Cloud 25 - Truth, Cry, and Lie

47 13 6
                                    

Cardiff, Musim Dingin 2015

Gadis itu membuka matanya perlahan. Suara bel yang berbunyi akhirnya berhasil membuatnya bangkit dari tempat tidur.

Siapa yang datang sepagi ini, gumam gadis itu.

Ia berjalan perlahan menuruni tangga, takut kalau-kalau kakinya salah menginjak anak tangga akibat kesadarannya yang belum benar-benar tekumpul. Begitu kakinya mendarat di anak tangga terakhir, matanya langsung menyapu ruang keluarga dan dapur.

Ke mana semua orang? gumam gadis itu sekali lagi.

Dengan langkah yang sedikit diseret, ia berjalan menuju pintu depan. Diputarnya kunci yang menggantung di sana lalu memutar kenopnya. Napasnya tertahan sejenak saat melihat siapa yang sedang berdiri di depan pintunya.

"Maaf, apakah kau sudah lama menunggu? Ternyata hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama," kata orang yang berdiri di hadapan gadis itu. "Apakah kau sudah memaafkannya?"

"Memaafkan? Maksudmu?" Gadis itu balik bertanya. "Siapa yang harus kumaafkan?"

"Kalau begitu, apa itu artinya kau tidak akan mau pergi bersamaku?" tanya orang itu lagi.

"Tidak, tunggu, aku akan pergi bersamamu," balas gadis itu cepat. Ia langsung berbalik badan untuk mengambil jaketnya yang berada di atas sofa. "Tunggu sebentar, aku akan mengambil barang-barangku dan ̶ "

Gadis itu menghentikan langkahnya. Perlahan diputarnya tubuhnya menghadap ke arah orang yang sedang menahan tangannya tersebut. Napasnya kembali tertahan sesaat setelah ia melihat air mata jatuh dari ujung mata orang itu.

---

Adrea memperhatikan pantulan wajahnya pada cermin kecil di kotak bedaknya. Ia menepuk-nepuk bagian bawah matanya dengan jarinya. Sekali lagi dipandanginya pantulan dirinya pada cermin kecil itu untuk memastikan matanya yang membengkak akibat menangis begitu bangun tidur pagi tadi tidak terlihat lagi. Ia menghentikan lamunannya ketika mendengar suara klakson dari mobil berwarna biru gelap yang berhenti tepat di depan jalan rumahnya. Ditutupnya kotak bedak mungil miliknya itu lalu berjalan ke arah mobil tersebut.

"Apa kau sudah lama menunggu?" Elio Turner memiringkan kepalanya, memperhatikan gadis yang sedang memasang sabuk pengaman di sebelahnya itu. "Padahal aku sudah sengaja datang lebih awal dari waktu yang kubilang kemarin."

Adrea menggeleng. "Tidak, aku baru saja keluar beberapa menit lalu. Lagi pula, aku sudah tahu kalau kau pasti akan datang lebih awal. Apa itu, istilah yang sering kau ucapkan dari film tentang agen rahasia itu?"

"Manners maketh man," balas Elio sambil tersenyum. "Omong-omong, apa kau membawa benda yang kubilang kemarin?"

"Tentu saja. Ini." Adrea mengeluarkan kamera digital berukuran kecil dari dalam tasnya. "Baterainya sudah kuisi sampai penuh tadi malam."

"Kukira kau akan membawa kamera yang sama tuanya dengan ponsel lipat milikmu itu," kata Elio sambil tertawa. "Akhirnya teknologi berhasil menembus pertahanan Adrea Aide."

"Oh, diamlah, Elio. Kau tidak tahu saja betapa sulitnya meyakinkan Alan kalau aku bisa menggunakan kamera digital seperti ini," desah Adrea sambil memasukkan kembali kamera berwarna hitam tersebut ke dalam tasnya. "Dia bahkan memaksaku untuk mendengarkannya ketika berulang kali menjelaskan cara menggunakan kamera miliknya ini."

Elio berdeham sambil mengangguk-angguk pelan. "Aku paham perasaan kakakmu. Rasanya seperti memberangkatkan adiknya untuk ikut lomba lari padahal kau baru bisa berjalan."

"Screw you, Turner," balas Adrea ketus. Dulu memang ia pernah tidak sengaja meghapus seluruh foto yang tersimpan di kamera tersebut saat mencoba menghapus satu foto yang menunjukkan wajahnya, termasuk foto-foto pemandangan yang diambil oleh Alan Aide ketika berlibur ke beberapa negara beberapa waktu sebelumnya. Untunglah salah satu temannya yang pergi bersamanya sempat menyalin file-file foto dari kamera tersebut ke laptop miliknya sebelum kembali ke Cardiff.

Midnight SunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang