Swansea, Musim Gugur 2009
Adrea menggigit ujung bibirnya sambil sesekali menghela napas. Dinginnya Swansea ternyata tidak bisa menenangkan debaran jantungnya yang sejak tadi berdetak tidak beraturan. Sudah beberapa minggu berlalu sejak ia mendengar kabar bahwa ibu Levant Stone meninggal dunia. Sebenarnya ia ingin pergi untuk menyampaikan belasungkawa lebih awal, namun karena padatnya jadwal di St. Claire serta flu yang tiba-tiba menyerangnya selama hampir dua minggu penuh, akhirnya ia mengurungkan niatnya. Selain itu, Adrea paham bahwa Levant Stone pasti butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya. Bagaimanapun, Cassandra Stone adalah ibu kandungnya.
"Aku rasa ini tempatnya," kata Tyra sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Matanya menunjuk ke arah rumah dua lantai bercat krem di depan mereka. Ia berjalan memasuki halaman rumah tersebut lalu berhenti di depan pintu. Ditekannya bel yang ada di sebelah kiri pintu. "Semoga benar."
Tidak lama setelah bunyi bel tersebut berakhir, terdengar suara langkah kaki yang berjalan ke arah pintu lalu memutar kenopnya. "Untuk seseorang yang belum pernah menginjakkan kaki di Swansea, kalian cukup hebat bisa sampai ke sini."
"Hanya aku yang belum pernah ke sini, kalau dia sudah sering." Tyra menunjuk Adrea yang sedang berdiri di belakangnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan. "Keluarga ibunya tinggal di kota ini."
"Em-hm, I see." Elio Turner mengangguk paham. Ia membuka pintu lebih lebar lalu mempersilakan kedua gadis itu masuk ke dalam. "Masuklah, kita bicara di dalam saja."
Adrea melepas jaket lalu menggantungkannya di dekat pintu. Matanya menyapu sekeliling rumah perlahan. Dilihatnya ada beberapa lukisan di kanvas berukuran kecil yang di pajang di dinding. Pandangannya berhenti pada satu lukisan yang berada di ujung ruangan. Sebuah matahari di langit malam yang penuh bintang.
"Itu lukisan terakhirnya," kata Elio Turner tiba-tiba, menyela lamunan Adrea. Ia membawa dua buah cangkir berisi chamomile tea lalu duduk sambil tersenyum ke arah gadis itu. "Duduklah."
Tyra mengambil cangkir berisi teh di depannya lalu menghirup aromanya. "Lukisan terakhir dari siapa maksudmu?"
"Levant Stone," jawab Elio Turner. Dipandangnya kedua gadis yang gerakannya tiba-tiba berhenti itu sambil tertawa. "Kalian pasti tidak menyangka, bukan? Si Ronaldinho itu ternyata suka melukis. Awalnya kukira dengan pindah ke St. Claire dia akan kembali melukis, ternyata hatinya belum benar-benar terobati dan akhirnya ia memilih sepak bola. Walaupun harus kuakui, dia adalah pemain sepak bola yang hebat, sampai-sampai membuatku kesal."
Adrea meletakkan cangkirnya yang dipegangnya ke atas meja. "Ceritakan dengan lengkap."
Elio Turner menarik napasnya dalam-dalam lalu menghelanya perlahan. "Sebenarnya, Levant Stone itu adalah anak yang ceria, kau tahu? Bahkan jauh lebih ceria dariku. Mudah berteman dengan siapa saja. Dia sering disebut sebagai pied piper karena selalu membuat anak-anak seumurannya mengikuti kemana pun ia pergi."
"Ada satu hal yang paling disukainya, yaitu melukis. Melukis apa saja yang membuatnya bahagia. Sampai suatu ketika, kau tahu, ibunya berubah dan mulai melarangnya melukis lagi. Hampir semua lukisan milik Levant Stone dibakar oleh ibunya. Bahkan jika ia ketahuan diam-diam menyimpan kanvas yang masih baru, ibunya akan langsung mengoyaknya dengan pisau. Kejadian itu benar-benar membekas di hatinya, aku rasa," jelas Elio Turner. Sesekali dipandangnya kedua gadis di depannya, terutama Adrea Aide. Ia ingin memastikan bahwa tidak ada kata-katanya yang membuat gadis itu sedih.
"Saat pertama kali tiba di London, ia sama sekali tidak mau berbicara padaku. Tetapi, bukan Elio Turner namanya kalau menerima dirinya diabaikan oleh bocah seperti Levant Stone. Aku selalu menempel padanya, mengajaknya berjalan-jalan, membelikannya makanan dan mengajaknya bermain sepak bola. Siapa sangka akhirnya dia jadi sehebat itu, padahal akulah yang mengajarinya dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Sun
RomanceMatanya menatap gadis itu dalam-dalam. "Bisakah aku memberikan sedikit saja kebahagiaan bagi orang lain?" Bisu. Tidak ada balasan. Tersenyum, dia mengecup kening gadis itu dan mendekapnya erat-erat. "Pergilah. Aku tidak akan pernah mencarimu lagi, A...