23| Hai, Pacar

357 34 7
                                    

Hai tameng terkuat bagi badai terganasku...

~RIL

🌷


Biru menghentikan ninja hitamnya di peron rumah Rima. Sekarang ia sudah berani, bahkan sudah berjanji untuk tidak menurunkan Rima di ujung jalan lagi. Jangan lupa, sekarang mereka sepasang kekasih. Meski tak ada bedanya dengan hubungan Genta dan Vani yang tajuknya kepura-puraan, setidaknya Rima tulus. Ia mau menjadi pacar Biru sebab memang tak ingin kehilangan laki-laki itu.

Halaman rumah Rima luas, namun kini lebih sumpek lantaran sedan putih yang terparkir di sana. Setelah turun dan menyerahkan helm pada Biru, Rima melirik ke arah lain. Ke dalam rumah yang di sana ada ibu dan tante Riana tetangganya, juga seorang pria paruh baya berpakaian klasik lengkap dengan topi senimannya. Biru mengikuti arah pandang Rima dan secara refleks bertanya.

"Siapa?"

Rima kembali memusatkan perhatian pada Biru dengan alis terangkat menyadari jarak wajah mereka yang sangat dekat. Spontan Rima menjauhkan kepalanya. Demikian pula dengan Biru. Setelah sama-sama menetralkan perasaan, Rima buka suara.

"Tau nggak Ru, gue bakal punya bokap," bisik Rima sumringah.

Biru heran akan antusiasme Rima. Sepertinya sikap mereka dalam menerima anggota baru memang ditakdirkan berbeda. Biru masih ingat saat ibunya membawa pria asing ke rumah. Ada gumpalan seperti bola gas yang membara di dadanya. Ia sampai marah berhari-hari pada ibunya sebelum akhirnya menerima kenyataan bahwa pria asing itu benar-benar menjadi keluarganya, lebih tepatnya ayah tiri yang tak akan bisa menggantikan posisi ayah kandungnya.

Kendati begitu, Biru tetap ikut tersenyum untuk Rima. "Bagus dong."

"Iya. Ibu gue jadi nggak sendirian lagi."

"Ya udah, sana masuk!" perintah Biru. Rima mengangguk.

"Besok mau gue jemput nggak?"

"Nggak ngrepotin?"

"Ngrepotin sih, tapi buat lo apa sih yang nggak?"

Rima mencebik. Ia sempat lupa kalau sekarang bukan lagi teman Biru, tapi pacarnya. Urusan jemput-menjemput pasti bakal jadi hal yang lumrah. Sumpah, sampai detik ini rasanya Rima masih tak percaya. Biru si manusia menyebalkan itu adalah cowoknya yang katanya siap menjadi tameng bagi badai terganasnya.

"Sana masuk!"

"Nggak mau mampir dulu?"

"Nggak deh, salam aja buat Ibu."

Rima mengangguk kemudian masuk ke dalam, membiarkan Biru pergi dengan mendorong motornya pelan-pelan sebab takut membuat gaduh. Rima sempat menatap kembali kepergian Biru. Ah, situasinya jadi makin aneh saja.

Biru tidak langsung pulang. Tadi ia mengirikan motornya ketika dering ponsel di sakunya semakin mengganggu. Vanila meminta Biru datang ke kafenya. Entah untuk apa, tapi permintaan Vani selalu sulit untuk Biru tolak. Alasan itulah yang membawa Biru kemari. Sebuah kafetaria berplakat besar dengan nama Vanila yang terang karena lampu-lampu. Kafe itu besar dan berdiri megah atas usaha Vani sendiri. Tak salah jika Biru menganggapnya sebagai perempuan paling mandiri yang pernah ia kenal.

Setelah mencabut kunci motor dan mengingat-ingat tempat menyimpannya karena Biru ini tipikal orang yang diam-diam pelupa, Biru lantas masuk ke kafe lewat pintu utama. Meski Vani telah menyiapkan pintu khusus seandainya Biru ingin keluar-masuk tanpa menyedot perhatian pengunjung, Biru lebih suka lewat pintu depan yang berlonceng.

Tidak memilih salah satu meja yang kosong, Biru terus melangkahkan kakinya masuk ke ruang kerja Vani. Ruangan itu seperti ruang kantor dengan sofa untuk menerima tamu pribadi dan matras lengkap dengan seperangkat alat pees seandainya Biru atau Genta mampir dan ingin bermain. Di dalam sana sudah ada Vani yang duduk menyilangkan kaki dengan Genta di hadapannya. Tingkah Vani yang bossy dan Genta yang menunduk seakan dirinya bawahan membuat Biru nyaris tertawa. Sepertinya bukan hanya Biru yang merasa ketiganya sudah jarang kumpul-kumpul lagi.

Ru in Love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang