apartemen Sunmi unnie." Jawabnya enteng pada Brian yang masih keheranan dengan gadis aneh itu. "Di pesta kemarin unnie memintaku menemaninya. Dari pada aku tinggal di hotel, lebih baik di apartemennya yang gratis." Ia terkekeh setelahnya.

Brian menghela nafas, melihat tingkah gadis itu yang terlampau santai. Sebenarnya Brian memiliki sifat yang tidak jauh berbeda, bahkan ia sering disebut sebagai orang yang tidak memiliki aturan alias hanya hidup seperti apa yang ia inginkan. Hanya saja, beberapa hari ini ia dibuat kacau oleh seseorang.

"Ohh, senang sekali mendapat tempat tinggal gratis." Cibir Brian menurunkan intensitas suaranya. "Seharusnya dia tidak sebaik itu pada gadis sepertimu." Brian meraih satu ayunan yang kosong disamping gadis itu kemudian duduk disana.

She is a Pandora ^Jimin x Jeongyeon x Brian^ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang