Kebohongan dan Pengakuan

604 85 14
                                    

Terima Kasih pada lilin lavender dan bubble bom yang dibawa Bona, malam tadi Irene bisa tidur lebih awal, dan memiliki tidur yang berkualitas. Sangat berkualitas malah, terbukti saat ini perempuan itu tengah sibuk mem-briefing Bona.

" Nenek Im adalah seorang yang sangat tangguh, suaminya meninggal di saat mereka berjuang untuk membangun kembali usaha mereka. Dia sangat menyukai perempuan yang mandiri dan penuh dedikasi. Aku yakin kau bisa menaklukannya"  ucap Irene masih fokus menyetir.

" Seperti yang aku katakan tadi, jadilah dirimu sendiri. Kau kan pandai berkonfrontasi"

" itu berkat eonni" balas Bona lalu tersenyum lebar.

" Sepertinya nenek Im memang sangat kaya, lihatlah dia seperti memiliki pantai itu untuk dirinya sendiri" ucap Bona ketika melihat sebuah rumah besar yang tepat berada di atas sebuah tebing landai yang di bawahnya terdapat pantai pasir putih yang indah.

" Asal kau tahu saja, ia juga punya sungai di dalam rumahnya" ucap Irene.

" Jinjja?" tanya Bona yang dibalas anggukan oleh Irene.

Mobil mereka berhenti tepat di pintu gerbang depan kediaman nenek Im. Bona merapikan beret dan make upnya.

" Aku akan menunggumu di sana" ucap Irene menunjuk ke arah pantai berbatu di sebelah selatan mereka memarkirkan mobil.

" baikalah, fighting!!" ucap Bona menyemangati diri sendiri.

" Kau pasti bisa" ucap Irene memberi semangat pada Bona.

Bona menekan bel rumah nenek Im sementara Irene masih mengawasinya, Bona masuk ke dalam rumah dan barulah Irene berjalan menuju pantai.

Udara masih cukup segar karena ini masih pagi. Irene terlalu malas untuk ke area pantai berpasir, ia terlalu sayang pada sepatu Gucci yang ia kenakan. Dia memilih untuk duduk menunggu di atas bebatuan di tepi laut. Baru sepuluh menit duduk di sana, perempuan itu sudah mulai bosan, ia memutuskan untuk melepas sepatunya dan berjalan di atas pasir pantai. Ia berjalan sembari memotret pemandangan lautan dengan ponselnya. Terlalu semangat ia meletakan sepatu yang ia teteng dan sling bagnya di atas pasir. Mungkin sudah lebih dari puluhan jepretan foto yang ia ambil.

Irene duduk di atas pasir pantai, melihat foto-foto yang baru saja ia ambil; ia menoleh ke belakang ketika mendengar suara orang-orang berbicara. Dengan cepat ia berbalik ketika tahu siapa yang ada di belakangnya. Dirinya menggerutu, dari semua tempat di Jeju kenapa kebetulan sekali ia harus menginap di hotel yang sama dan mendatangi pantai yang sama. Ia tak mempermasalahkannya, hanya saja terlalu canggung karena semuanya serba kebetulan.

Irene berpura-pura memainkan ponselnya sementara tiga pria itu berjalan ke arah laut, mereka bertiga melewati Irene begitu saja. Dengan cepat Irene mengambil sepatu dan tasnya kemudian berlari menuju area parkir mobil. Dua dari tiga pria itu menatap aneh tingkah lakunya.

Irene masuk ke dalam mobil, ia bergumam mempertanyakan alasan dia melarikan diri. Bona membuka pintu mobil dengan ekspresi wajah tak terbaca.

" Bagaimana? Nenek Lim setuju?"

" Entahlah, dia justru memawancaraiku soal pelabrakan itu"

" sepertinya hasilnya seperti yang kita harapkan" balas Irene.

" Kenapa bisa begitu?"

" Orang tidak akan peduli dengan urusan pribadi seseorang, jika orang itu tidak tertarik. Paham?"

" Tapi manusia zaman sekarang justru terlalu  ingin tahu dengan urusan pribadi seseorang dibanding prestasi atau pencapaian seseorang" balas Bona.

" Kau lihat dulu seperti apa Nenek Lim, dibalik caramu menghadapi tekanan dari konflikmu dengan ayahmu. Beliau bisa melihat potensi dan kekuatanmu"

Gangnam Avenue 9Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang