Jangan kaget lihat sub judulnya. Baca saja dan luangkan waktu karna part ini cukup panjang.
•••
Pada akhirnya aku tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan.
~Rima Desember
🌷
Tidak terbayangkan oleh Biru dirinya akan duduk di kursi tunggu seperti ini. Sementara lampu di atas pintu ruang operasi terus menyala, berwaspada akan datangnya malaikat maut. Ujung kaki Biru menyilang serupa dengan kedua tangannya. Udara malam boleh dingin, tapi asap kecemasan terus mengepul dan seolah keluar dari kepala. Di sebelahnya, pria paruh baya yang biasanya mlecit dengan jas, dasi, dan segudang wibawa nyatanya bisa berkaus oblong dengan wajah ketar-ketir.
Hanya dua wali. Terasa sekali hidup Genta begitu sepi. Semua orang hanya menyukai sisi dia yang keren, yang jenius, yang calon pacar idaman, tapi tak pernah tahu sisi hidupnya yang kelam. Seperti namanya, Genta lahir dari legam dan pertanda datangnya gulita. Tapi tidak masalah. Suram-suram begitu Biru bisa apa tanpa Genta? Ajakan main layang-layangnya yang kelihatan sepele sebenarnya dukungan moril yang luar biasa.
Lima menit selepas operasi dimulai, suster Listya datang dan ikut menemani. Ia memosisikan diri sebagai seorang wali. Biru tersenyum lalu kembali menundukkan kepala. Ada setengah jam lamanya ia masih bertahan. Arlojinya tak pernah absen dilirik tiap semenit sekali. Rupanya wanita itu turut diliputi kecemasan.
"Selamat malam."
Tiga wali itu mendongak bersamaan saat mendengar seseorang bersalam. Gadis berjepit kupu-kupu mengangguk santun. Ayah Genta tersenyum dan balas mengangguk.
"Saya Intan. Adik kelas Kak Genta. Boleh saya ikut duduk di sini?"
Ayah Genta melirik sebentar ke arah Biru, seperti meminta persetujuan. Tapi percuma, beliau langsung memutuskan sebelum Biru merespon. "Boleh Nak, duduk saja."
Intan mengambil tempat duduk di antara Biru dan suster Listya. Biru pernah beberapa kali berpapasan dengan gadis itu di kantin, namun tak pernah mengenal secara personal. Ia juga yakin jika Genta tak mengenalnya. Aneh rasanya ketika tiba-tiba orang yang tak dikenal ikut duduk dan mengkhawatirkan Genta.
"Gue ke sini karna Rima," bisik Intan pada Biru tiba-tiba. Biru tetap diam meski tanda tanya menggerayangi otaknya dengan liar.
"Gue lihat waktu dan kejadian ini dari tangannya," mungkin karena Biru tak menimpali, Intan kembali berujar. "Gue kasihan sama Genta yang cuma dapet doa dari segelintir orang. Lo tau maksud gue, kan? Kalian bertiga dan mungkin Rima di rumah. Ya, meskipun dia belum tau soal ini."
Intan melirik kanan kiri, memastikan volumenya hanya sampai ke telinga Biru. Ia juga menatap Biru yang ekspresinya mulai diselubungi kemuakan.
"Stop your nonsense!" Sama halnya dengan Intan, Biru hanya berbisik. Intonasinya tak nyolot, hanya saja penuh penekanan. "Jangan drama, please. Gue hargai lo yang pengen ikut mendoakan Genta, tapi nggak lo yang udah mancing emosi gue."
"Siapa yang drama? Gue? Bukannya lo?" Intan tersenyum sinis. Yang ia maksud adalah Rima. Rima Desember, korban dari konspirasi yang dibuat oleh Genta dan Biru.
Biru memilih untuk tidak menanggapi Intan lagi. Di situasi seperti ini lebih baik berdoa untuk keberhasilan operasi Genta. Jangan sampai sahabat terbaiknya itu pergi. Terlebih ia belum meminta maaf atas pertengkaran terakhirnya. Intan juga ikut surut. Tak ada kalimat-kalimat yang memancing emosi lagi. Kursi tunggu diliputi ke heningan sampai... Lampu dimatikan. Operasi selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ru in Love [End]
Teen FictionPada akhirnya kau akan tahu, bahwa birunya fajar dan magentanya senja adalah dua hal yang tidak bisa dinikmati bersamaan. ••• Rima sangka sebuah bukit tak cukup sakti untuk menjebaknya dalam pesona asmara. Tapi ia keliru, bukit dan senja kali itu be...