Cardiff, Musim Panas 2009
Aroma roti dan kue kering yang sedang dipanggang memenuhi ruangan klub gastronomi St. Claire. Ruang klub yang berada di sayap kiri gedung sekolah bergaya Victoria dengan dinding batu bata serta langit-langitnya yang tinggi itu tampak sangat sibuk. Seluruh anggota klub yang dibantu oleh beberapa volunteer dari tiap kelas sibuk menyiapkan roti dan kue kering yang akan diberikan kepada rumah-rumah sosial yang berada di sekitar kawasan St. Claire.
Yang dibuat bermacam-macam, mulai dari muffin, donat, bara brith dan pai nanas. Setelah itu, kudapan-kudapan tersebut akan dimasukkan ke sebuah kantung masing-masing satu lalu kantungnya akan diikat dengan pita warna-warni.
"Ini dia." Senyum Mona Rilley ̶ saudara kembar Lisa Rilley ̶ melebar. Ia meletakkan pai nanas yang baru selesai dipanggangnya ke atas meja dengan hati-hati. Tidak pernah terlintas dipikirannya bahwa ia akan berhasil membuat pai nanas hanya dengan bermodalkan resep yang dicatatnya dari salah satu saluran memasak di televisi.
"Jadi bagaimana rasanya? Apakah sudah seperti pai nanas?" tanya Tyra yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Mona. Tampaknya aroma pai nanas buatan Mona berhasil menarik Tyra ke mejanya.
"Aku rasa begitu," jawab Mona. Ia memberikan sepotong pai nanas kepada Tyra. "Cobalah. Berikan pendapatmu."
Tyra langsung melahap pai nenas dengan pinggiran soft crust tersebut. Ia berpikir sejenak, lalu berkata, "Rasanya enak. Tapi sayang," ia mengusap-usap ujung dagunya sambil memejamkan matanya, "kurang banyak."
Mona Rilley tertawa mendengarnya. "Not today, Fujitsuki, not today."
Sambil mengunyah pai nenas di mulutnya, Tyra mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Pandangannya terhenti pada seorang gadis yang sedang mengayak tepung gula halus untuk ditaburkan di atas donat. Ia tersenyum lalu berjalan menuju gadis itu.
"Sedang apa kau?" tanya Tyra sambil menepuk pundak gadis itu. "Membuat Gunung Everest, huh?"
Tangan Adrea berhenti bergerak. Ia menatap tepung gula halus ̶ yang memang sudah menggunung ̶ di balik pengayak yang dipegangnya.
"Ah, sial," desah Adrea sambil memejamkan matanya. "Sudah lama kau di situ?"
Tyra menggeleng. "Belum. Aku baru saja kembali dari ruang klubku dan ketika aku sampai di lorong, aku langsung mencium aroma pai buatan Mona ini," jelas Tyra lalu menyodorkan sepotong kecil pai nenas yang didapatnya dari Mona tadi ke arah mulut Adrea. "Soft crust, your favorite."
Adrea membuka mulutnya lalu mengunyah pai tersebut perlahan. "Woah, enak sekali! Mona Rilley yang membuatnya?"
"Em-hm. Siapa yang akan menyangka bahwa gadis bergaya androgini tersebut ternyata pembuat kue yang hebat," kata Tyra. "Dan biar kutebak, pasti Levant Stone yang sudah membuatmu melamun seperti tadi."
Adrea tersenyum mendengar nama Levant Stone. Ia tidak membantah bahwa memang laki-laki itulah yang menjadi alasannya senyum-senyum sendiri seperti tadi. Ada perasaan yang menggelitiknya setiap kali ia berbicara dengan Levant Stone, apalagi sejak Levant Stone berkata bahwa memang ada apa-apa di antara mereka beberapa hari lalu. Ia semakin nyaman setiap kali berbicara dengan Levant Stone.
Seperti latih tanding kemarin. Ketika seluruh penonton latih tanding berdiri dan bersorak karena anak panah yang dilepaskan Abel Chris ̶ siswa tahun ketiga ̶ berhasil menancap di bagian tengah papan target tiga kali berturut-turut, mereka berdua tetap duduk sambil bercerita tentang masa kecil mereka dan tertawa. Misalnya tentang kebodohan Adrea yang pernah tidak sengaja membakar janggut palsu sinterklas dengan lilin yang berhasil membuat Levant Stone hampir menangis karena tertawa. Sayangnya ketika Adrea minta diceritakan tentang masa kecil Levant Stone, katanya dia tidak ingat masa kecilnya seperti apa karena ia lebih sering bermain di rumahnya, atau rumah Elio ketika berlibur ke London. Padahal Adrea yakin, pasti banyak hal-hal gila yang dia dan Elio Turner lakukan waktu masih kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Sun
RomanceMatanya menatap gadis itu dalam-dalam. "Bisakah aku memberikan sedikit saja kebahagiaan bagi orang lain?" Bisu. Tidak ada balasan. Tersenyum, dia mengecup kening gadis itu dan mendekapnya erat-erat. "Pergilah. Aku tidak akan pernah mencarimu lagi, A...