"Sheila, sebentar lagi Fariz akan kesini untuk kedua kalinya. Papa harap kamu ga buat masalah apapun lagi" tegas Papa dengan muka ketus.
"Siapa yang buat masalah sih? aku kan cuma nanya perasaan dia doang" sahut gue membela diri.
"Kenapa sih dipikiran kamu itu hanya ada perasaan perasaan dan perasaan, harus dijelasin berapa kali lagi sih biar kamu ngerti? ga perlu mastiin perasaan Fariz lagi. Sekalipun dia nggak punya perasaan sama kamu, kalo kalian udah sah menjadi suami istri, Toh, lama-kelamaan perasaan itu akan tumbuh dengan sendirinya"
Terserah deh, mau gimanapun gue keluarin kata-kata untuk membela diri sendiri, pasti ga akan ada satupun dari omongan itu yang bisa ngebantah Papa.
"Ciee...yang bentar lagi akan dilamar doi" ledek Nala, anak dari Om Yusuf saudara Papa, Nala ini lebih tua setahun dari gue.
"Om ga nyangka kamu udah mau nyusul Nala aja ke pelaminan" timpal Om Yusuf dengan tersenyum meledek.
Bingung sih gue, hari ini suasana rumah beda banget dari sebelum-sebelumnya, yang tadinya gue pikir acara khitbah malam ini akan sepi seperti malam kemarin, kali ini justru terlihat sedikit rame dikarenakan saudara papa dan saudara mama ikut hadir.
Kalo boleh jujur, malas banget terlibat lagi dalam acara ini sumpah, wich is gue udah tau kalo Kak Fariz ngelakuin semuanya untuk kebahagiaan keluarga doang, jadi gimana bisa senang coba?
"Keluarga Fariz udah datang tuh, sekarang mereka lagi pada ngobrol ama bokap-nyokap lo di ruang tamu" ujar Zaina, sepupu gue dari keluarga mama.
Peduli apa gue? andai aja malam ini gue dikasih hak untuk memilih, gue akan milih buat ga ketemu Kak Fariz sampai acara pernikahannya berlangsung, karena jujur hati gue jadi malas pusing seketika sama hal yang berkaitan dengan dia.
"Liat Zahra nggak?" tanya gue yang ga melihat keberadaan Zahra daritadi.
"Zahra di ruang tamu"
"Sheila, ayo temuin Fariz nak" panggil mama yang baru aja ke ruang tengah.
'Pokoknya gue ga boleh bodoh lagi kayak malam itu, kalo Kak Fariz dingin gue harus lebih dingin. Liat aja!' batin gue seraya berjalan mengikuti langkah mama.
Setibanya di ruang tamu, suasananya terlihat begitu ramai, bahkan yang dulunya Kak Fariz hanya membawa Ibu Aisyah aja, sekarang semua keluarga di bawa ama dia deh kayaknya.
"Ini calon Fariz?"
"MashaaAllah, cantik sekali calon mu Riz!"
"Fariz kalo milih calon emang pinter banget"
Kira-kira seperti itulah pujian dari keluarga Kak Fariz yang gue dengar sebelum duduk di samping Zahra, tapi ga satupun pujian yang mereka berikan buat gue seneng. Karena di hati gue cuma ada pikiran bahwa Kak Fariz sama sekali ngelakuin ini hanya untuk kebahahagiaan semua keluarga, bukan kemauan sendiri.
Mendengar pujian itu dia hanya memberikan senyuman bahagia, padahal dari yang gue tangkap senyum yang dia keluarin bener-bener palsu.
"Kamu Sheila ya?" tanya seorang cewek yang duduk tepat disamping Ibu Aisyah.
"Iya" jawab gue singkat.
"Kenalin aku Thifa. Kakaknya Fariz"
Oh, jadi ini Kakaknya Kak Fariz.
Mendengar hal itu gue cuma bisa tersenyum ringan, abisnya ga tau lagi harus ngomong apa.
"Oke, karena tadi kita udah serah terima hantarannya, kalo begitu sekarang kita akan menuju pada acara penutupan lamaran, setelah itu semuanya dipersilahkan menikmati hidangan" ujar Kak Royyan, yang diperintahkan sama papa untuk meg-handle semua malam ini..
"Woi, kalo tau udah penutupan, ngapain gue kesini coba" bisik gue ke telinga Zahra dengan sepelan-pelannya.
"Sebenarnya lo aman-aman aja sih tadi kalo ga mau keluar, terus juga jawaban dari pihak perempuan udah diwakilin ama gue, tapi keluarganya Kak Fariz pengen banget ngeliat lo" balas Zahra yang ikut mengecilkan volume suaranya.
Gue memangut-mangutkan kepala."Oh gituuu...jadi hari pernikahannya kapan?"
"Karena bokap lo bakal balik Singapur 3 hari lagi, acaranya akan dilaksanakan besok lusa"
"Secepat itu?"
"Iya, semua keperluannya udah diurusin sama keluarga Kak Fariz dan bokap lo"
Gue mengangguk paham.
Setelah penutupan pelamaran selesai, semuanya pun sibuk dengan aktivitas masing-masing, ada yang menikmati hidangan, ada juga yang saling bercengkrama satu sama lain.
Sementara gue? gue sibuk memberi tatapan intens ke arah Kak Fariz yang lagi ngobrol sama Kak Royyan.
'Ya Allah, ganteng banget dia malam ini' gumam gue seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Zahra menyenggol lengan gue."Zina mata"
"Astaghfirullah" ucap gue sambil menepuk jidat.
"Sheila sayangg" tegur Ibu Aisyah sembari duduk di samping kiri gue.
"Eh Ibuu" sapa gue sembari mencium tangan Ibu Kak Fariz.
"Ibu itu senang banget malam ini, karena proses lamarannya berjalan dengan lancar"
"Iya"
"Haii calon adik ipar, pokoknya mulai sekarang kalo kamu ada masalah atau Fariz nyakitin kamu, ngomong aja ke aku" sapa Kak Thifa yang baru aja menghampiri gue.
"Kak Thifa harus tau satu cerita tentang calon adik ipar kakak ini, dia itu punya cerita secret admirer selama bertahun-tahun loh ama Kak Fariz" sahut Zahra mantap.
"Pengagum rahasia? Wah....Sheila, kamu harus cerita sama aku secepatnya" lanjut Kak Thifa.
Gue terkekeh pelan."Atur aja waktunya"
"Siap" Kak Thifa mengacungkan kedua jempolnya.
"Aliyah mana ya?" Gue mencari keberadaan adik Kak Fariz yang dulu sempat gue kira istrinya.
"Dia itu sibuk banget, tapi tenang aja di acara pernikahan dia pasti dateng kok" ujar Ibu Aisyah.
"Bu, Fariz mau ngomong ama Sheila" sosor Kak Fariz secara tiba-tiba.
Degh!
Mampus, mau ngomong apa coba!"Yaudah, ibu juga mau ke mamanya Sheila, yuk Thifa ikut ibu, biar Zahra yang nemenin mereka berdua" ucap Ibu seraya meninggalkan ruang tamu disusul anggukan Kak Thifa.
Tersisalah Gue, Zahra dan Kak Fariz dengan suasana hening.
"Kalo mau ngomong yang pedes-pedes mending jangan dulu deh, soalnya lagi ga pengen denger" tegas gue tanpa melihat ke arah Kak Fariz.
"Saya hanya mau berterima kasih, karena udah buat ibu saya sebahagia ini"
"Oh" singkat gue.
"Satu lagi, gausah berharap terlalu banyak untuk dapat perasaan dari saya"
"Tenang aja, kalo masalah itu saya udah pasrah banget kok, situ mau punya perasaan sama saya terserah, ga punya juga saya ga peduli"
"Bagus"
Huft, ngomong ama dia harus banyak-banyakin sabar euy.
"Udah kan ngomongnya? saya mau ke kamar, sampai ketemu dua hari kedepan" pungkas gue yang langsung bergegas meninggalkan Kak Fariz di ruang tamu.
"Sampai ketemu" ucap Kak Fariz yang masih sempat gue dengar sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu.
Bukannya sakit hati, gue malah merasa tertantang setiap kali mendengar Kak Fariz berbicara. Sepertinya, gue sudah terlatih patah hati. Jadi mau disakiti bagaimanapun sama dia lewat kata-kata pedasnya, gue sudah malas pusing.
-
-
-
-
-
-
-[a/n]
Ambyar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa dan Harapan
Teen Fiction[SUDAH TERBIT & PART MASIH LENGKAP] *** Apa hal yang bisa membuat kamu menjadi seorang pengagum rahasia? Apa alasan kamu bisa bertahan dalam kurun waktu yang lama? Atau apa yang bisa membuatmu menjadi sosok yang bisa dibilang tahan banting? Apa yang...