12| Ruin Love

397 51 3
                                        

Teruntuk rasa yang telah bermetamorfosa, selamat menghadapi kehancuranmu yang pertama.

~RIL

🌷

Atas dasar apa Rima menangis? Dirinya tak punya apa pun untuk ditukar dengan hak menangisi Genta ketika lelaki itu dirampas. Ah, terlalu kasar. Dimiliki maksudnya.

Rima benci harus kembali ke bukit cina. Tempat segala kehancuran cintanya dimulai. Tapi faktanya ia masih kembali ke sana. Meneriaki dan memaki senja lewat keheningan.

Rima menekuk lututnya dalam-dalam dan memeluknya erat. Tak ada binder, tak ada sketchbook, tak ada bacaan. Tangan Rima kosong. Ia datang hanya untuk mengumpat. Sekali lagi, mengumpat dalam bisu.

Berita itu menyebar seperti wabah. Vanila dan Genta. Dua manusia yang serasi itu resmi menjadi sepasang sekarang. Rima menenggelamkan kepalanya. Sakit yang ini bukan perkara nyata. Bahkan tak mampu dirasakan, apalagi dinikmati. Sakit yang ini maya. Muncul hanya ketika Rima membayangkan Genta. Dan sialnya, tanpa repot-repot membayangkan, orang itu sudah secara otomatis muncul di pikirannya.

Puas mengumpat sambil menunduk, Rima mendongak. Menatap langit yang apesnya berwarna magenta. Kelam dan muram.

"Gue baru sadar cewek yang selama ini di sini ternyata lo."

Suara itu.

Rima menggeser objeknya dari langit ke kepala seseorang yang menatapnya teduh. Selalu dikatakan teduh lantaran Rima tak tahu ekspresi yang demikian termasuk dalam jenis apa. Ekspresi itu hanya dimiliki dua orang di dunia ini. Ibunya dan Genta.

"Kak Genta?"

Genta duduk di sebelah Rima. Meniru posisi perempuan pilu itu dengan ikut menekuk lututnya. Rima masih tak habis pikir. Keajaiban apa yang sudah menyulap pikirannya menjadi makhluk tiga dimensi yang begitu nyata? Punya panjang, lebar, tinggi, dan volume sebagai manusia berwujud Genta.

"Sakit banget, ya?" tanya Genta.

"Ha?" takut kalau ternyata Genta bisa membaca pikiran orang, Rima berusaha tak membentang pandang.

"Lo seperti mau nangis, tapi ada yang menghalangi. Gue tau itu sakit."

"Siapa yang udah buat lo sedih?" sambungnya.

Lo, Genta. Lo yang bikin gue sedih.

"Lo bisa jadikan gue perantara sumpah serapah lo ke dia, kalau mau."

Koreksi. Sasaran utama, bukan perantara.

Rima tersenyum palsu. Ia juga heran kenapa senyum itu masih bisa muncul di situasi seperti ini.

"Lo sialan, Kak. Lo brengsek! Gue pengen ceburin lo ke laut supaya dimakan hiu dan nggak bisa balik lagi. Gue benci lo, Kak. Gue benci!"

Genta hanya diam selama Rima meluapkan kekesalannya. Pura-pura yang serasa nyata. Rima seakan mengatakannya dari lubuk hati terdalam.

Rima menutup mukanya dan mulai terisak. Lalu tak lama kemudian menenang kembali. "Makasih, Kak. Gue lega."

Genta mengangguk lalu menepuk-nepuk pundak Rima untuk meringankan bebannya. Ini kali pertama kontak fisik terjadi di antara mereka. Napas Rima sempat tertahan berdetik-detik.

"Kak Genta."

"Hm?"

"Selamat, ya."

"Buat?"

"Status barunya."

Bukannya berterimakasih karena sudah diberi selamat, Genta malah tertawa kecil. Tentu saja Rima tahu. Seluruh sekolah punya telinga untuk mendengar, mulut untuk mengatakan, serta hasrat untuk membagi.

"Bukan sesuatu yang perlu diberi selamat."

"Kenapa?"

"Lo akan tau kalau ada di posisi gue."

Rima berpaling untuk kembali menatap tanah peristirahatan yang di beberapa sudutnya mulai ditumbuhi bunga desember. Merah seperti percikan kembang api. Seandainya berita itu tak pernah bersumber, sore ini akan jadi detik-detik yang berlalu dengan bahagia. Bahagianya akan merah membara seperti bunga-bunga desember di sana.

Menikmati senja bersama Genta, berdua, dengan jarak sedekat tanah dan tanaman. Namun semua serasa beda mengingat bisa saja Genta tengah diam karena memikirkan Vanila.

Di tengah perenungan Rima, tiba-tiba sesuatu menggelapkan mata Genta. Lelaki itu mengrengkah. Dingin, lembut, dan beraroma bunga. Tiba-tiba pula sesuatu ikut bergedebuk dan mengacau di dada Rima.

Rima berpaling. Sejauh mungkin.

"Hayo, kalian berdua lagi ngapain?"

Sesuatu yang menutup mata Genta tak lain adalah jari-jemari Vanila. Entah dari mana datangnya orang itu. Atau justru sudah menyertai Genta sejak tadi.

"Vani? Kamu ngapain di sini?"

"Aku nyusulin kamu lah."

Aku-kamu? Cih!

"Kalian kok bisa berduaan di sini, sih?"

"Jangan salah sangka, Kak. Aku udah di sini sebelum Kak Genta." Rima mendadak jadi makhluk paling egois sejagad raya.

"Iya Van. Gue sering ke sini dan ternyata Rima juga." Sementara itu, Genta masih menjadi pahlawan dengan melindungi Rima sebisanya.

"Bisa kebetulan gitu, ya." Vani tersenyum miring. Senyum yang begitu horor di mata Rima.

"Gue lihat di instastory Biru, lo jalan berdua sama dia semalem. Dan sekarang lo berduaan sama cowok gue di sini. Nggak malu?"

"Van!" sentak Genta.

Apa yang mampu mengubah kepribadian seseorang, jika bukan sesuatu yang disukainya lebih menyukai yang lain. Biru sebagai lelaki yang disayangi Vani lebih memilih kencan seharian dengan Rima daripada kumpul dengan sahabat-sahabatnya seperti biasa.

Cukup sudah. Jangan sampai air mata benar-benar keluar dari pelupuk Rima. Gadis itu bangkit dan tak lupa tersenyum sebelum benar-benar pergi. Langkahnya tenang hanya ketika masih dalam pantauan Genta, namun seketika yang berikutnya Rima mulai berlari sekuat tenaga. Dan berhenti di halte setelah rambutnya sudah setengah basah karena hujan.

Ya, hujan yang kesekian sore kembali turun.

Membasahi bumi sebagai kusir langit pengendali warna. Magenta lenyap berseling kelabu pekat. Bersamaan dengan itu, dua manusia yang berlarian mendekati mobil kembali menyesakkan dada Rima.

Hilang semua, hancur. Rasa kagumnya kepada Genta kini Rima tahu bahwa ia sudah bermetamorfosa menjadi cinta. Cinta yang hancur. Ruin Love.

Rima meredakan sakitnya ditemani hujan yang kesulitan mereda. Semakin deras hujan, semakin sakit perasaan Rima. Kalau boleh meminta, Rima tidak ingin jatuh cinta seawal ini. Sebab ia yakin setelah ini semuanya akan terganggu. Sekolahnya terutama. Tapi apa boleh buat? Langit keburu menghadirkan manusia magenta di hidupnya.

Hujan kian lebat. Rima terjebak di halte penuh lubang yang bocor di sana-sini. Tiang penyangganya berkarat dan terkikis. Kursi kayunya juga mulai diserbu rayap. Kilat menyambar-nyambar di atas pemakaman. Rima menutup telinganya tatkala gelegar-gelegar menyeramkan mulai terdengar. Rima ketakutan sementara mobil berpenghunikan Genta dan Vanila tadi telah lama meninggalkan bukit cina.

Sungguh hari yang sempurna.

🌷🌷🌷

Maaf kemarin gak bisa update. Walaupun begitu, kalian masih diwajibkan untuk vote dan comment lho ya.

Ru in Love [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang