Musim kemarau hampir berakhir. Langit kemerahan dengan bandul awan yang tebal menguasai penghujung hari. Belahan bumi yang satu ini sedang dalam fase melepas. Membiarkan merah baranya memudar, berkenalan dengan gelap lalu melahirkan magenta yang teramat gagah.
Dua manusia, laki-laki dan perempuan mendaki bukit dengan langkah kecil. Keduanya berjauhan sebab memang tak saling mengenal. Si laki-laki merangkul erat punggung buku-bukunya, sementara si perempuan menenteng binder dan pena di masing-masing tangan.
Bukit beserta rumputnya yang kering kecokelatan selesai didaki. Mereka nyaris tiba bersamaan di dataran puncak. Dengan gerakan yang hampir sama, keduanya duduk bersila tanpa alas.
Kuburan cina berlatarbelakangkan senja begitu memukau. Gundukan dan kuncup bebungaan layaknya pulau-pulau kecil dengan kehidupan yang tentram. Tiada yang lebih indah dari senja hari ini untuk diabadikan. Si laki-laki khusyuk membaca ketika si perempuan sibuk menggoreskan ujung penanya di atas lembaran kertas tanpa garis.
Perempuan yang asik mencatat itu henti sejenak lalu memandang damai hamparan pekuburan di hadapannya. Tempat perpisahan sekaligus pertemuan yang menyenangkan, batinnya.
Edar pandangannya tak hanya ke satu sisi, namun juga ke sisi lain hingga nampak olehnya seorang laki-laki di utara. Magenta langit telah mengubah laki-laki itu menjadi legam. Senampang tampan, laki-laki itu hanyalah siluet yang dibalut keremangan maghrib.
Rambut acak-acakan dan hidung mancungnya, juga diamnya. Si perempuan yakin ada kehidupan serupa di sana. Ia terus memandang laki-laki itu sekiranya akan mendapat toleh dan senyum yang sama, meski kenyataannya tidak. Satu hal yang pasti. Sesuatu yang laki-laki itu baca lebih menyenangkan daripada memperhatikan sekitar.
Si perempuan kembali pada karangannya yang telah menemukan objek baru. Semakin panjang rangkaian kalimatnya, semakin ia harus menajamkan pandangan. Dan ketika titik terakhir selesai dibubuhkan, langit telah selesai melepas. Bumi benar-benar gelap.
Laki-laki legam di utara juga sudah tiada. Sejurus, ia beranjak dan berjalan mendekat ke tempat laki-laki tadi berada. Ada gundukan baru di sana, tidak sebesar makam.
Gundukan tersebut ternyata sebuah buku.
Antologi Remah Roti.
Asing, tetapi sama persis dengan yang ia punya di rumah. Pandangannya belingsatan, berharap si pemilik buku belum pergi terlalu jauh. Namun harapannya menuai kekecewaan. Tidak ada siapapun di sekelilingnya. Hanya mayat-mayat yang menatap langit dengan mata terpejam.
Ru in Love adalah Ruai versi baru. Tokoh-tokoh tetap sama, hanya saja jalan cerita dan sudut pandangnya diganti. So, enjoy with my new story guys. Ditunggu komen-komennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Ficção AdolescentePada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...