6| Buku Sketsa

527 66 7
                                    

Seharusnya kau tau di dunia ini ada beberapa perkara yang hanya bisa diselesaikan dengan kata 'iya'.

~RIL

🌷

Setelah puas berkeliling dan membeli beberapa buku yang dirasa bagus, Rima kembali ke tempat pertunjukan seperti yang sudah ia sepakati dengan Amara. Panggung dan beberapa kursi di depannya sudah tak sepekak tadi. Rupanya acara sudah selesai dan Amara ikut selesai duduk di sana.

Rima belingsatan kesana-kemari, bahkan sempat bertanya pada beberapa orang perihal keberadaan temannya. Cukup lama sampai akhirnya terlintas di kepala Rima jika mungkin saja Amara pergi ke toilet. Sebab untuk pulang lebih dulu, Amara tak mungkin setega itu.

Rima menunggu di depan toilet wanita yang beberapa pintunya memang tertutup. Semoga di balik salah satu pintu itu ada Amara. Silih berganti pintu-pintu terbuka dan sejauh ini masih belum terlihat Amara keluar dari salah satunya. Tinggal satu pintu dan entah mengapa Rima sangat yakin sahabatnya ada di dalam.

"Astaga Rim, lo ngagetin gue."

Naluri Rima benar.

Rima menyusuri setiap inchi wajah Amara. Make up tipis yang dipakainya sebelum berangkat sudah luntur, terhapus air yang sisanya masih menempel di pipi dan dahinya. Mata gadis itu bengkak seperti habis menangis. Alis Rima bertaut.

"Lo nangis?"

"Iya. Sumpah, musikalisasinya menyentuh banget. Rugi lo nggak nonton," kata Amara sambil menyeka air mata yang sebenarnya sudah kering dengan beberapa tisu sekaligus.

"Lebih rugi lagi kalo gue kehabisan buku-buku ini," pamer Rima sambil mengangkat bungkusan berisi penuh buku-buku fiksi.

"Iya deh iya, yang kutu buku mah. Yuk pulang! Gue ada janji sama gebetan baru."

Amara melangkah lebih dulu meninggalkan Rima yang memutar malas bola matanya.

"Gebetan dari Hongkong? Palingan lo nangis bukan karna pertunjukan, tapi ketemu mantan, kan lo. Ngaku deh," celetuk Rima sambil mengikuti Amara.

"Iyuhhh, najyess! Kata mantan udah hilang dari kamus gue tau gak."

Selama perjalanan keluar dari gedung pameran, para panitia sudah lalu lalang membereskan bazar-bazar mereka. Rupanya sebentar lagi pameran akan benar-benar ditutup.

"Ra, baliknya jangan lewat jalan yang tadi, ya," kata Rima setelah memasang seatbelt dan duduk manis di mobil.

"Kenapa? Lo mau gue turunin di kuburan?"

"Bukit cina, Ra. Bukan kuburan," tekan Rima.

"Bagi gue sama aja."

Amara menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh. Sepanjang jalan gadis itu menangis lagi. Rima jadi penasaran sepilu apa musikalisasi yang sudah sahabatnya tonton.

Sesuai permintaan, Amara menurunkan Rima di bukit cina. Suasana setengah gelap. Mungkin efek mendung tebal yang tiba-tiba menyerbu langit Jakarta. Rima melirik arlojinya, padahal baru jam tiga sore. Angin kencang khas tanah pemakaman bertiup membuat Amara merinding sekujur tubuh.

"Lo yakin berani sendirian?" Rima mengangguk kemudian turun dari mobil.

"Gue titip buku-buku gue ya. Besok kalau lo main ke rumah bawa sekalian."

"Beres. Eh, Rim!"

Rima yang semula sudah bersiap meninggalkan mobil lantas berbalik lagi. "Hm?"

Ru in Love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang