[49] Give up?

18.1K 2.2K 174
                                        

Jika hatimu ingin menyerah,
ingatlah semua alasan yang mampu membuatmu bertahan hingga saat ini.

.
.
.
.
.
.


"Maksud dari perkataan lo barusan apa hah? urusan apa yang udah selesai?" Gue menoleh ke arah orang yang baru aja masuk ke dalam rumah, sekarang orang itu berdiri tepat di depan Kak Fariz.

"Kak Bhaga" gumam Gue yang kemudian saling beradu tatap sama Zahra. Orang yang daritadi diam seribu bahasa saat percakapan gue dan Kak Fariz sedang berlangsung.

Zahra menepuk jidatnya."Mampus! bakalan seru nih"

Kak Fariz terlihat menatap Kak Bhaga dengan tatapan yang sinis. "Urusan saya sama dia udah selesai, kalo kamu suka ama dia. Yaudah sana"

Jleb!
Mendengar ucapan Kak Fariz, hati gue benar-benar udah sakit banget dan tanpa gue sadari bersamaan dengan hal itu air mata yang tadinya udah gue lap, langsung turun dengan sangat derasnya. Dia udah sukses buat gue jatuh-sejatuhnya, ibarat kata pepatah udah jatuh, tertimpa tangga pula.

Kak Bhaga melirik sebentar ke arah gue yang sedang meratapi nasib, kemudian beralih menatap Kak Fariz. "Lo masih belum paham juga perasaan dia selama ini hah? ckckck, ternyata lo emang cowok terbodoh yang pernah gue temuin"

"Saya udah coba untuk tanya ke dia, tapi apa? dia hanya diam. Jadi saya anggap itu udah menjawab semua pertanyaan saya" Kak Fariz masih terlihat santai menghadapi Kak Bhaga.

BUGH! BUGH! BUGH!
Tiga pukulan dari Kak Bhaga berhasil mendarat di pipi Kak Fariz hingga membuatnya tersungkur ke lantai.

Melihat hal itu Gue ama Zahra berlari ke arah mereka berdua untuk melerai perkelahian.

Setibanya di tempat, Zahra menahan Kak Bhaga sementara gue langsung membantu Kak Fariz untuk berdiri.

Entah kenapa walaupun perasaan gue udah hancur banget, dia tetap aja menjadi orang yang pertama kali gue tolongin.

"Kak Fariz kenapa diam aja dipukulin kayak tadi? kenapa ga ngelawan hah?" ucap gue dengan tatapan khawatir.

Kak Fariz hanya diam tak membuka suara, seraya mengelus pelan bekas pukulan Kak Bhaga yang tertempel di pipinya.

"LO LIAT KAN BANGSAT? BAHKAN DISAAT LO UDAH NYAKITIN DIA, DIA MALAH NGEBELAIN DAN NOLONGIN LO" teriak Kak Bhaga sambil menunjuk Kak Fariz, sementara Zahra, ia terlihat mengerahkan semua tenaganya untuk menahan Kak Bhaga yang begitu emosi.

"Tau gak perasaan aku selama ini? paham gak kenapa aku diam? ngerti gak gimana perjuangan aku agar bisa terlihat dimata Kak Fariz? nggak kan? jujur dari awal aku sama sekali ga masalah, kalo emang alasan kakak ngekhitbah aku cuma karena kebahagiaan Ibu doang. Sebenarnya, disini aku cuman pengen tau gimana perasaan kakak, tapi nyatanya? Kak Fariz cuma ngasih alasan bukan perasaan" ujar gue yang tengah mengeluarkan semua hal yang dari dulu telah gue pendam.

"Bisa gak sih seorang pasangan melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius tanpa sebuah perasaan? jawabannya iya, bisa aja sebuah hubungan yang tidak dilandaskan dengan perasaan bersatu dalam sebuah ikatan. Akan tetapi, ga menutup kemungkinan hubungan itu juga akan mengalami keretakan yang berujung pada kata perpisahan"

"Takut aja gitu, kalo udah nunggu bertahun-tahun terus dipersatukan dalam sebuah ikatan, tapi ujung-ujungnya harus pisah. Untuk apa coba?"

Semua tatapan tertuju ke gue, ga ada seorangpun yang membalas ucapan itu, bahkan Zahra yang biasanya sering asal bunyi kini hanya terdiam.

"Sekarang gue minta lo tanggapin omongan Sheila barusan" Kak Bhaga menatap ke arah Kak Fariz.

Untuk kesekian kali Kak Fariz lebih memilih diam seolah tak mau menanggapi omongan gue.

Rasa dan HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang