Seringkali kita mencintai tanpa peduli orang yang dicintai telah mencintai orang lain.
~RIL
🌷
Sudah seperempat jam Vanila wira-wiri. Sibuk menata kamar Biru yang lebih mirip gudang daripada sebuah kamar. Malam ini Genta menginap di rumah Biru. Vani tak yakin Genta akan betah jika kondisi kamar Biru seperti habis diterjang badai begitu.
Vani tidak sendirian. Ia dibantu Seina, adik perempuan Biru. Keduanya sudah akrab semenjak Biru masih pacarnya.
Sekonyong-konyong Biru dan Genta mendobrak pintu yang dikunci dari dalam. Vani dan Seina terkejut bukan main. Seina yang sedang melihat-lihat kaset sontak membuangnya ke sembarang arah.
"Wih, udah rapi aja," sorai Biru yang langsung merebahkan diri ke kasur.
"Lo dari mana aja, sih? Lo tau kan Genta mau nginep, harusnya lo di rumah. Beresin kamar lo. Bukannya malah kelayapan. Ngilang dari pagi," cerocos Vani membuat Biru menutup telinganya dengan guling.
Dari mana dirinya? Tentu saja dari melaksanakan tugas terakhirnya, yaitu mengantar nona Rima pulang.
"Kalau pengen posesifin Genta, bilang langsung ke orangnya, dong. Jangan ke gue."
Biru bangun dan mengubah posisinya menjadi duduk. "Sebenernya lo cuma nggak mau Genta tidur di tempat yang nggak nyaman, kan?"
Karena Vani tak merespon, Biru beralih ke Genta yang masih sibuk dengan ponselnya. "Gentayutan, lo tembak deh tuh anak orang. Kasian berkorban di belakang mulu."
"Tembak? Mati dong!" timpal Genta dengan candaan. Seina tertawa.
Tanpa mereka sadari manusia bernama Vani itu sibuk meremas jari-jarinya. Ia marah, kecewa.
"Gue pulang. Beresin sendiri!"
Vani melempar kemoceng ke arah Biru dan meninggalkan kamarnya dengan mata berkaca-kaca. Biru melongo, Seina menghentikan tawanya, sementara Genta sudah pergi dari sofa. Lelaki itu mengejar Vani.
"Vani, tunggu!"
Vani berbalik setelah satu tangannya diraih oleh Genta. Air matanya sudah berlelehan. Wajah Genta di pandangannya tampak mengabur. Genta jadi merasa bersalah. Ia mulai termakan omongan Biru. Mungkinkah Vani benar-benar menaruh rasa padanya? Selama ini Vani begitu baik. Gadis itu memberikan hampir semua pada Genta. Waktu, pikiran, tenaga, materi. Semuanya. Bahkan perhatian dan kasih sayang yang tak pernah Genta peroleh dari keluarganya sendiri.
"Lo kenapa?" tanya Genta bingung.
"Gue nggak suka jadi bahan ledekan, Ta. Gue bukan objek lelucon."
"Maafin gue, ya. Gue nggak bermaksud bikin lo gini."
"Bukan salah lo, tapi Biru."
Genta larut menatap Vani yang tengah menunduk. Rambut panjangnya menyembunyikan wajah Vani yang selama ini selalu sumringah. Genta tak tega. Ia mengangkat dagu Vani, berusaha mengembalikan kepercayaan diri yang selama ini melekat padanya.
"Vanila, lo beneran mau jadi pacar gue?"
Vani membeku. Ada sesuatu yang seakan menghentikan aliran darahnya. Kenapa justru Genta? Vani masih menyayangi Biru sejujurnya. Tadi ia mengkhawatirkan Biru yang menghilang seharian, bukan mengkhawatirkan Genta. Ia juga menangis karena Biru terus-terusan memojokkannya. Biru begitu gencar mencomblangkannya dengan Genta. Sesuatu yang terdengar sepele, namun karena mak comblang itu orang yang ia sayang, semua serasa menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Teen FictionPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...