The process of healing does not end when the wounds are no longer visible. It ends when the wounds are no longer ache. - Unknown
---
Cardiff, Musim Dingin 2015
"Baik. Terima kasih, Mrs. Wanda. Em-hm. Baik. Sampai jumpa besok."
Adrea meletakkan ponselnya di atas nakas lalu berjalan keluar kamar sambil memijit-mijit kepalanya. Perlahan ia menuruni tangga sambil memperhatikan satu per satu anak tangga yang dipijaknya. Begitu sampai di bawah, kakinya langsung membawa raganya ke ruang keluarga. Ia menyalakan televisi lalu menghempaskan badannya ke sofa. Gadis itu tetap dalam posisi seperti itu selama beberapa saat sampai ia mendengar suara kakak laki-lakinya dari arah tangga.
"Kau tidak bersiap-siap untuk kerja?" tanya Alan yang baru turun dari lantai dua. Dilihatnya jam yang menggantung di dinding. "Sudah hampir pukul sepuluh, kau tahu?"
Adrea menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku sudah izin pada Mrs. Wanda untuk tidak hadir hari ini. Kepalaku sakit sekali."
Alan memperhatikan Adrea sebentar, tidak biasanya adik perempuannya itu izin untuk tidak bekerja hanya karena sakit kepala. Paham sesuatu telah terjadi pada adiknya itu, ia mengangguk lalu lanjut berjalan ke arah dapur.
"Mau kubuatkan susu?" tanya Alan sambil mengeluarkan sekotak susu vanila dari dalam lemari pendingin.
"Em-hm. Jika kau tidak keberatan. Terima kasih."
Alan mengangguk lagi lalu meletakkan susu kotak tadi ke atas meja. Saat ia sedang berjalan ke pantry untuk mengambil gelas, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Sepertinya tadi ada yang meneleponmu. Ponselmy sempat berdering cukup lama saat aku melewati kamarmu tadi," kata Alan Aide lalu berjalan lagi.
Menimbang-nimbang kemungkinan kalau yang meneleponnya itu adalah Mrs. Wanda, Adrea langsung bangkit dari sofa dan berjalan ke tangga.
"Letakkan saja bagianku nanti di atas meja. Aku ke atas sebentar," kata Adrea lalu setengah berlari menaiki tangga.
Adrea membuka ponsel lipatnya untuk melihat siapa yang baru saja memanggilnya.
Elio? tanya gadis itu dalam hati.
Ia menekan tombol hijau di ponselnya. Terdengar nada sambung, namun tidak ada jawaban. Ia mencoba sekali lagi namun tetap sama. Tersambung tanpa ada jawaan.
Apa mungkin ia salah tekan?
Adrea menutup ponselnya lalu meletakkannya lagi di atas nakas. Baru saja kakinya berjalan beberapa langkah, tiba-tiba nada panggilan masuk terdengar dari aras nakas.
"Halo. Ah, maaf, tadi ponselku ku tinggalkan di kamar. Ada ̶ " Kata-kata gadis itu terputus. Lehernya menegang. Mencoba memastikan apa yang didengarnya baru saja bukan suatu kesalahan.
"Di mana?" tanyanya singkat. Sesaat kemudian ia menutup ponselnya lalu berlari keluar kamar. Dituruninya tangga dengan terburu-buru. Begitu sampai di bawah, ia menyapukan matanya ke kanan dan kiri. Disambarnya kunci mobil yang ada di atas meja makan lalu langsung berlari keluar. Meninggalkan kakak laki-lakinya yang memandanginya dengan tatapan bingung.
---
Levant Stone ada di Cardiff. Tapi tidak lama, siang ini dia akan kembali ke tempat keluarganya di Bristol.
Pergilah ke stasiun. Masih ada waktu.
Kumohon, Rea. Kumohon. Selamatkan jiwanya.
"Maaf, maafkan aku," kata Adrea berulang kali karena tidak sengaja menabrak seorang pria yang berjalan ke arahnya, mengembalikan kesadarannya yang sempat dipenuhi oleh kata-kata Elio di telepon tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Sun
RomanceMatanya menatap gadis itu dalam-dalam. "Bisakah aku memberikan sedikit saja kebahagiaan bagi orang lain?" Bisu. Tidak ada balasan. Tersenyum, dia mengecup kening gadis itu dan mendekapnya erat-erat. "Pergilah. Aku tidak akan pernah mencarimu lagi, A...